BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Makalah
Objek filsafat adalah segala sesuatu, meliputi segala sesuatu yang telah ada dengan sendirinya maupun segala sesuatu sebagai hasil kreasi manusia. Namun demikian dari segala sesuatu tersebut hanya yang bersifat mendasarlah yang dipelajari atau dipertanyakan dan dipikirkan oleh para filsuf. Proses studi dimulai dengan ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan seseorang filsuf terhadap sesuatu yang dialaminya. Tujaun pendidikan adalah untuk membantu perkembangan pikiran dan diri pribadi siswa. Sebab itu, sekolah hendaknya menekankan aktifitas-aktifitas intelektual, pertimbangan-pertimbangan moral, estetis realitas diri, kebebasan, tanggung jawab dan pengendalian diri demi mencapai perkembangan pikiran dan diri pribadi. Dengan kata lain pendidikan bertujuan untuk membantu pengembangan karakter serta mengembangan bakat manusia dan kebajikan sosial.
Manusia adalah bagian dari alam dan ia muncul dialam sebagai hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam. Hakikat manusia didefinisikan sesuai dengan apa yang dapat dikerjakannya. Pikiran adalah suatu organisme yang sangat rumit yang mampu berpikir. Megingat manusia adalah bagian dari alam, maka iapun harus tunduk kepada hukum-hukum alam, demikian pula masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Edward J. Power (1982) ”Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada tingkat yang lebih rendah diuji melalui konvensi atau kebiasaan, dan adat istiadat didalam masyarakat”. Nilai-nilai individu dapat diterima apabila sesuai dengan nilai-nilai umum masyarakatnya.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu sebagai berikut :
Apa yang dimaksud dengan Filsafat ?
Apa saja yang termasuk Landasan Filosofis Pendidikan ?
Bagaimana pengaruh Landasan Filosofis Pendidikan Nasional ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari makalah ini untuk mengetahui dan memperoleh informasi tentang :
1. Pengertian Filsafat.
2. Landasan Filosofis Pendidikan.
3. Pengaruh Landasan Filosofis Pendidikan Nasional.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan makalah ini untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas tentang masalah Landasan Filosofis Pendidikan. Disamping itu juga sebagai pencerahan dan pengalaman bagi penulis bahwa dengan cara mengetahui Landasan Filosofis Pendidikan sangat penting sebagai gambaran untuk menghadapi berbagai macam masalah yang ada di dalam dunia pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Filsafat dan Landasan Filosofis Pendidikan
2.1.1. Filsafat
Pengertian Filsafat
Secara bahasa kata ”filsafat” berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata ”philos, philein dan sophia. Philos, philein artinya cinta yang sangat mendalam, dan sophia artinya kearipan atau kebijakan. Jadi, arti filsafat secara harpiah adalah cinta yang sangat mendalam terhadap kearipan atau kebijakan. Adapun secara operasional filsafat mengandung dua pengertian yakni seabagai proses dan sebagai hasil berfilsafat.
Karakteristik Fisafat. Objek filsafat adalah segalam sesuatu, meliputi segala sesuatu yang telah tergelar dengan sendirinya maupun segala sesuatu sebagai hasil krewasi manusia. Namun demikian dari segala sesuatu tersebut hanya yang bersifat mendasarlah yang dipelajari atau dipertanyakan dan dipikirkan oleh para filsuf. Proses studi dimulai dengan ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan seseorang filsuf terhadap sesuatu yang dialaminya. Sehubungan dengfan itu dalam berfilsafat para filsuftidak berpikir dengan bertolak kepada suatu asumsi yang telah ada, seabaliknya mereka menguji suatu asumsi yang telah ada. Tujuan filsuf sedemikian rupa mengenai apa yang dipertanyakannya tiada lain adalah untuk memperoleh kebenaran. Adapun hasil berfilsafat adalah berwujud sistem teori, sistem pikiran atau sistem konsep.
Sistematika filsafat. Berdasarkan objek yang dipelajarinya filsafat dapat diklasifikasikan menjadi
1. Filsafat Umum
2. Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan
Cabang-cabang Filsafat Umum terdiri atas :
1. Metafisika
2. Epistimologi
3. Logika
4. Aksiologi
2.2. Landasan Filosofis Pendidikan Idealisme, Realisme dan Pragmatisme
2.2.1. Idealisme
A. Konsep Filsafat umum Idealisme
Metafisika. Hakikat Idealisme. Para filsuf Idealisme mengklaim bahwa hakikat realitas bersifat spiritual. Hal ini sebagaimana dikemukakan Plato, bahwa dunia yang kita lihat, kita sentuh dan kita alami melalui indra bukanlah dunia yang sesungguhnya, melainkan suatu dunia bayangan, dunia yang sesungguhnya adalah dunia idea-idea. Karena itu Plato disebut sebagai seorang idealis. Bagi panganut idealisme realitas diturunkan dari suatu substansi fundamental, yaitu pikiran/roh/spirit. Benda-benda yang bersifat material yang tampak nyata, sesungguhnya diturunkan dari pikiran/jiwa/roh.
Hakikat Manusia. Manusia hakikatnya bersifat spiritual/kejiwaan. Pribadi manusia digambarkan dengan kemampuan kejiwaannya. Manusia hidup dalam dunia dengan suatu aturan moral yang jelas yang diturunkan dari yang absolut. Karena manusia bagian dari alam semesta yang bertujuan. Selain itu, pikiran manusia diberkahi kemampuan rasional, maka ia mempunyai kemampuan untuk menentukan kemampuan untuk menentukan pilihan, ia adalah makhluk yang bebas. Berkenaan dengan itu manusia memiliki bakat kemampuannya masing-masing yang mengimplikasikan status atau kedudukan dan peranannya didalam masyarakat negara. Dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia bukanlah badannya, melainkan jiwa/spiritnya, manusia adalah makhluk berpikir, maupun memilih/bebas, hidup dengan suatu aturan moral yang jelas dan bertujuan. Tugas dan tujuan hidup manusia adalah hidup sesuai bakatnya serta nilai dan norma moral yang diturunkan oleh yang Absolut.
pistimologi. Hakikat Pengetahuan. Proses pengetahuan terjadi dalam pikiran, manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir. Disamping itu manusia juga memperoleh pengetahuan melalui intuisi. Bahkan beberapa filsuf Idealisme percaya bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat kembali. Sehubungan dengan hal tersebut pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh oleh oranhg-orang tertentu yang memiliki puikiran yang baik saja, dan kebanyakan orang hanya sampai pada tingkat pendapat.
Aksiologi. Hakikat Nilai. Bahwa nilai-nilai bersifat abadi, nilai-nilai abadi berada pada Tuhan YME. Nilai-nilai adalah absolut dan tidak berubah, sebab nilai-nilai merupakan bagian dari aturan-aturan yang sudah ditentukan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia diperintah oleh nilai-nilai moral abadi yang bersumber dari realitas yang bersifat Absolut.
B. Implikasi tehadap Pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk membantu perkembangan pikiran dan diri pribadi siswa. Sebab itu, sekolah hendaknya menekankan aktifitas-aktifitas intelektual, pertimbangan-pertimbangan moral, estetis realitas diri, kebebasan, tanggung jawab dan pengendalian diri demi mencapai perkembangan pikiran dan diri pribadi. Dengan kata lain pendidikan bertujuan untuk membantu pengembangan karakter serta mengembangan bakat manusia dan kebajikan sosial.
Kurikulum Pendidikan. Demi mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum pendidikan idealisme berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional/praktis. Pendidikan liberal dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan-kemampuan rasional dan moral, adapun pendidikan vokasional untuk mengembangkan kemampuan suatu kehidupan/pekerjaan. Kurikulumnya diorganisasi menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran.
Metode Pendidikan. Struktur dan atmosfir kelas hendaknya memberikan kesempatan pada siswa untuk berpikir, dan untuk menggunakan kriteria penilaian moral dalam situasi-situasi konkrit dalam kontek pelajaran, metode mengajar hendaknya mendorong siswa memperluas memperluas cakrawala, berpikir efektif, memberikan keterampilan-keterampilan berpikir logis, memberikan kesempatan menggunakan pengetahuan untuk masalah-masalah moral dan sosial,meningkatkan minat terhadap isi mata pelajaran. Matode pendidikan Idealisme cenderung mengabaikan dasar-dasar fisiologi dalam belajar.
Peranan Guru dan Siswa. Filsuf Idealisme mempunyai harapan yang tinggi dari para guru. Guru harus unggul, agar menjadi teladan bagi para sisawanya, baik secara moral maupun intelektual. Tidak ada unsur yang lebih penting didalam sistem sekolah sealain guru. Gurun harus unggul dalam pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan serta kemampuan-kemampuan para siswa. Guru juga harus mampu melatih berpikir kreatif dalam mengembangkan kesempatan bagi pikiran siswa untuk menemukan, menganalisis, memadukan, mensintesa dan menciptakan aplikasi-aplikasi pengetahuan untuk hidup dan berbuat.
2.2.2. Realisme
Konsep Filsafat Umum
Konsep Filasafat Umum dalam Realisme ada 3 :
Metafisika
Epistimologi
Aksiologi
1. Metafisika
Metafisika terbagi menjadi Hakikat Realitas dan Hakikat Manusia
Hakikat Realitas. Jika hakikat realisme menekankan pikiran jiwa/spirit/roh sebagai hakikat realitas, sebaliknya menurut para filsuf Realisme bahwa benda yang terbuat dari sesuatu yang nyata, substansial dan material yang hadir dengan sendirinya. Realitas hakikatnya bersifat objektif, artinya realitas berdiri sendiri, tidak bergantung atau tidak bersandar kepada pikiran/jiwa/spirit/roh. Namun demikian, mereka tetap mengakuiketerbukaan realitas terhadap pikiran untuk dapat mengetahuinya.
Hakikat manusia. Manusia adalah bagian dari alam dan ia muncul dialam sebagai hasil puncak dari mata rantai evolusi yang terjadi di alam. Hakikat manusia didefinisikan sesuai dengan apa yang dapat dikerjakannya. Pikiran adalah suatu organisme yang sangat rumit yang mampu berpikir.
2. Epistimologi
Hakikat pengetahuan. Ketika lahir, jiwa atau pikiran manusia adalah kosong. John Locke, mengibaratkan pikiran/jiwa manusia sebagai tabularasa (meja lilin/kertas putih yang belum ditulisi) pengetahuan diperoleh manusia dari pengalaman indra. Mengingat realitas bersifat objektif, maka terdapat dualisme antara orang yang mengetahui dengan realitas yang diketahui. Implikasinya para filsuf Realisme menganut ”prinsip independensi” yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang realitas tidak dapat mengubah substansi atau esensi realitas.
3. Aksiologi
Hakikat nilai. Megingat manusia adalah bagian dari alam, maka iapun harus tunduk kepada hukum-hukum alam, demikian pula masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Edward J. Power (1982) ”Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada tingkat yang lebih rendah diuji melalui konvensi atau kebiasaan, dan adat istiadat didalam masyarakat”. Nilai-nilai individu dapat diterima apabila sesuai dengan nilai-nilai umum masyarakatnya.
Implikasinya terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan. Pendidikan bertujuan agar para siswa dapat bertahan hidp didunia yang bersifat alamiah, memperoleh keamanan dan hidup bahagia. Edward J. Power menyimpulkan pandangan para filsuf realisme bahwa tujuan pendidikan realisme adalah untuk penyesuaian diri dalam hidup dan mampu melaksanakan tanggung jawab sosial.
Kurikulum Pendidikan. Kurikulum sebaiknya meliputi : Sains/IPA dan Matematika, Ilmu-ilmu kemanusiaan dan Ilmu-ilmu sosial, dan Nilai-nilai.
Para filsuf realisme percaya bahwa kurikulum yang baik diorganisasikan menurut mata pelajaran dan berpusat pada mata pelajaran. Materi pelajaran hendaknya diorganisasikan menurut prinsif-prinsif psikologis tentang belajar, mengajarkan materi pelajaran hendaknya dimulai dari yang bersifat sederhana menuju yang lebih kompleks. Adapun isi kurikulum tersebut harus berisi pengetahuan dan nilai-nilai esensial agar siswa dapat menyesuikan diri baik dengan lingkungan alam, masyarakat dan kebudayaannya.
Metode Pendidikan. Semua belajar tergantung pada pengalaman, baik pengalaman langsung maupun tidak langsung (seperti melalui membaca buku mengenai hasil pengalaman orang lain), kedua-duanya perlu disajikan kepada siswa. Metode penyajian hendaknya bersifat logis dan psikologis. Pembiasaan merupakan metode utama yang diterima oleh para filsuf realisme yang merupakan penganut behaviorisme. Metode mengajar yang disarankan filsuf realisme bersifat otoriter.
Evaluasi merupakan suatu aspek yang penting dalam mengajar. Tes perlu sering dilakukan untuk tujuan memotivasi, para filsuf realisme menekankan bahwa tes selalu penting bagi guru untuk memberikan ganjaran terhadap setiap siswa yang mencapai sukses.
Peranan guru dan siswa. Guru adalah pengelola kegiatan belajar-mengajar didalam kelas, guru adalah penentu materi pelajaran; guru harus menggunakan minat siswa yang berhubungan dengan mata pelajaran, dan membuat mata pelajaran sebagai sesuatu yang konkrit untuk dialami siswa. Dengan demikian guru harus berperan sebagai penguasa pengetahuan, guru harus mempergunakan minat siswa yang berhubungan dengan mata pelajaran dan membuat mata pelajaran sebagai sesuatu yang konkret untuk dialami siswa. Adapun siswa berperan untuk mwnguasai pengetahuan yang diandalkan, siswa harus taat pada aturan dan berdisiplin, sebab aturan yang baik sangat diperlukan untuk belajar, disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk berbagai tingkatan dan keutamaan.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa orientasi pendidikan realisme memiliki kesamaan dengan orientasi pendidikan idealisme, yaitu essensialisme. Namun demikian kedua aliran tersebut memiliki perbedaan konsep mengenai filsafat umu mnya yang menjadi landasan bagi konsep pendidikannya, maka dapat dipahami pula jika kedua aliran itu tetap berbeda dalam hal tujuan pendidikannya, kurikulum pendidikannya, metode pendidikan, serta peranan guru dan peranan siswa.
2.2.3. Pragmatisme
konsep Filsafat Umum
Metafisika. Hakikat realitas. Pragmatisme dikenal dengan sebutan Eksperimentalisme dan Intrumantalisme. Menurut penganut aliran ini hakikat realitas adalah segala sesuatu yang dialami manusia (pengalaman) bersifat plural (pluralistic) dan terus menerus berubah. Mereka berpendapat bahwa realitas sebagaimana dialami melalui pengalaman setiap individu (Callahan and Clark, 1983). Hal ini sebagaimana dikemukakan William James bahwa ”Dunia nyata adalah dunia pengalaman manusia”. John Dewey ”Dunia yang ada sekarang ini adalah dunia pria dan wanita, sawah-sawah, pabrik-pabrik, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang, kota yang hiruk piruk, bangsa-bangsa yang sedang berjuang dll adalah dunia pengalaman kita”. Jadi menurut penganut Pragmatisme, ”hanya realitas fisik yang ada, teori umum tentang realitas tidak mungkin dan tidak diperlukan”(Edward J. Power, 1982).
Hakikat Manusia. Kepribadian/manusia tidak terpisah dari realitas, sebab manusia adalah bagian dari realitas dan terus menerus akan bersamaan. Karena manusia terus berubah, maka manusiapun merupakan bagian dari bagian perubahan tersebut. Beradanya manusia didunia ini adalah bagian dari kreasi dari suatu proses yang bersifat evolusi (S.E. frost Jr. 1957). Sejalan dengan perubahan berbagai permasalahan dalam kehidupan akan bermunculan. Sehingga yang dikatakan mansia ideal adalah manusia yang mampu memecahkan masalah baru baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat.
pistimologi. Hakikat Pengetahuan. Filsuf Pragmatisme manolak dualisme antara subjek (manusia) yang mempersepsi dengan objek yang dipersepsi. Manusia adalah kedua-duanya dalam dunia yang dipersepsinya dan dunia yang ia persepsi. Segala sesuatu dapat diketahui melaului pengalaman, adapun cara mengetahui pengetahuan yaitu dengan metode ilmiah atau metode sains sebagaimana disarankan John Dewey, pengalaman tentang fenomena menentukan pengatahuan. Kerena fenomena terus menerus berubah. Menurut filsuf Pragmatisme, suatu pengetahuan hendaknya dapat diperivikasi dan diaplikasikan dalam kehidupan. Pengetahuan dinyatakan benar apabila dapat dipraktekan, memberikan hasil dan memuaskan. Pengetahuan bersifat relatif, pengetahuan dikatakan bermakna apabila dapat diaplikasikan. Sebab itu Pragmatisme dikatakan sebagai Instumentalisme. (Edward J. Power. 1982).
Aksiologi. Hakikat Nilai. Nilai-nilai diturunkan dari kondisi manusia. Nilai tidak bersifat eksklusif, tidak berdiri sendiri, melainkan ada dalam suatu proses, yaitu dalam tindakan/perbuatan manusia itu sendiri. Karena manusia merupakan bagian dari masyarakatnya, baik atau tidak baiknya tindakan-tindakannya dinilai berdasarkan hasil-hasilnya didalam masyarakatnya. Pertimbangan-pertimbangan nilai adalah berguna jika bermakna untuk kehidupan yang intelegen, yaitu hidup yang sukses, produktif dan bahagia (Callahan and Clark, 1983). Karena itu aliran ini disebut Pragmatisme atau Eksperimentalisme.
Implikasi terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan. Pendidikan harus mengajarkan seseorang bagaimana berpikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi didalam masyarakat. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut diantaranya yaitu kesehatan yang baik, ketaerampilan-keterampilan kejuruan, minat dan hobi yang menyenangkan, persiapan menjadi orang tua, kemampuan bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial. Tujuan khusus pendidikan meliputi pemahaman tentang pentingnya demokrasi. Pemerintahan yang demokratis memungkinkan setiap warga negara hidup dan tumbuh melalui interaksi sosial yang memberikan tempat bersama dengan negara lainnya.
Kurikulum Pendidikan. Menurut filsuf Pragmatisme, tradisi demokratis adalah tradisi memperbaiki diri sendiri. Implikasinya warisan sosial budaya masa lalu tidak menjadi fokus perhatian pendidikan. Melainkan pendidikan fokus pada pendidikan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dalam pandangan Pragmatisme kurikulum sekolah seharusnya tidak terpisah dari keadaan-keadaan masyarakat. Dalam pendidikan, materi pelajaran adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah individu. Karena itu masalah masyarakat demokratis harus menjadi bentuk dasar kurikulum.
Metode Pendidikan. Sebagaimana dikemukakan Callahan dan Clark (1983), penganut Eksperimentalisme dan Pragmatisme mengutamakan metode pemecahan masalah serta metode penyelidikan dan penemuan. Dalam prakteknya (mengajar) metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat sebagai berikut :
Permissive (pemberi kesempatan)
Friendly (bersahabat)
A guide (seorang pembimbing)
Open-minded (berpandangan terbuka)
Enthusiastic (bersifat antusias)
Creative (kreatif)
Sicialy aware (sadar bermasyarakat)
Alert (siap siaga)
Patien (sabar)
Cooperative and sincere (bekerjasama dan ikhlas atau bersungguh-sungguh).
Peran guru dan siswa. Dalam Pragmatisme belajar selalu dipertimbangkan untuk menjadi seorang individu. Dalam pembelajaran peran guru bukan menuangkan pengetahuan kepada siswa, sebab ini merupakan uapaya tak berbuah. Tetapi seharusnya setiap apa yang siswa pelajari sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan, minat-minat dan masalah-masalah pribadinya. Dengan kata lain isi pengetahuan tidak lain bertujuan dalam dirinya sendiri, melainkan bertujuan untuk suatu tujuan. Sehingga siswa yang menghadapi masalah akan mungkin merekontruksi lingkungannya untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.
Edwad J. Power (1982), menyimpulkan pandangan Pragmatisme bahwa ”siswa merupakan organisasi yang rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperanan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa”.
2.3. Landasan Filsafat Pendidikan Nasional: Pancasila
Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia. Rumusan Pancasila termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sehubungan dengan hal tersebut bangsa indonesia memiliki filosofis pendidikan tersendiri dalam sistem pendidikan nasional. Dengan itu perlu dikaji nilai-nilai Pancasila untuk dijadikan titik tolak dalam rangka praktek pendidikan maupun studi pendidikan.
A. Konsep Filsafat Umum
Metafisika. Hakikat Realitas. Bangsa indonesia meyakini bahwa realitas atau alam semesta tidaklah ada dengan sendirinya, melainkan sebagai ciptaan (makhluk) Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah sumber pertama dari segala yang ada. Dialam semesta tidak hanya realitas fisik atau hanya realitas non fisik yang ada, realitas tersebut tampak dalam pluralisme fenomena alam semesta sebagai keseluruhan yang integral. Alam tersebut adalah tempat dan sarana bagi manusia dalam rang hidup dan kehidupannya. Dibalik itu terdapat alam akhir yang abadi.
Hakikat Manusia. Manusia adalah makhluk Tuhan YME. Manusia adalah kesatuan badani-rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran dan penyadaran diri, mempunyai berbagai kebutuhan, dibekali naluri dan nafsu serta memiliki tujuan hidup. Manusia dibekali potensi untuk mampu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan untuk berbuat baik, namun disamping itu karena hawa nafsunya, manusiapun memiliki kemungkinan untuk berbuat jahat. Selain itu manusia memiliki potensi untuk berpikir, berperasaan, berkemampuan, dan berkarya.
Epistimologi. Hakikat pengetahuan. Segala pengetahuan hakikatnya bersumber dari tuhan YME. Kebenaran pengetahuan ada yang bersifat mutlak dan ada pula yang berisifat relatif. Pengetahuan yang bersifat mutlak diyakini mutlak kebenarannya atas dasar keimanan kepada tuhan YME. Sedang pengetahhuan yang bersifat relatif diuji kebenarannya melalui uji konsistensi logis ide-idenya, kesesuiaannya dengan data atau fakta empiris, dan nilai keguanan praktisnya bagi kesejahteraan manusia dengan mengacu kepada kebenaran an nilai-nilai yang bersifat mutlak.
Aksiologi. Hakikat nilai. Sumber pertama segala nilai hakikatnya adalah Tuhan YME. Karena manusia adalah makhluk Tuhan, individu dan sekaligus insan sosial, maka hakikat nilai diturunkan dariTuhan YME, masyarakat dan individu.
BAB III
PENUTUP
1.5 Kesimpulan
Filsuf Idealisme mengklaim bahwa hakikat realitas bersifat spiritual. Hal ini sebagaimana dikemukakan Plato, bahwa dunia yang kita lihat, kita sentuh dan kita alami melalui panca indra bukanlah dunia yang sesungguhnya, melainkan suatu dunia bayangan, dunia yang sesungguhnya adalah dunia idea-idea. Karena itu Plato disebut sebagai seorang idealis. Bagi panganut idealisme realitas diturunkan dari suatu substansi fundamental, yaitu pikiran/roh/spirit. Benda-benda yang bersifat material yang tampak nyata, sesungguhnya diturunkan dari pikiran/jiwa/roh. Proses pengetahuan terjadi dalam pikiran, manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir. Disamping itu manusia juga memperoleh pengetahuan melalui intuisi. Bahkan beberapa filsuf Idealisme percaya bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat kembali. Sehubungan dengan hal tersebut pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh oleh oranhg-orang tertentu yang memiliki puikiran yang baik saja, dan kebanyakan orang hanya sampai pada tingkat pendapat.