CONTOH MAKALAH PGTK MENANAMKAN KESADARAN BERAGAMA KEPADA ANAK | PENDIDIKAN AGAMA SEBAGAI DASAR AGAMA| MENGAJARKAN NILAI MORAL PADA ANAK

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sekarang ini terdapat kecenderungan, bahwa pendidikan agama dalam keluarga kurang mendapat perhatian. Orang tua kurang berperan dalam mengarahkan anaknya terhadap pendidikan agama, anak-anak dibiarkan sendiri mencari dan menghayati agamanya. Anak dibesarkan dan berkembang menjadi dewasa tanpa dibekali pendidikan agama. Pengetahuan sekuler, pengetahuan keterampilan ditekankan benar untuk dikuasai oleh anak-anak. Hal ini didasari anggapan bahwa pendidikan semacam ini sangat penting sebagai bekal hidupnya kelak, pendidikan agama kurang begitu praktis, bahkan sama sekali dianggap tidak perlu.

Ada sementara orang yang beranggapan, bahwa pembinaan anak baru dapat dilaksanakan setelah si anak lahir di dunia, dan hanya berkisar pada masalah-masalah kesehatan jasmani itu sendiri. Sedangkan kesehatan rohani atau mental tidak begitu diperhatikan.

Adalah sangat disayangkan sekali bila dalam pembinaan anak terutama anak balita, orang tua hanya mementingkan kesehatan jasmaninya saja, sementara kesehatan rohaninya diabaikan, padahal sebagaimana kita tahu bahwa kesehatan rohani merupakan titik tolak yang bisa menentukan kepribadian anak dikemudian hari.

1.2 Tujuan

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana kita sebagai pendidik ataupun orang tua dalam menanamkan kesadaran beragama pada anak.

1.3 Rumusan Masalah

BAB II

PEMBAHASAN

1.Menanamkan Kesadaran Beragama kepada Anak

Para orang tua yang ingin menanamkan kesadaran beragama kepada anak-anaknya, haruslah memahami dengan jelas bahwa masalah agama adalah hal yang sangat penting.

Ada 3 faktor penting mengapa kesadaran beragama perlu ditanamkan sedini mungkin kepada anak-anak :

1. Agama memberi bimbingan dalam kehidupan manusia sejak masih anak-anak, di masa dewasa sampai kepada hari tua agar bermoral luhur dan berprikemanusiaan.

2. Agama dapat menolong manusia sejak masa anak-anak agar menjadi seorang yang tabah, seorang yang yang sabar, dan pikirannya terbuka dalam menghadapi problema dan kesukaran.

3. Agama dapat membimbing anak-anak agar hidup tenang, jiwanya lebih tentram dan terhindar dari godaan serta cobaan.

Dengan demikian anak-anak akan merasa bahwa Tuhan turut campur dan bersedia menolong mereka untuk menanggulangi masalah yang dihadapi dalam mencapai cita-cita mereka. Atas dasar inilah mengapa para orang tua harus senantiasa sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan anak yang ada kaitannya dengan agama, iman, dan Tuhan sebagai pencipta alam semesta.

Dalam menanamkan kesadaran bergama kepada anak-anak yang berusia 4 sampai 10 tahun, perlu dicegah dengan sebaik-baiknya, mengenai anggapan bahwa agama mempersulit kehidupan, banyak aturan yang harus diketahui, bahwa hukum dan pembalasan penuh dengan dosa dan kutukan. Tetapi biarlaj imajinasi dan pikiran anak-anak itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan berkuasa memberi akal budi, damai sejahtera dan Tuhan berkuasa memberi kesembuhan bagi manusia.

Langkah pertama yang paling menarik untuk mengajarkan tentang Allah kepada anak-anak ialah melalui alam ciptaan-Nya. Sebab kemanapun kita berpaling, kita mendengar suara Allah dan melihat hasil ciptaan-Nya. Ellen White berkata “Para ibu hendaknya jangan terlalu asyik dengan perkara-perkara kepalsuan yang dibuat-buat dan dibebani dengan urusan hidup, sehingga mereka lupa mendidik anak-anak.”

Langkah kedua yang sangat berkesan pada pikiran anak-anak untuk diajarkan tentang Tuhan, ialah bahwa Tuhan Maha Pemurah. Dr. Benjamin Spock seorang dokter ahli jiwa anak berkata “Saya beranggapan bahwa agama adalah salah satu bentuk yang baik untuk menanamkan idealisme di kalangan anak-anak pria dan wanita”. Oleh sebab itu saya sangat tertarik pada agama yang banyak menekankan pada masalah kasih sayang serta saling pengertian antar sesame manusia.

Langkah ketiga yang perlu diajarkan secara sederhana kepada anak-anak ialah firman Allah. Firman Allah sangat berguna untuk membimbing dengan perlahan-lahan kehidupan mereka sejak kecil, dan sudah tentu para orang tua harus memulai mengajarkan kebaikan yang sederhana dan mudah dipahami. Itulah sebabnya setiap ajaran Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia mendapat bimbingan Allah ke arah perbuatan baik.

2. Pendidikan Agama sebagai Dasar Pendidikan Agama

Sesungguhnya pendidikan atau mendidik bertujuan membimbing manusia kea rah kedewasaan supaya anak didik dapat memperoleh keseimbangan antara perasaan dan akal budinya serta dapat diwujudkan secara seimbang pula dalam perbuatan konkret. Begitu pula pendidikan agama, bisa membawa anak kepada alam kedewasaan iman yang seimbang rohani dan jasmani. Apabila mereka sudah seimbang dalam dua aspek ini, maka penghayatan agamanya pun berjalan harmonis antara doktrin agama dengan penghayatan konkret dalam kehidupan sehari-hari.

Bila pendidikan agama tidak diberikan kepada anak-anak sejak kecil maka akan mengakibatkan hal-hal seperti :
 Mudah melakukan segala sesuatu menurut dorongan dan keinginan jiwanya tanpa memperhatikan norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku.
Tidak terdapat unsur-unsur agama dalam kepribadiannya sehingga sulit baginya untuk menerima ajaran tersebut bila ia sudah dewasa.

Sebaliknya, jika dalam kepribadian seseorang terdapat nilai-nilai agama, maka segala keinginan dan kebutuhan bisa dipenuhi dengan cara yang wajar dan tidak melanggar hukum-hukum agama. Pendidikan agama bisa dijadikan fundamen atau dasar mental bagi anak dan menjadi bagian dari cara berpikir serta cara bersikap terhadap semua aspek kehidupan yang dihadapi anak. Namun demikian perlu pula disadari bahwa masa depan anak tidak hanya memerlukan mentalitas religius semata, ia juga memerlukan keterampilan serta kecakapan dalam perjuangan hidupnya, untuk itu ia perlu pula dibekali keterampilan dan kecakapan lainnya.

Dalam agama, kita menemukan nilai-nilai luhur yang kelak kita tanamkan pada diri anak. Pada diri anak kita tumbuhkan perasaan cinta kepada Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu yang ada di dunia ini. Perkembangan keagamaan si anak bukanlah pertumbuhan satu gejala psikis biasa, melainkan sebaliknya. Ajaran agama akan lebih gampang ketanam dalam diri anak yang mempunyai orang tua yang hidup dalam suasana keagamaan. Anak yang jauh dari suasana agama akan mempunyai perasaan kebal terhadap susila.

3. Mengajarkan Nilai Moral pada Anak

Semenjak kecil anak-anak perlu belajar tentang hubungan antar manusia. Anak perlu belajar tentang orang lain, kekurangan maupun kelebihannya. Padanya perlu diberi pengertian bahwa untuk menjadi baik, tak perlu ia mencontoh kebaikan orang lain, yang lebih penting dari itu adalah menyadari keadaan dirinya sendiri. Disamping itu, ia perlu diarahkan supaya tetap teguh pada pendiriannya serta prinsip-prinsip yang diyakininya. Hal ini akan mengembankan kemampuan anak untuk membuat keputusan moral yang tepat bagi dirinya.

Kalau pendidikan moral dilaksanakan dengan baik, anak akan dibantu agar mampu berpikir secara jelas, memahami prinsip nilai dan keyakinan pribadinya serta menerapkan dalam masyarakat.

Dr. Zakiah Darajat mengartikan moral ini sebagai “Kekakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelalaian (tindakan) tersebut”.

Pada kebanyakan anak prasekolah didapati, bahwa mereka menanggapi berbagai situasi yang menuntut suatu keputusan moral hampir seluruhnya tergantung pada ganjaran dan hukuman saja. Pengetahuan tentang peraturan dan prinsip moral sangat sedikit mempengaruhi pertimbangan dan tingkah laku mereka. Kohlberg menyebut tahap perkembangan moral yang pertama ini “Prammoral” , karena anak kecil belum mengerti perasaan moral. Anak dalam tahap pramoral menganggap sesuatu sebagai baik jika diganjar dan jelek jika dihukum. Kohlberg selanjutnya berpendapat, anak dalam tahap pramoral adalah “pengamat” yang cermat sekali, yang selama tahun-tahun pertama hidupnya dengan tepat bisa meramal apakah suatu tingkah laku akan diganjar atau dihukum oleh orang tua atau oleh orang dewasa lain yang mengasuhnya.

4. Bila Anak Bertanya Tentang Tuhan

Dalam perkembangannya, seorang anak mula-mula merasa takut untuk berbuat sesutau yang tidak baik, karena larangan-larangan dari orang tua atau guru agama, bahwa perbuatan-perbuatan yang tidak baik akan dihukum oleh penguasa yang tertinggi yaitu “Tuhan”.

Memang kita pun mengakui betapa sulit menerangkan arti Tuhan pada anak-anak. Sementara anak diajar oleh orang tua tentang Tuhan yang Maha Pengasih, mungkin si anak tidak begitu mengerti makna kata itu. Bagaimana sebenarnya cara menanamkan kesan bahwa Tuhan itu Maha Pengasih lahi Maha Penyayang?

Seorang anak mulai mengenal Tuhan lewat bahasa. Dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada permulaan diterimanya secara acuh tak acuh saja. Namun setelah ia melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah ia sedikit merasa gelisah dan ragu-ragu tentang sesuatu yang gaib yang tidak bisa dilihatnya itu.

Apabila anak-anak mulai bertanya “Dimana Tuhan?” Maka Kushner menyarankan lebih baik kita jelaskan pada anak-anak itu bahwa pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab karena Tuhan bukan orang dan tidak menduduki suatu tempat fisik di langit atau dimana saja. Kushner berpendapat, lebih menjawab dan memahami pertanyaan seorang anak yang berbunyi, kapan ada Tuhan? Jawaban untuk itu adalah : kalau ada budi baik, kesabaran atau kebaikan maka disitu ada Tuhan. Anak-anak yang senantiasa mencari bukti fisik akan keberadaan Tuhan bisa terbantu oleh jawaban yang sama. Dan mereka dapat belajar bahwa kita tidak perlu menyaksikan pemisahan samudra untuk mengetahui bahwa Tuhan itu ada.

5. Hakikat dan Target Anak dalam Belajar Nilai-nilai Keagamaan

Setiap potensi apapun yang muncul dari anak seyogianya kita kembangkan dengan jelas dan terprogram dengan baik. Tidak hanya perkembangan bahasa, daya piker, keterampilan dan jasmani saja, namun aspek keagamaan pun seharusnya menjadi salah satu pokok pengembangan dan pembinaan yang harus dikelola, deprogram dan diarahkan dengan sempurna.

Kaitannya dengan hakikat belajar anak Taman Kanak-kanak pada nilai-nilai keagamaan, seharusnya kita pahami bahwa hal itu harus berorientasi pada fungsi pendidikan di Taman Kanak-kanak itu sendiri, yaitu sebagai fungsi adaftasi, fungsi pengembangan dan fungsi bermain. Penyelenggaraannya pun harus sesuai dengan 6 prinsip, yaitu prinsip pengamatan, peragaan, bermain sambil belajar, otoaktivitas, kebebasan dan prinsip keterkaitan dan keterpaduan.

Target dalam mengembangkan nilai-nilai keagamaan kepada anak Taman Kanak-kanak adalah diharapkan mampu mewarnai pertumbuhan dan perkembangan dari diri mereka. Sehingga diharapkan akan muncul suatu dampak positif yang berkembang meliputi fisik, akal pikiran, akhlak, perasaan kejiwaan, estetika, dan kemampuan sosialisasinya diwarnai dengan nilai-nilai keagamaan.


BAB III

KESIMPULAN

Beberapa inovasi pendidikan pembelajaran termasuk dalam mengembangkan nilai-nilai agama bagi anak Taman Knak-kanak antara lain : pengalaman belajar, belajar aktif, dan belajar proses.
Upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua dan guru dalam rangka mengembangkan cinta belajar pada diri anak adalah sebagai berikut :
Kasih sayang
Perlindungan dan perawatan
Waktu yang diberikan kepada anak
Lingkungan belajar yang kondusif
Belajar moral di usia dini.
Untuk mengembangkan nilai-nilai keagamaan pada diri anak, diperlukan berbagai macam metode dan pendekatan, metode dan pendekatan ini berfungsi sebagai guru untuk mencapai tujuan. Dalam menentukan pendekatan, guru perlu mempertimbangkan berbagai hal seperti tujuan yang hendak dicapai, karakteristik anak, jenis kegiatan dan nilai kemampuan yang hendak dikembangkan.



DAFTAR PUSTAKA

Alek Sobur. Komuniksi Orang Tua dan Anak. Angkasa. Bandung. 1986.

Daradjat, Zakiyah, Dr. Ilmu Jiwa Agama. Bulan Bintang. J

Menurut Gerda Wanei (2003 : 58) dalam pembahasannya tentang Pengembangan Kreativitas Imajinasi Anak di Jakarta mengungkapkan “Pada hakikatnya setiap anak memiliki peluang berimajinasi dan berpotensi kreatif, namun tumbuh kembang imajinasi dan potensi kreatif pada anak tidaklah sama”.

Sesungguhnya semua anak memiliki potensi kreatif meski tidak semua anak berpikir hal yang sama. Ketika anak mulai membentuk imajinasi dan kreativitasnya berarti peluang bagi si anak untuk membuktikannya hanya saja tidak semua anak beruntung punya orang tua yang senantiasa memberikan dorongan padanya. Kerap orang tua yang egois menjadikan anak mengalami Creativity Drop. Seyogianya orang tua bersikap bijaksana kepada anak-anaknya. (Gerda Wanci, 2003 : 58)
Menurut Prof. Dr. S. C. U. Munandar (2003 : 58) dalam buku Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah mengungkapkan “Potensi kreatif memberi peluang agar anak mampu mengaktualisasikan dirinya”. Semakin dini usia anak, semakin baik untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya.
Membentuk pribadi yang imajinatif dan kreatif berawal sejak masih kanak-kanak. Usia kanak-kanak kerap dipenuhi ide brilian, daya pikirnya yang luas shingga anak mudah berimajinasi dan berpikir kreatif. kemampuannya tersebut memberi peluang kepada dirinya untuk berkreasi dan waktu yang tepat bagi orang tua untuk memupuk bakat anaknya. (Prof. Dr. S. C. U. Munandar (2003 : 58)

DMC