CONTOH SKRIPSI BAB II Persepsi ,Faktor Pengalaman ,

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Persepsi
Persepsi adalah proses mental yang terjadi pada diri manusia yang akan menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, memberi serta meraba (kerja indera) terhadap suatu objek yang ada disekitar kita (Trisumi, 1999).
Menurut Mar’at (1990) persepsi adalah: suatu tanggapan seseorang yang berasal dari komponen kognitif dan dipengaruhi oleh pengalaman proses belajar, wawasan dan pengetahuan. Persepsi dibutuhkan sebagai tanggapan langsung dari suatu pemahaman (Moerdiono, 1996 : dalam trisumi, 1999).
Walgito (2001) menyebutkan bahwa hasil dari proses persepsi adalah prilaku tanggapan dan sikap yang terbentuk, hasil yang didapat bisa bersifat negatif atau positif.
Persepsi interpersonal sangat besar pengaruhnya bukan saja pada komunikasi interpersonal tetapi juga berpengaruh pada hubungan interpersonal. Faktor personal yang berpengaruh pada persepsi adalah pengalaman, motivasi dan kepribadian (Rahmat, 2000).

2.1.1 Faktor Pengalaman
Pada faktor ini, semakin dekat seseorang dengan orang lain, semakin cermat seseorang tersebut mempersepsikan orang yang diamati. Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Rangkaian pengalaman yang berbeda antara masyarakat yang satu tentu berbeda dengan masyarakat yang lain terhadap gangguan jiwa.
2.1.2 Faktor Motivasi
Dalam hal ini motivasi-motivasi sosial yang dimiliki seseorang dapat mempengaruhi dalam kecermatan mempersepsikan orang lain. Adanya ganjaran/pujian dan perasaan terancam yang berbeda-beda pada setiap orang akan mempengaruhi dalam persepsi.
2.1.3 Faktor Kepribadian
Pribadi yang berbeda-beda membuat perbedaan pula dalam mempersepsikan orang lain. Terdapat suatu pengetahuan diri yang disebut proyeksi yang dapat mempengaruhi dalam persepsi. Individu dapat mengenalkan pada orang lain sifat-sifat yang ada pada dirinya yang tidak disenangi. Orang yang banyak melakukan proyeksi akan tidak cermat dalam menanggapi stimulasi, bahkan akan mengaburkan gambaran sebenarnya. Sebaliknya orang yang menerima dirinya apa adanya, tidak dibebani rasa bersalah, cenderung lebih cermat dalam menafsirkan orang lain. Orang yang trampil mudah bergaul dan ramah, cenderung memberikan penilaian positif.
Lebih lanjut definisi tentang persepsi yang dikemukakan oleh Desiderato (1984) (dalam Rakhmat, 2000) yaitu: pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan penafsiran pesan. Sementara menurut Gito Sudarmo dan Sudita (2000) menyebutkan bahwa:
persepsi adalah suatu proses memperhatikan dan menyeleksi, mengorganisasikan dan menafsirkan stimulus lingkungan. Proses memperhatikan dan menyeleksi terjadi karena setiap saat panca indera kita dihadapkan pada begitu banyak stimulus lingkungan.
Ditegaskan pula oleh Allison (1995) (dalam Wahab, 1997) bahwa sebagai konsep, makna persepsi tidak lain adalah:
Proses dimana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna tertentu atas pentingnya suatu peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal dari luar dirinya. Singkatnya, persepsi adalah “lensa konseptual” yang pada diri individu berfungsi sebagai kerangka analisis untuk memahami suatu masalah.
Dalam proses penjabaran persepsi, maka ada dua objek utama yang sering menjadi sasaran persepsi menurut Mulyana (2000) bahwa : Persepsi terbagi dua yaitu persepsi terhadap objek (lingkungan fisik dan persepsi terhadap manusia). Persepsi terhadap manusia lebih sulit dan kompleks, karena manusia bersifat dinamis. Persepsi terhadap lingkungan fisik berbeda dengan persepsi terhadap lingkungan sosial. Perbedaan tersebut mencakup:
1. Persepsi terhadap objek melalui lambang-lambang fisik, sedangkan persepsi terhadap orang melalui lambang-lambang verbal dan non verbal.
2. Persepsi terhadap objek menanggapi sifat-sifat luar, sedangkan persepsi terhadap orang menanggapi sifat-sifat luar dan dalam (perasaan, motif harapan dan sebagainya).
3. Objek tidak bereaksi, sedangkan manusia bereaksi. Dengan kata lain objek bersifat statis, sedangkan manusia bersifat dinamis.
Konsep persepsi telah memberikan gambaran tentang batas dan ruang lingkup persepsi, yaitu mulai dari stimulus, faktor-faktor yang mempengaruhinya, penafsiran perilaku dan seterusnya, maka menurut Rakhmat (2000) bahwa: ada beberapa unsur yang terdapat dalam persepsi yaitu: perhatian, fungsional, structural, dan memori. Perhatian yaitu proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah.
Perhatian dibentuk oleh faktor eksternal atau faktor internal. Faktor eksternal adalah stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain:
1. Gerakan, seperti organisme lain, manusia secara visual tertarik pada objek-objek yang bergerak.
2. Intensitas stimuli yaitu seseorang akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain.

3. Kebaruan (novelty), yaitu hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang berbeda akan menarik perhatian.
4. Perulangan yaitu hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disajikan dengan sedikit variasi, akan menarik perhatian.
Sedangkan faktor Internal adalah:
1. Faktor biologis (kebutuhan dasar manusia).
2. Faktor sosiopsikologis.
3. Motif sosiogenis (sikap, kebiasaan dan kemauan mempengaruhi apa yang kita perhatikan).
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut faktor-faktor personal dan faktor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi, lazim disebut sebagai kerangka rujukan. Dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan mempengaruhi bagaimana orang memberi makna pada pesan yang diterimanya.
Faktor struktural semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu, yaitu jika kita ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat meneliti fakta-fakta yang terpisah, tetapi kita harus mamandangnya dalam hubungan keseluruhan. Jadi untuk memahami seseorang kita harus melihatnya dalam konteksnya, dalam lingkungannya dan dalam masalah yang dihadapinya (Rakhmat, 2000).
2.2 Masyarakat
Dari penjelasan di atas tentang persepsi terlihat bahwa sesungguhnya persepsi adalah anggapan seseorang tentang lingkungannya. Berkaitan dengan hal itu, maka untuk memberikan pengertian pada persepsi masyarakat tentang gangguan jiwa dapat ditinjau dari persepsi kelompok budaya. Menurut Mulyana (2000) bahwa: Semakin besar perbedaan budaya antara dua orang, semakin besar pula perbedaan persepsi mereka terhadap suatu realitas. Beranjak dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat yang mempunyai budaya sama maka cenderung mempunyai persepsi yang sama pula terhadap suatu realitas (Mulyana, 2000).
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang sering bergaul, saling berinteraksi. Masyarakat merupakan kesatuan-kesatuan hidup manusia (Koentjaraningrat, 1990; dalam Nasrul Efendi, 1998). Dalam hal ini juga masyarakat dapat belajar dari masyarakat yang lain sehingga dalam mempersepsikan tentang gangguan jiwa akan diperoleh hampir sama diantara tiap individu dari masyarakat tersebut.
Unit-unit masyarakat adalah Komuniti, keluarga, kelompok, yang mempunyai tujuan nilai yang sama. Masyarakat sebagai suatu sistem sosial menunjukkan bahwa semua orang bersatu untuk saling melindungi dalam kepentingan bersama, dan berfungsi sebagai suatu kesatuan dan secara terus menerus mengadakan hubungan dengan sistem yang lebih besar.
Beberapa pendapat telah menunjukkan gambaran yang jelas tentang masyarakat. Ada beberapa ciri pokok gambaran tentang masyarakat. Ciri-ciri suatu masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Kuntjaraningrat (1990) dalam Nasrul Efendi (1998), adalah sebagai berikut :
1. Interaksi antar warga-warga.
2. Adat istiadat, norma-norma, hukum-hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warga kota atau desa.
3. Suatu komunitas dalam waktu.
4. Suatu identitas kuat yang mengikat semua warga
Soekanto (1998) menggambarkan ciri pokok masyarakat sebagai berikut:
1. Manusia yang hidup bersama, yang secara teoritis berjumlah dua orang dalam ukuran minimal.
2. Manusia-manusia tersebut bergaul dan hidup bersama selama jangka waktu yang lama.
3. Mereka sadar bahwa manusia-manusia tersebut merupakan bagian dari suatu kesatuan.
4. Mereka merupakan suatu sistem kehidupan bersama yang menghasilkan kebudayaan.
Dengan memahami ciri-ciri masyarakat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistim, yaitu sistim sosial.
2.3 Gangguan Jiwa

2.3.1 Pengertian Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa atau gangguan mental tidak terlepas dari pernyataan tentang keadaan yang normal. Menurut Alfred Adler dalam Kaplan dan Sadock (1997). Menyatakan keadaan normal adalah: Kemampuan seseorang untuk mengembangkan perasaan sosial dan bersikap produktif adalah berhubungan dengan kesehatan mental, kemampuan untuk bekerja yang meningkatkan harga diri dan menyebabkan seseorang mampu beradaptasi (Kaplan dan Sadock, 1997).
Gangguan jiwa atau gangguan mental adalah seseorang dengan proses psikologik atau mentalnya dalam arti kata luas yang tidak berfungsi dengan baik, sehingga mengganggunya dalam fungsi sehari-hari dan oleh karenanya menyukarkan diri sendiri dan atau orang lain di sekitarnya (Maramis, 1998).
2.3.2 Penyebab Gangguan Jiwa
Biasanya Gangguan jiwa tidak hanya disebabkan oleh penyebab yang tunggal, akan tetapi biasanya disebabkan oleh beberapa penyebab sekaligus, yaitu meliputi unsur somatogenik, sosiogenik dan psikogenik. Unsur ini akan saling mempengaruhi bahkan sering terjadi bersamaan. Contoh: seseorang yang mengalami gangguan otak karena kelahiran, kemudian menjadi hiperkinetik dan pada waktu kecilnya sukar diasuh. Ia akan mempengaruhi lingkungannya, terutama orang tua dan anggota lainnya yang serumah (Maramis, 1998).
2.3.2.1 Faktor Somatogenik
Faktor somatogenik ini meliputi: Neroanatomi, Nerofisiologi, Nerokimia, Tingkat kematangan dan perkembangan organik, Faktor-faktor prenatal dan perinatal.
2.3.2.2 Faktor-Faktor Psikogenik
Faktor-faktor psikogenik meliputi: (1) interaksi ibu anak (2) Peranan ayah. (3) Persaingan antara saudara kandung. (4) Intelegensi. (5) Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat. (6) Kehilangan yang menyebabkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah. (7) Konsep dini. (8) Ketrampilan bakat dan kreatifitas. (9) Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya. (10) Tingkat pekembangan emosi.
2.3.2.3 Faktor-Faktor Sosiogenik
Faktor-faktor sosiogenik meliputi: (1) Kestabilan keluarga. (2) Pola mengasuh anak. (3) Tingkat ekonomi. (4) Perumahan: perkotaan lawan pedesaan. (5) Masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang tidak memadai. (6) Pengaruh sosial dan keagamaan. (7) Nilai-nilai.
2.3.3 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
Gejala-gejala gangguan jiwa adalah hasil interaksi yang kompleks antara unsur somatik, psikologik dan sosiobudaya. Gejala-gejala inilah yang menandakan dekompensasi proses adaptasi yang terdapat, terutama pada pemikiran, perasaan dan perilaku.
Ada gejala primer ada pula gejala skunder, misalnya pada penderita skizoprenia gejala primer itu berupa: ambivalensi, otisme, asosiasi longgar dan afek yang tidak tepat. Gejala skunder berupa halusinasi dan waham (Kaplan dan Sadock, 1997).
2.3.3.1 Gangguan Kesadaran

Adapun kesadaran itu merupakan kemampuan individu mengadakan hubungan dengan lingkungannya, serta dengan dirinya sendiri (melalui panca inderanya) dan mengadakan pembatasan terhadap lingkungan serta terhadap dirinya sendiri (melalui perhatian). Bila kesadaran itu baik adanya maka akan terjadi orientasi (tentang waktu, tempat dan orang) dan pengertian yang baik serta pemakaian informasi yang masuk secara efektif (Maramis, 1998).

2.3.3.2 Gangguan Ingatan

Adapun ingatan itu berdasarkan tiga proses utama, yaitu pencatatan atau proses registrasi, penahanan atau retensi dan pemanggilan kembali atau recal. Gangguan ingatan terjadi jika salah satu atau lebih pada unsur yang telah disebut diatas (Maramis, 1998).

2.3.3.3 Gangguan orientasi

Orientasi adalah kemampuan seseorang untuk mengenal lingkungannya serta hubungannya dalam waktu dan ruang terhadap dirinya sendiri dan juga hubungan dirinya sendiri dengan orang lain (Maramis, 1998).

Disorientasi atau gangguan orientasi timbul sebagai akibat gangguan kesadaran dan dapat menyangkut waktu, tempat dan atau orang (Maramis, 1998).

2.3.3.4 Gangguan Afek dan Emosi

Afek adalah nada perasaan, menyenangkan atau tidak yang menyertai suatu pikiran, yang berlangsung lama serta kurang disertai oleh komponen fisiologik (Abraham dan Sanley, 1997). Emosi adalah manifestasi afek keluar dan disertai oleh banyak komponen fisiologik, biasanya berlangsung relatif tidak lama. Kadang-kadang istilah afek dan emosi dipakai secara bersamaan (Abraham dan Sanley, 1997).

2.3.3.5 Gangguan Psikomotor

Psikomotor ialah gerakan badan yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa; merupakan efek bersama yang mengenai badan dan jiwa. Juga dinamakan konasi, prilaku motorik atau aspek motorik dari pada perilaku (Maramis, 1998).

2.3.3.6 Gangguan Proses Berpikir

Adapun proses berpikir itu meliputi proses pertimbangan (judgment), pemahaman (comprehension), ingatan serta penalaran (reasoning). Proses berpikir yang normal mengandung arus idea, symbol dan asosiasi yang terarah kepada tujuan dan yang dibangkitkan oleh suatu masalah atau tugas. Yang menghantarkan kepada suatu penyelesaian yang berorientasi kepada kenyataan (Maramis, 1998).

2.3.3.7 Gangguan Persepsi

Persepsi adalah daya mengenal benda, kwalitas atau hubungan serta perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan setelah panca inderanya mendapat rangsang. Jadi persepsi itu dapat terganggu oleh gangguan otak, oleh gangguan jiwa, oleh pengaruh lingkungan sosial budaya.

2.3.3.8 Gangguan Intelegensi

Intelegensia adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang baru melalui pemikiran dan pertimbangan. Berbagai hal dapat mengurangi atau menghambat kemampuan. Misalnya: kerusakan otak, karena psikosa,. Mungkin juga kemampuan ini tidak dapat dimanifestasikan karena berbagai faktor sosial budaya.

Retardasi mental ialah terutama kekurangan intelegensi, sehingga daya guna sosial dan dalam pekerjaan seseorang menjadi terganggu (Maramis, 1998).

Dimensi adalah terutama kemunduran intelegensi, karena suatu kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki lagi (irreversibel) (Maramis, 1998).
2.3.3.9 Gangguan Kepribadian
Kepribadian menunjuk kepada keseluruhan pola pikiran, perasaan dan perilaku yang sering digunakan oleh seseorang dalam usaha adaptasi yang terus menerus terhadap hidupnya (Kaplan dan Sadock, 1997).
Suatu gangguan kepribadian dianggap telah terjadi bilamana sebuah atau lebih sifat kepribadian itu menjadi sedemikian rupa sehingga indivu itu merugikan dirinya sendiri atau masyarakat disekitarnya. Ada bermacam-macam gangguan kepribadian, misalnya kepribadian yang paranoid, siklomitik, skizoid, anankastik, histerik, astenik, antisosial dan pasif-agresi (Maramis, 1998).
2.3.3.10 Gangguan Penampilan

Terlalu kritis, teliti atau rewel mungkin merupakan tanda obsesif-kompulsif. Kemunduran dalam tingkat kebersihan dan kerapian dapat merupakan tanda adanya depresi atau skizoprenia (Maramis, 1998).

2.3.3.11 Gangguan Pola Hidup

Gangguan pola hidup mencakup gangguan-ganguan dalam hubungan antar manusia dan sifat-sifat dalam keluarga, pekerjaan, rekreasi dan masyarakat.
2.4 Pengobatan dan Perawatan Terhadap Penderita Gangguan Jiwa
Pengobatan dan perawatan terhadap penderita gangguan jiwa harus memakai pendekatan holistik, biarpun pada suatu waktu tertentu prioritas diberikan kepada salah satu unsur saja, dan prioritas ini disesuaikan dengan keadaan pasien.
Secara umum pengobatan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: somatoterapi, psikoterapi, dan manipulasi lingkungan demi kesembuhan pasien. Bila lingkungan suatu institut (Rumah Sakit) dengan fasilitas dan peraturan-peraturannya dibuat untuk mempercepat kesembuhan pasiennya, maka dinamakan milieutherapy, bila lingkungannya yang sakit dan hendak diobati, maka hal ini dinamakan sosio terapi (Maramis, 1998).
Era globalisasi adalah suatu era dimana perkembangan IPTEK yang telalu cepat yang berdampak pada semua sektor terutama kesehatan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan di era globalisasi ini tiap tenaga kesehatan dituntut untuk mampu bersaing termasuk perawat jiwa sebagai pemberi asuhan keperawatan jiwa (Suryani, 2003 : Journal Noursing of Padjadjaran).
Perawat jiwa dalam memberikan asuhannya dituntut untuk bekerja secara professional, sehingga asuhan yang diberikan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah (Suryani, 2003 : Journal Noursing of Padjadjaran).

Trend pelayanan keperawatan mental psikiatri di era globalisasi, seperti yang diungkapkan oleh Suryani (2003), dalam majalah keperawatan, Noursing Journal of Padjadjaran University, menyatakan bahwa “peran perawat mental psikiatrik tidak lagi hanya terbatas pada pemberian asuhan di rumah sakit akan tetapi dituntut untuk lebih sensitive dilingkungannya”. Dari pernyataan ini jelas bahwa gangguan jiwa sebaiknya ditangani sejak dini, atau dalam artian bahwa sebaiknya lebih pada pencegahan kearah yang lebih berat, yaitu perawat lebih baik mendeteksi sedini mungkin adanya gangguan jiwa yang terjadi di masyarakat. Namun demikian kemampuan perawat harus memiliki tiga kunci utama dalam proses tersebut yaitu: (1) pengalaman dan pendidikan perawat, (2) peran dan fungsi perawat, (3) serta hubungan perawat dengan profesi lain dalam komunitas (Leininnger, 1974 dalam Suryani, 2003 : Journal Noursing of Padjadjaran).

Selama ini di masyarakat juga sering tedengar isu-isu tentang perawatan spiritual terhadap gangguan jiwa. Spiritual yang dimaksud disini adalah spiritual yang islami. Sehat dalam pandangan Islam bukan hanya terbatas pada sehat fisik, melainkan juga sehat pikiran (akal) dan sehat jiwa (rohani) (Kusman, 2003 : Journal Noursing of Padjadjaran).
2.5 Persepsi / Tanggapan Masyarakat Tentang Ganguan Jiwa
Dikalangan masyarakat, pemahaman tentang masalah kesehatan jiwa masih rendah. Gangguan jiwa masih diidentikkan dengan psikotik seperti skizofrenia atau bahasa awamnya “gila,” padahal variasi gangguan jiwa sangat luas (Atikawulanjani, Sinarharapan. 2005).
Menurut Dr. Dengara Pane dalam Pikiran Rakyat yang berjudul “30% Warga Jabar Punya Masalah Jiwa”, menyatakan bahwa: jika dilihat dalam tingkatannya, gangguan kesehatan jiwa ada 100 jenis. Mulai dari yang teringan hingga yang terberat. Hanya beberapa gangguan jiwa berat saja yang disebut gila (Mr, Pikiranrakyat, 2002). Sementara dimasyarakat, hingga saat ini masih berkembang stigma yang berdampak buruk terhadap nasib penderita gangguan jiwa itu sendiri maupun orang-orang yang teralibat dan dekat dengan mereka. Stigma itu umumnya masih menganggap bahwa mereka yang berhubungan dengan rumah sakit jiwa, dokter jiwa dan perawat jiwa, itu dianggap orang gila. Akibatnya mereka malu. Padahal, yang namanya gangguan jiwa ada 100 jenis dan yang disebut gila oleh masyarakat itu hanya beberapa saja (Mr, Pikiranrakyat, 2002).
Menyinggung faktor penyebabnya, menurut Dengara, sangat kompleks. Bisa biologis, psikologis, sosial budaya, spiritual. Akan tetapi belakangan ini telah terjadi pergeseran alasan. Dulu pengidap gangguan kesehatan jiwa terjadi karena faktor perceraian, hubungan buruk dengan tetangga, putus pacar, dan stress. Sekarang faktor ekonomi yang menjadi penyebab utama (Mr, Pikiranrakyat, 2002).
Masyarakat masih juga percaya bahwa gangguan jiwa masih disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya mistis dan magis. Ada kalanya juga masih dianggap sebagai kutukan, buah kejahatan, karma, atau karena melanggar tabu (Mr. Pikiranrakyat, 2002).
Menyinggung soal pengobatan dan perawatannya yang berkembang dimasyarakat bahwa walaupun dirawat dan diobati sebaik apapun, masyarakat menganggap penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Padahal penyakit ini dapat sembuh apabila dilakukan perawatan secara intensiv dan berkelanjutan, individu yang mengidap penyakit ini masih dapat bekerja dan eksis di masyarakat (Mr, Pikiranrakyat, 2002).

Pemahaman Fenomena “orang gila”, memunculkan tanggung jawab kita selaku anggota masyarakat yang seharusnya peduli akan keberadaan dan kebutuhan mereka. Pada prinsipnya mereka sama seperti orang waras yang mempunyai kebutuhan untuk diakui dan diperlakukan secara baik. Walaupun yang tampak adalah mereka hidup di dunia sendiri dan lebih sering menyendiri, karena itu perlu kerja sama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah (Teguh, Balipost, 2003).

Dukungan pemerintah dalam hal ini bukan hanya menyediakan fasilitas perawatan dan pengadaan obat-obatan saja, namun lebih lanjut mempertimbangkan pengalokasian dana untuk meningkatkan mutu pendidikan kesehatan terutama di bidang perawatan jiwa, sehingga melahirkan tenaga-tenaga kesehatan jiwa yang professional (Widya, Kompas, 2003).

Dengan lahirnya perawat jiwa yang professional diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memberi pandangan terhadap gangguan jiwa. Selama ini gangguan jiwa menurut anggapan mereka masih diidentikkan sama dengan Psikotik.

Anggapan berbagai kelompok yang ada di masyarakat tentang gangguan jiwa bermacam-macam atau beraneka ragam, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kebudayaannya (Susilohati, 1994 : Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi).

Anggapan yang beraneka ragam dari berbagai kelompok ini ada yang mempunyai pendapat yang sama dengan teori yang telah ada. Misalkan saja pengertian gangguan jiwa yang berkembang saat ini, sebagian masyarakat berpendapat adanya kelainan yang terjadi di dalam jiwa seseorang atau yang berkaitan dengan stress (Susilohati, 1994 : Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi).

Dalam penelitiannya yang disampaikan dalam Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi tentang “Pemahaman Masyarakat Tentang Gangguan Jiwa”, menyimpulkan bahwa masyarakat berpendapat gangguan jiwa adalah sindroma / pola prilaku / psikologik seseorang yang secara klinik cukup bermakna dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penyelewengan dari fisiologis / distress, atau hendaya dalam satu atau lebih fungsi dari manusia. Yaitu tergambar dari prilaku psikologik dan atau biologik, tidak hanya tergambar dari hubungan antara orang itu dengan masyarakat saja (Susilohati, 1994 : Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi).

DMC