BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Selama proses wawancara peneliti mendahulukan kebutuhan dan kondisi responden seperti memperhatikan kesiapannya untuk bercerita dan memperhatikan kondisi fisik dan psikologisnya. Hal ini bertujuan agar wawancara berlangsung lancar dan informasi yang didapatkan valid dan akurat.
Pengumpulan data dilakukan dengan strategi yang dikemukakan oleh Creswel (1994) bahwa prosedur pengumpulan data dibagi dalam empat tipe dasar yaitu: observation, interviews, document and visual images. Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi / pengamatan. Dilakukan secara langsung oleh peneliti dengan cara merekam perilaku dari objek penelitian
2. Wawancara dilakukan langsung dengan informan, dengan maksud adalah untuk merekam persepsi atau opini tentang objek penelitian secara langsung dari kata-kata dan tindakan yang diperoleh dari hasil wawancara
3. Studi kepustakaan mengumpulkan data yang berasal dari literatur ilmiah, media masa, sehingga dengan hasil studi kepustakaan diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap konsep-konsep yang berkaitan dengan penelitian ini.
Pembicaraan yang dilakukan mencakup tentang pengertian terhadap gangguan jiwa, penyebab gangguan jiwa, tanda dan gejala gangguan jiwa, pengobatan dan perawatan terhadap penderita gangguan jiwa.
Uraian berikut akan menggambarkan secara rinci hasil penelitian mengenai Persepsi Masyarakat Tentang Gangguan Jiwa di Desa Cigadung Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan.
4.1.1 Karakteristik Responden
4.1.1.1 Responden I
Nama N, umur 35 th, agama Islam, pendidikan perguruan tinggi, pekerjaan Guru SMP, responden telah 3 th mempunyai tetangga dengan Gangguan Jiwa. Wawancara dilakukan tgl 23 september 2005, pukul 15.00 WIB sampai pukul 15.30 WIB. Sebelum mengadakan wawancara, responden diberi penjelasan terlebih dahulu tentang: topik yang akan diwawancarai, tujuan wawancara, kontrak waktu, serta memperlihatkan alat-alat yang akan digunakan dalam proses wawancara. Proses penjelasan dilakukan selama 20 menit, akhirnya responden menyatakan persetujuannya untuk diwawancara. Wawancara pokok tentang Persepsi tehadap Gangguan Jiwa berlangsung selama 10 menit, karena pada hari itu ada les dengan muridnya selama satu jam.
4.1.1.2 Responden II
Nama K, umur 40 th, agama Islam, pendidikan SLTA, pekerjaan Ibu Rumah Tangga. Mempunyai tetangga dengan gangguan jiwa selama 4 th, wawancara dengan responden dilakukan tiga kali, karena wawancara pertama ada gangguan pada tape recorder, sehingga hanya sedikit dari wawancara yang dilakukan yang terekam, sehingga wawancara diulang pada keesokan harinya. Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 23 september 2005, pukul 19.00 WIB sampai pukul 19.30 WIB. Pada wawancara ini, peneliti menjelaskan topik yang akan diwawancarakan, tujuan dari wawancara, kontrak waktu untuk wawancara serta melakukan informed consent. Setelah menjelaskan semua prosedur, peneliti meminta ijin untuk merekam wawancara tersebut kedalam tape recorder.
4.1.1.3 Responden III
Nama KD, umur 41th, agama Islam, pendidikan SLTP, pekerjaan ketua Rt. mempunyai tetangga gangguan jiwa selama 6 th. Wawancara dilakukana tanggal 24 september, pukul 09.00WIB sampai dengan pukul 09.30 WIB, di rumah responden, wawancara pertama dilakukan dengan menjelaskan topik yang akan diwawancarakan, tujuan wawancara, prosedur wawancara, informed consent. memperlihatkan alat-alat yang akan digunakan dalam proses wawancara. Responden orang yang sangat kooperatif, mudah memahami penjelasan yang disampaikan. Responden meminta kepada peneliti agar menuliskan topik apa saja yang akan ditanyakan, sehingga peneliti tidak perlu banyak bertanya, cukup mendengarkan saja.
4.1.1.4 Responden IV
Nama I, umur 39 th, agama Islam, pendidikan SLTA, Pekerjaan buruh tani. Mempunyai tetangga dengan gangguan jiwa selama 6 tahun. Wawancara dilakukan dirumah responden tapi saat wawancara ada kerabat responden juga bersama dan kadang-kadang ikut memberikan tanggapannya saat responden menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Kerabat responden ini tidak dimintai keterangannya lebih lanjut karena kerabat responden tidak memiliki tetangga dengan gangguan jiwa. Wawancara dilakukan pada tanggal 24 september, mulai pukul 10.30 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB. Wawancara pertama berlangsung selama 30 menit. mulai dari pukul 10.30 sampai dengan pukul 11.00 WIB. Wawancara kedua berlangsung 20 menit, dilanjutkan pada hari yang sama yaitu pukul 11.40 sampai pukul 12.00 WIB. Responden orang yang sangat terkesan terburu-buru. Akan tetapi saat ditanya responden menjawab semua pertanyaan dengan senang hati. Bukan karena terpaksa, hal itu tergambar ia menyampaikan pendapatnya dengan suara yang tinggi dan dengan gerakan-gerakan tangan yang membantu ia untuk menjelaskan pendapatnya tersebut.
4.1.1.5 Responden V
Nama M. umur 42 th, agama Islam, pendidikan SD, pekerjaan wiraswasta, memiliki tetngga dengan gangguan jiwa selama 5 th. Wawancara dilakukan dirumah responden. Responden sangat koperatif, enak diajak wawancara. Sebelum wawancara dimulai terlebih dahulu dijelaskan topik yang akan di wawancarakan, tujuan wawancara, prosedur wawancara, kontrak waktu dan informed consent. Responden menjawab pertanyaan dengan gamblang.
4.1.1.6 Responden VI
Nama E, usia 45 th, agama Islam, pendidikan perguruan tinggi, pekerjaan petani, memiliki tetangga dengan gangguan jiwa selama 6 th, wawancara dilakukan pada tanggal 24 september 2005. Tempat wawancara diteras rumah responden, wawancara berlangsung dua kali. Sebelum diwawancara responden diberi penjelasan tentang topik yang akan diwawancara, tujuan wawancara, prosedur wawancara, kontrak waktu dan informed consent. Wawancara pertama dilakukan mulai pukul 15.00 WIB sampai pukul 15.30 WIB. Wawancara kedua dilakukan pada pukul 19.00 WIB sampai pukul 19.20 WIB. Wawancara pertama peneliti menanyakan pendapat responden tentang pengertian gangguan jiwa, responden menjawab dengan baik, dengan suara yang jelas dan lugas, mungkin hal ini terjadi karena responden mempunyai latar belakang pendidikan dari perguruan tinggi, sehingga sudah terbiasa dalam hal mengungkapkan pendapat.
4.1.1.7 Responden VII
Nama A. umur 49 th, agama Islam, pendidikan SLTA, Pekerjaan wiraswasta, memiliki tetangga dengan gangguan jiwa selama 7 th. Responden diwawancara tanggal 26 september 2005, di rumah responden. Wawancara dilakukan dua kali yaitu pada pukul 08.00 WIB sampai pukul 08.30 WIB dan pada pukul 09.00 WIB sampai dengan 09.20 WIB. Sebelum merekam wawancara, responden diberi penjelasan terlebih dahulu tentang topik yang akan diwawancarakan, tujuan dari wawancara, kontrak waktu, serta melakukan informed consent.
4.1.1.8 Responden VIII dan IX
Responden VIII dan IX wawancaranya dilakukan di tempat tinggal peneliti tanggal 26 september 2005, pukul 11.00 WIB sampai pukul 12.30 WIB. responden VIII meminta agar wawancara dilakukan dirumah tempat peneliti tinggal, akan tetapi respoden IX datang sendiri karena pada saat peneliti berkunjung kerumahnya, responden IX pada saat itu sedang tidak ada di rumah, lalu responden datang untuk meminta diwawancara. Responden VIII dan IX datang dalam waktu yang bersamaan, sehingga responden setuju kalau wawancara dilakukan bersama-sama. Adapun karakteristik dari responden adalah:
Responden VIII : Nama E, umur 45 th, agama Islam, pendidikan SLTP, pekerjaan ibu rumah tangga. Mempunyai tetangga dengan gangguan jiwa selama 10 tahun.
Responden IX: Nama S, usia 45 th, agama Islam, pendidikan SLTA pekerjaan petani. Mempunyai tetangga dengan gangguan jiwa 7 th. Kepada responden dijelaskan topik dari wawancara yang akan dilakukan, tujuan dari wawancara, kontrak waktu serta informed consent.
4.1.1.9 Responden X
Nama BS, umur 45 th, agama Islam, pendidikan SD, pekerjaan petani. Mempunyai tetangga dengan gangguan jiwa selama 7 th, ternyata saat wawancara responden menyatakan bahwa dia juga mempunyai anak dengan gangguan jiwa, akan tetapi sudah lama, sekarang sudah sembuh dan bekerja sebagai pedagang. Wawancara dilakukan di rumah responden. Pada tanggal 27 september 2005. wawancara dilakukan dua kali mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 09.00 WIB. Wawancara pertama berlangsung selama 30 menit. Peneliti menjelaskan topik yang akan diwawancara, tujuan dari wawancara, kontrak waktu wawancara, prosedur dari wawancara serta informed consent. Pendapat responden tentang gangguan jiwa adalah : responden merasa sedikit bingung untuk menjelaskan kembali karena pada awalnya, responden sudah menjelaskan dengan panjang lebar tentang pengertian, penyebab, tanda dan gejala, serta pengobatan dan perawatan terhadap gangguan jiwa. Melihat keseriusan responden, maka peneliti tidak menghentikannya, akan tetapi mendengar terus apa yang menjadi pendapat dari responden.
4.1.2 Deskripsi Hasil Penelitian
Hasil penelitian dilaporkan dalam bentuk narasi. Persepsi tentang gangguan jiwa sangat bervariasi. Adapun persepsi masyarakat dari hasil penelitian tersebut tentang: pengertian terhadap gangguan jiwa: 1) sama dengan orang yang gila/ orang yang mengalami perubahan yang dari yang normal menjadi tidak normal; 2) orang yang stress; 3) orang yang harapan/kemauannya tidak tercapai. Penyebab gangguan jiwa: 1) tekanan-tekanan dari lingkungan, 2) faktor ekonomi, 3) keturunan dan 4) roh-roh halus. Tanda dan gejala gangguan jiwa: 1) melamun dan menyendiri; 2) kebersihan diri sangat kurang; 3) kerusakan atau ada gangguan komunikasi; tanda dan gejala lainnya 4) mencederai diri sendiri dan atau orang lain. Pengobatan dan perawatan terhadap penderita gangguan jiwa: dukun/paranormal, kiai, rumah sakit / medis.
4.1.2.1 Pengertian Gangguan Jiwa
Persepsi masyarakat tentang pengertian gangguan jiwa bervariasi. Berikut persepsi yang dinyatakan oleh responden tentang pengertian gangguan jiwa:
4.1.2.1.1 Gangguan jiwa sama dengan orang yang gila / tidak normal. Dinyatakan oleh responden I, V, VI, VII dan responden IX.
Adapun kutipannya sebagai berikut:
1. Responden I
“gangguan jiwa itu e…h, … yah…tidak menentulah”.
2. Responden V
“ karena …, kalo dibilang gilamah nggak…, tapi…, yah gilalah namanya!”
3. Responden VI
“ Gangguan jiwa ini adalah perubahan dari yang normal menjadi tidak normal…, jadi ada kemiringan prilaku…”
4. Responden VII
“ biasanya orang terkena gangguan jiwa itu orang yang tingkah lakunya aneh-aneh,…”
5. Responden IX
“ Jadi itulah orang yang mengalami kelainan jiwa…”
4.1.2.1.2 Gangguan jiwa adalah orang yang stress. Dinyatakan oleh responden I, III, VII, dan VIII. Berikut kutipannya:
1. Responden I
“gangguan jiwa itu e…h, … yah stress…”.
2. Responden III
“ menurut saya pribadi…, yah gangguan yang terjadi pada jiwa seseorang , dan ini suatu penyakit juga! Mungkin sering disebut stress…”.
3. Responden VII
“ biasanya orang terkena gangguan jiwa itu orang yang,…, yah stress mungkin…”
4. Responden VIII
“ yah…, itu macam-macam…, yah stresslah namanya”
4.1.2.1.3 Gangguan jiwa adalah orang yang harapan dan kemauannya tidak tercapai. Dinyatakan oleh responden II, IV, V, VII, X. Berikut kutipannya:
1. Responden II
“kalo menurut saya gangguan jiwa itu apayah…,…, sebenarnya bukan orang gila! Orang yang harapannya tidak tercapai”.
2. Responden IV
“menurut saya yang dimaksud dengan gangguan jiwa, yah…,…karena maksud nggak tercapai!”
3. Responden V
“ karena keinginan yang tidak tercapai…”
4. Responden VII
“ biasanya orang terkena gangguan jiwa itu orang yang harapannya tidak tercapai”
5. Responden X
“ gangguan jiwa itu sama dengan orang yang kemauannya yang tidak kesampaian atau tidak terpenuhi”
4.1.2.2 Penyebab Gangguan Jiwa
Persepsi masyarakat mengenai penyebab gangguan jiwa banyak, responden ada yang menyatakan satu sebab saja dan ada yang menyatakan lebih dari satu sebab. Adapun persepsi responden tentang penyebab gangguan jiwa:
Penyebab gangguan jiwa adalah karena tekanan dari lingkungan. Dinyatakan oleh responden I, II, IV, V, dan VI. Adapun kutipannya sebagai berikut :
1. Respoden I
“: yaitu tadi kan ada dari lingkungan, dikekang, tidak ada kebebasan,”
2. Responden II
" karena yah tekanan-tekanan dari orang tua dan lingkungan…, lalu menjadi gangguan di jiwanya”.
3. Responden IV
“ tadi yah…, itu karena dilarang mencintai seorang gadis, sehingga ia menjdi putus asa.”
4. Responden V
yaitu tadi…, yang saya sebut itu? (maksudnya tekanan dari lingkungan sehingga harapan tidak tercapai).”
5. Responden VI
“ yang paling inti sekali adalah: karena tekanan sosial, dibilang tekanan sosial itu karena diluar kemampuannya itu misalnya mengharapkan sesuatu yang menyebabkan gangguan jiwa.”
Penyebab gangguan jiwa adalah Faktor Ekonomi. Dinyatakan oleh responden I, III, VII, dan X. berikut kutipannya :
1. Respoden I
“:.. karena gak punya uang untuk jajan, lama-kelamaan menjadi beban dalam pikirannya, sehingga ia menjadi stress, dan terlalu banyak keinginannya yang tidak dapat ia beli, ya…karena gak ada uang tadi. Lama-lama ia menjadi melamun dan keadaan ini dapat memudahkan roh halus merasuki jiwanya.”
2. Responden III
“ terus penyebabnya itu yang pernah saya perhatikanlah walaupun tidak detil…, Yaitu yang pertama faktor ekonomi, sosial ekonomi keluarga,…, sehingga ia bisa mengakibatkan gangguan jiwa.”
3. Responden VII
“yah karena faktor ekonomi, atau yang lainnya, biasanya karena itu… ada …, terlalu dipikirkan sehingga orang tersebut menjadi stress.”
4. Responden X
“yah namanya juga anak muda, mungkin karena maunya terlalu macam-macam, apalagi kalo dia anak orang miskin ya…. kemauan tinggi tapi gak bisa dipenuhi makanya ia menjadi stress”.
Disebabkan oleh faktor keturunan. Dinyatakan oleh responden III, VIII, IX. Adapun kutipannya sebagai berikut :
1. Responden III
“ …ada juga anggota keluarga sebelumnya yang menderita gangguan jiwa, sehingga seseorang mempunyai kesimpulan bahwa inimah penyakit keturunan gitu. sehingga ia bisa mengakibatkan gangguan jiwa.”
2. Responden VIII
“ itu macam-macam, ada yang dari pikiran, keinginan yang tidak tercapai, ada yang dari keturunan…”,
3. Responden IX
“ jadi itulah orang yang mengalami kelainan jiwa…, suatu faktornya keturunan ada, lalu dari cita-cita tinggi tidak tercapai, daya kemampuan kurang sedang keinginan setinggi langit, itu juga gangguan jiwa ”.
Disebabkan oleh roh-roh halus. Dinyatakan oleh responden I. Adapun kutipannya sebagai berikut :
Respoden I
“:…, Lama-lama ia menjadi melamun dan keadaan ini dapat memudahkan roh halus merasuki jiwanya ”.
4.1.2.3 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
Dari hasil yang telah diperoleh melalui wawancara bahwa persepsi masyarakat tentang tanda dan gejala gangguan jiwa, persepsi responden tentang tanda dan gejala gangguan jiwa hampir semua sama, adapun pernyataannya adalah:
4.1.2.3.1 Tanda dan gejalanya adalah melamun dan menyendiri. Pendapat ini dinyatakan oleh responden I, II, III dan X. berikut kutipannya :
1. Responden I
“ karena itu tadi yah…, disekolah ia akan melamun “.
2. Responden II
“ sering melamun,mengurung diri dalam kamar …”
3. Responden III
“ kemudian kalo kita lihat orang yang dengan penyakit kelainan jiwa itu diantaranya, suka melamun,…”
5. Responden X
“ melamun, seperti melamun dan kurang mendengar saat dipanggil yah gitu-gitulah ”.
4.1.2.3.2 Kebersihan diri sangat kurang. Diungkapkan oleh responden I, II, IV, VI, VII dan VIII. Adapun kutipannya sebagai berikut :
1. Responden I
“karena itu tadi yah… rambutnya acak-acakan…”
2. Responden II
“… Baju apa adanya, tidak perduli pada diri sendiri,…,gak neko-neko kalo penampilan itu teh ”.
3. Responden IV
“ yang sering terlihat? dari kebersihan pribadinya itu yang tadinya mandi, gak dilakukan lagi, yang tadinya sehari-hari dilakukan yah… jadi diabaikan sudah tidak dilakukan lagi…”
4. Responden VI
“…Dari penampilannya biasanya suka menjurus kepada suka enak dewe kebae (seenaknya saja) ” .
5. Responden VII
“ biasanya pakaiannya tidak pernah ganti,…, terus gak mau mandi,...”
6. Responden VIII
“ dari segi tingkah laku nggak wajar dari rambut dan pakaian beda. Ada yang jorok. Kebanyakan yang jorok karena sudah terlalu lama menderita gangguan jiwa ”.
4.1.2.3.3 Kerusakan atau ada gangguan komunikasi. Dinyatakan oleh responden I dan VII.
Adapun kutipannya sebagai berikut:
1. Responden I
“ omongannya gak karuan atau kacau, kalo gitumah, e…h ngomongannya asal gitu ”.
2. Responden VII
“ berbicara sendiri-sendiri gak nyambung…”
4.1.2.3.4 menyakiti diri sendiri dan orang lain. Dinyatakan oleh responden III, IV dan V. Adapun kutipannya sebagai berikut :
1. Responden III
“ kemudian kalo kita lihat orang yang dengan penyakit kelainan jiwa itu diantaranya, …, kadang-kadang suka menyakiti diri sendiri, misalnya saja suka memukul-mukulkan kepalanya ketembok, kemudian akhirnya menganiayai atau mencederai orang lain ”.
2. Responden IV
“ yang sering terlihat? yang jadi beringasan gitu. mau marah, atau mau mukul gitu,”
3. Responden V
“...ya tetapi tidak membahayakan, yaah.. kadang- kadang suka ngancamlah gitu,”
4.1.2.4 Pengobatan dan Perawatan terhadap Penderita Gangguan Jiwa
Pengobatan dan perawatan terhadap penderita gangguan jiwa responden mempersepsikan bahwa akhirnya memang harus dibawa ke Rumah Sakit, akan tetapi untuk awalnya mereka berpendapat sebaiknya di bawa ke dukun terlebih dahulu. Pernyataan ini dinyatakan oleh seluruh responden kecuali responden II dan X. adapun kutipannya sebagai berikut :
1. Responden II
“ sebaiknya langsung aja dibawa kerumah sakit aja, konsul kedokter, biar ditangani oleh ahlinya, gak perlu kedukun atau keparanormal. Yang penting keluarga rajin konsul yang terus-menerus dan jangan putus-putus sampai sembuh total”.
2. Responden X
“ langsung aja ke rumah sakit. Apa lagi sekarang itu ada pengobatan gratis untuk orang-orang yang tidak mampu. Sekali lagi saya mengusulkan jangan mau ditipu oleh orang-orang berkedok untuk mengobati, tapi padahal hanya mau mengeruk uang saja, apalagi saya itu, waktu itu sudah habis uang tiga juta! hanya untuk berobat selama dua bulan! Begitu saja saya rasa ”.
Adapun responden yang menyatakan terlebih dahulu dirawat oleh dukun adalah : responden I, III, IV, V, VI, VII, VIII dan IX
1. Responden I
“ therapinya sebaiknya kalo awalnya sebaiknya dibawa ke orang yang pinter,… sholat…, yah…terutama harus mendekatkan diri kepada ALLAH SWT .atau ke orang pinter yang dapat mengusir roh-roh halus, atau dapat juga kekiai (pemuka agama).Tapi kalo memang gak sembuh-sembuh juga bisa juga dibawa kedokter atau ahli medis, kerumah sakit juga bisa. sebenarnya selain obat atau konsul kedokter ”.
2. Responden III
“ Untuk pengobatan yang dilakukan melalui usaha-usaha keluarga, namanya itu entah apa (maksudnya paranormal). Yang paling cocok setelah berobat ketempat yang macam-macam yang paling cocok adalah lebih baik kerumah sakit jiwa ”
3. Responden IV
“ biasanya kedukun terlebih dahulu. Tapi lama-lama karena gak sembuh-sembuh juga ya dibawa kerumah sakit. Disini itu ada beberapa orang yang seperti itu. Tapi akhirnya sembuh di rumah sakit. tapi kalo saya sependapat itu penyakitnya diobati di rumah sakit saja..,”
4. Responden V
“ Pengobatan ya ada yang kedukun tapi..tapi ya.. tidak menyembuhkan. Hanya dukunnya saja yang lintuk (gemuk), kalo bahasa sunda, maksudnya dukunnya saja yang gemuk (kaya) ha..ha..ha…, tetapi yang sakitnya tetap sakit.., sehingga dibawa pulang dan dibawa kerumah sakit yah, Alhamdulillah sembuh ”.
5. Responden VI
“ untuk pengobatan dan perawatan terhadap penderita gangguan jiwa adalah: kalo ilmu kedokteran dan ilmu ghoib diperbandingkan atau dilakukan studi banding jadi sasarannya biasanya melalui petunjuk-petunjuk kiai. Kalo gangguan jiwa karena kelainan fisik, misalkan saja karena pengaruh narkoba yah sebaiknya kerumah sakit saja, karena yah memang begitu yang seharusnya ”.
6. RespondenVII
“ kalo perawatannya itu secara tradisional yang pernah saya lihat bahwa dimandikan pagi-pagi sekali sampai menggigil di dalam kolam. Sudah capek baru di bawa pulang, dikasi makan lalu di suruh tidur kalo perawatannya itu secara tradisional yang pernah saya lihat bahwa dimandikan pagi-pagi sekali sampai menggigil di dalam kolam. Sudah capek baru di bawa pulang, dikasi makan lalu di suruh tidur, baiknya rumah sakit aja ”.
7. Responden VIII
“ yah namanya orang tua yang ingin anaknya sembuh anaknya itu biasanya ada yang dibawa keparanormal, ada yang ke rumah sakit jiwa gitu. Biasanya ke rumah sakit kalo ada uang, tapi lebih sering ke paranormal ”.
8. Responden IX
“ yah ke paranormal, ya ke rumah sakit jiwa juga. Tapi kadang-kadang ke rumah sakit itu bebas ya, kalo gak salah? bawa ke rumah sakit jiwa aja karena itu yang praktis dan lebih gampang, karena gak ada persyaratan yang memberatkan (syarat untuk persembahan/sesajen). bedalah seperti ke paranormal, harus memakai syarat-syarat yang kurang masuk akal. kalo di rumah sakit mudah di deteksi lebih awal . Yah saya rasa ke rumah sakit jiwa ajalah...”
4.2 Pembahasan
4.1.2 Pengertian terhadap Gangguan Jiwa
Pribadi yang berbeda–beda membuat perbedaan pula dalam mempersepsikan orang lain. Terdapat suatu pengetahuan diri yang disebut proyeksi yang dapat mempengaruhi dalam persepsi. Individu yang dapat mengenalkan pada orang lain sifat-sifat yang ada pada dirinya yang tidak disenangi. Orang yang banyak melakukan proyeksi akan tidak cermat dalam menanggapi stimulasi, bahkan akan mengaburkan gambaran sebenarnya. Sebaliknya orang yang menerima diri apa adanya, tidak dibebani rasa bersalah, cenderung lebih cermat dalam menafsirkan orang lain. Orang yang trampil mudah bergaul dan ramah, cenderung memberikan penilaian positif (Rahmat, 2000).
Perhatian dibentuk oleh faktor eksternal atau faktor internal. Faktor eksternal adalah stimuli diperhatikan karena mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain : (1) Gerakan, seperti organisme lain, manusia secara visual tertarik pada objek-objek yang bergerak. (2) Intensitas stimuli yaitu seseorang akan memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari stimuli yang lain. (3) Kebaruan (novelty), yaitu hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang berbeda akan menarik perhatian. (4) Perulangan yaitu hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disajikan dengan sedikit variasi, akan menarik perhatian. Sedangkan faktor Internal adalah: (1) Faktor biologis (kebutuhan dasar manusia). (2) Faktor sosiopsikologis dan (3) Motif sosiogenis (sikap, kebiasaan dan kemauan mempengaruhi apa yang kita perhatikan) (Rakhmad, 2000).
Persepsi masyarakat tentang pengertian terhadap gangguan jiwa bervariasi.hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Dari kesepuluh responden yang diwawancarai ada yang mempunyai pendapat lebih dari satu tentang pengertian gangguan jiwa. Responden yang menyatakan pendapat lebih dari satu tentang pengertian gangguan jiwa adalah: responden I, V dan VII. Persepsi yang muncul adalah: (1) responden berpendapat bahwa pengertian gangguan jiwa sama dengan orang yang gila / orang yang mengalami perubahan dari yang normal menjadi tidak normal, dinyatakan oleh responden I, V, VI, VIII, IX; (2) orang yang stress dinyatakan oleh respondenI, III, VII, VIII; (3) Orang yang harapan dan kemauannya tidak tercapai. Yaitu dinyatakan oleh responden II, IV, V, VII dan X.
Pernyataan masyarakat menggambarkan bahwa masyarakat mempersepsikan pengertian gangguan jiwa adalah sebenarnya hanya gangguan psikotik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Susilohati (1994) yang berjudul “pemahaman masyarakat tentang gangguan jiwa” dalam Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi menyimpulkan bahwa: “…, gangguan jiwa yang secara klinik cukup bermakna, yang berkaitan dengan gejala penyelewengan dari fisiologis / distress,……yang dipengaruhi oleh sosial budaya”.
Pendapat ini juga sesuai dengan pemberitaan bahwa di kalangan masyarakat, pemahaman tentang gangguan jiwa masih rendah, gangguan jiwa masih diidentikkan dengan psikotik seperti Skizofrenia atau gila (Atikawulandjani, 2005: Sinar harapan).
Masyarakat mempersepsikan gangguan jiwa yang selama ini dilihat dan didengar adalah gangguan jiwa yang berat, hal ini sesuai dengan pendapat bahwa: gangguan jiwa kurang disadari oleh masyarakat karena pada tahap awalnya gangguan ini memperlihatkan gejala gangguan pada tubuh saja, sehingga mereka merasa kelainan tersebut adalah gangguan somatik, bukan dikarenakan gangguan kejiwaan (Sulinger, 1998).
Gambaran ini juga ditunjang oleh hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Tambora Jakarta Selatan bahwa: dari keseluruhan penderita baru yang berkunjung ke puskesmas 30-50 % ternyata mempunyai latar belakang gangguan mental emosional (Depkes.RI, 1995).
4.1.3 Penyebab Gangguan Jiwa
Penyebab gangguan jiwa yang dipersepsikan oleh masyarakat adalah: (1) disebabkan oleh tekanan-tekanan lingkungan. Dari sepuluh responden yang diwawancarai, ada lima responden yang menyatakan pendapat ini yaitu responden I, II, IV, V dan VI. (2) disebabkan oleh faktor ekanomi: yaitu dinyatakan oleh responden I, III, VII dan X. (3) disebabkan oleh keturunan. Yang dinyatakan oleh responden II, VIII dan IX. (4) disebabkan roh-roh jahat, Dari sepuluh responden hanya responden I yang menyatakan hal ini.
Benar pendapat Dr. Dengara pane yang menyatakan bahwa “ penyebab gangguan jiwa sekarang ini sudah mengalami pergeseran alasan yaitu faktor ekonomi yang menjadi penyebab utama ” (Mr, pelitarakyat, 2002), karena dari hasil penelitian ini ada empat reponden yang berpendapat faktor ekonomi merupakan penyebab gangguan jiwa, hal ini menggambarkan hampir setengah dari responden.
Faktor ekonomi mempunyai pengaruh terhadap perkembangan mental seseorang. Individu dengan latar belakang sosial ekonomi yang rendah, sering ditemukannya gejala-gejala tingkah laku yang abnormal atau tidak wajar (Maladjusted behavior) seperti tingkah laku agresif, penyelewengan dan sebagainya (Ahmadi, 1995, dalam wahab, 1999). Kemiskinan juga merupakan faktor predisposisi terjadinya gangguan jiwa (Maramis, 1998).
Pendapat yang dikutip dari Pikiran Rakyat yang dinyatakan oleh Dengara yang menyatakan bahwa masyarakat masih percaya gangguan jiwa disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya mistis dan magis (Mr, 2002: Pikiran Rakyat), ternyata dari hasil penelitian ini hanya satu responden saja yang sependapat, akan tetapi sembilan responden tidak sependapat. Hal tersebut menggambarkan masyarakat mulai memahami bahwa penyebabnya bukan lagi oleh magis dan mistis. Sementara ada faktor yang lain yang dapat menyebabkan gangguan jiwa seperti faktor: somatogenik dan psikogenik (Maramis, 1998).
Unsur-unsur kebudayaan masih melekat di masyarakat, hal ini terlihat dari wawancara yang dilakukan pada sepuluh responden satu diantaranya masih berpendapat bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh roh-roh jahat. Kebudayaan lahir berbarengan dengan masyarakat manusia lahir. Dengan demikian budaya lahir satu atau dua juta tahun yang lampau. Hal ini menggambarkan suatu yang rasional jika budaya suatu tempat melekat erat pada tiap individu yang hidup di lingkungan budaya tersebut. Akan tetapi budaya ini akan mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Evolusi ini berbeda di tiap-tiap tempat sesuai dengan tantangan lingkungan dan kemampuan intelektual tiap-tiap individu dalam masyarakat tersebut (Sumoatmadja, 1996). Teori ini juga berlaku bagi masyarakat Babakan karena dari sepuluh responden sembilan responden sudah tidak sependapat dengan hal-hal yang magis dan mistis.
4.1.4 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
Tanda dan gejala yang dipersepsikan masyarakat hanya mengetahui seseorang yang mengalami gangguan jiwa adalah: (1) melamun dan menyendiri. Pernyataan ini dinyatakan oleh empat responden yaitu responden I, II, III dan X; (2) kebersihan diri kurang. Pendapat ini dinyatakan oleh responden I, II, IV, VI danVII. (3) kerusakan atau ada gangguan komunikasi, dinyatakan oleh responden I danVII, VIII. (4) mencederai diri sendiri dan orang lain, dinyatakan oleh responden III,IV dan V. Mungkin karena itulah maka pada saat studi pendahuluan ada masyarakat yang berpendapat sebaiknya penderita dikurung atau diasingkan saja.
Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat hanya mempersepsikan tanda dan gejala gangguan jiwa kedalam kelompok gangguan afek dan emosi serta gangguan penampilan saja. Semantara tidak ada satupun dari masyarakat yang mempersepsikan tanda dan gejala dari gangguan jiwa yang lain meliputi: gangguan pola hidup, gangguan kepribadian, gangguan intelegensi, gangguan persepsi, gangguan proses pikir, gangguan psikomotor, gangguan afek dan emosi, gangguan orientasi, gangguan ingatan dan gangguan kesadaran (Maramis, 1998).
4.1.5 Pengobatan dan Perawatan terhadap Penderita Gangguan Jiwa
Masyarakat mempersepsikan bahwa pengobatan dan perawatan terhadap penderita gangguan jiwa adalah: terlebih dahulu dibawa ke dukun/ paranormal dari sepuluh responden yang diwawancarai, ada dua orang responden yang tidak sependapat dengan pengobatan dan perawatan gangguan jiwa dilakukan oleh dukun. Adapun responden yang tidak sependapat itu adalah responden II dan responden X, sementara pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit delapan responden berpendapat bahwa setelah dibawa ke dukun atau tenaga Spiritual.
Dari pembahasan tentang pengobatan dan perawatan terhadap gangguan jiwa, masih ada masyarakat yang berpendapat bahwa dukun dan tenaga spiritual merupakan salah satu tempat yang dipilih untuk penyembuhan gangguan jiwa, karena masyarakat berpendapat bahwa dukun dan tenaga spiritual banyak di lingkungan sekitar mereka, sementara menurut mereka, ke Rumah Sakit membutuhkan biaya yang besar serta jarak rumah sakit yang jauh dari tempat tinggal mereka.
Sesungguhnya trend pelayanan keperawatan mental psikiatri di era globalisasi, seperti yang diungkapkan oleh Suryani (2003), dalam majalah keperawatan, Noursing Journal of Padjadjaran University, menyatakan bahwa “peran perawat mental psikiatrik tidak lagi hanya terbatas pada pemberian asuhan di rumah sakit akan tetapi dituntut untuk lebih sensitive dilingkungannya”. Dari pernyataan ini jelas bahwa gangguan jiwa sebaiknya ditangani sejak dini, atau dalam artian bahwa sebaiknya lebih pada pencegahan kearah yang lebih berat, yaitu perawat lebih baik mendeteksi sedini mungkin adanya gangguan jiwa yang terjadi di masyarakat.
Namun demikian kemampuan perawat harus memiliki tiga kunci utama dalam proses tersebut yaitu : (1) pengalaman dan pendidikan perawat, (2) peran dan fungsi perawat, (3) serta hubungan perawat dengan profesi lain dalam komunitas (Leininnger, 1973; dalam Suryani, 2003 : Journal Noursing of Padjadjaran).
Fenomena tentang pandangan masyarakat terhadap gangguan jiwa diharapkan adanya perubahan paradigma dari perawatan di Rumah Sakit Jiwa menjadi perawatan yang berbasis masyarakat (Atikawulanjani, 2005. Sinarharapan). Dalam hal ini perawat diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan, untuk memberi dorongan kepada masyarakat dalam mengurangi dampak masalah kesehatan jiwa meliputi Stigma, diskriminasi dan pengucilan (Susilohati, 1994 : Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi).