KHUTBAH IDUL ADHA 1
Alhamdulillah merupakan pujian yang paling pantas kita panjatkan kehadirat Allah swt, karena dengan takdir-Nya kita dapat menjalankan sekaligus merasakan nikmatnya iedul adha dalam suasana yang tentram dan aman, walaupun sempat dibayangi keraguan ketika kita mengetahui adanya perbedaan hari dalam pelaksanaan iedul adha tahun ini, seperti yang terjadi pada waktu iedul fitri. Namun atas dasar keilmuan terhadap sunah Nabi dan standar hisab kita tetap berpegang teguh terhadap hasil hisab yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni beridul adha pada hari Ahad 31 Desember 2006.
Perlu diketahui bahwa sebelum memasuki tahun 1427 H, telah menetapkan bahwa iedul adha 10 Dzulhijjah 1427 H jatuh pada hari Ahad, bertepatan dengan 31 Desember 2006 dan Shaum Arafah 9 Dzulhijjah 1427 jatuh pada hari sabtu 30 Desember 2006. Hal itu ditetapkan dengan pertimbangan bahwa pada hari Rabu 20 Desember 2006 bertepatan dengan 29 Dzulqa’dah 1427 H. saat matahari terbenam Hilal bulan Dzulhijjah tidak mungkin terlihat diseluruh Indonesia. Dengan demikian usia bulan Dzulqa’dah 1427 H digenapkan menjadi 30 hari dan 1 Dzulhijjah 1427 H jatuh pada hari Jumat, bertepatan dengan 22 Desember 2006. Shaum Arafah 9 Dzulhijjah 1427 jatuh pada hari sabtu 30 Desember 2006, dan Idul Adha 10 Dzulhijjah 1427 H jatuh pada hari Ahad 31 Desember 2006. Kesimpulan yang sama di tetapkan pula oleh Pemerintah setelah mendapat laporan dari Tim Hisab dan Rukyat Kantor Wilayah Departemen Agama di 29 lokasi di Indonesia, dari Jayapura hingga Banda Aceh yang menyatakan tidak melihat hilal. Oleh karena itu, pelaksanaan Iedul Adha hari Ahad, 31 Desember 2006 ini kita yakini sebagai takdir Allah yang terbaik.
Peristiwa tersebut semakin mempertebal keyakinan kita bahwa apa pun yang terjadi dalam kehidupan manusia, hal itu merupakan takdir Allah yang terbaik. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bila pada hari ini kita bertakbir, bertasbih, mengagungkan asma Allah.
ألله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله هو الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
‘Aidin wal ‘aidat rahimakumullah
Sebagaimana kita ketahui bahwa Qurban merupakan salah satu bagian dari Ibadah nusuk, yakni ibadah dalam bentuk sembelihan. Ibadah nusuk terbagi kepada tiga macam:
1. al-Hadyu, yaitu menyembelih binatang tertentu yang disyariatkan bagi hujjaj (orang yang beribadah haji). Dan hadyu itu adalah rangkaian dari ibadah haji,
2. al-Udhhiyyah atau yang biasa disebut kurban, yaitu menyembelih binatang tertentu yang disyariatkan bagi orang yang tidak sedang beribadah haji. Baik al-hadyu maupun al-Udhiyyah terikat oleh miqat zamani (ketentuan waktu), yaitu tanggal 10 hingga 13 Dzulhijjah sebelum maghrib. Namun berbeda dengan udlhiyah yang dapat disembelih dimana saja, al-hadyu terikat pula oleh miqat makani (ketentuan tempat), yaitu wajib disembelih di kota Mekah, dan apabila hadyu tidak dilaksanakan di Mekah maka hajinya tidak sah.
3. al-Aqiqah, yaitu menyembelih binatang tertentu pada hari ke-7 dari kelahiran seorang anak.
Pada tahun ke 2 Hijrah ketika keadaan perekonomian umat Islam masih elit (ekonomi sulit), sebagai seorang pemimpin Rasulullah saw. menetapkan satu aturan bahwa setiap orang yang berkurban tidak boleh mengambil daging kurbannya melebihi keperluan tiga hari. Hal itu dilakukan oleh Rasul mengingat jumlah penerima jauh lebih banyak dibanding orang yang berkorban, sebagaimana diterangkan oleh Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, …
“Rasulullah saw. bersabda, ‘Barang siapa di antara kamu berqurban, maka janganlah sekali-kali setelah hari yang ketiga masih ada daging qurban itu di rumahnya”. Dalam hadis Qatadah bin an-Nu’man dengan kalimat
عَنْ قَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ اَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ : إِنِّى كُنْتُ أَمَرَتُكُمْ اَنْ لاَ تَأْكُلُوا اْلأَضَاحِيَ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ لِتَسَعَكُمْ
Artinya…
Sedangkan dalam hadis Abdullah bin Waqid dengan kalimat
إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ
Namun aturan ini tidak berlangsung lama, karena dalam jangka waktu satu tahun Rasulullah saw. mampu membangkitkan perekonomian kaum muslimin di Madinah. Hal itu terbukti dengan jumlah yang berkurban meningkat lebih banyak dari tahun sebelumnya. Sehingga beliau membebaskan bagi setiap orang yang berkurban mengambil menurut sekehendaknya.
Dalam hadis Salamah…Qatadah…Abdullah bin Waqid… diterangkan…
عَنْ قَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ اَنَّ النَّبِيَّ r قَامَ (فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ) فَقَالَ : إِنِّى كُنْتُ أَمَرَتُكُمْ اَنْ لاَ تَأْكُلُوا اْلأَضَاحِيَ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ لِتَسَعَكُمْ وَإِنِّى أُحِلُّهُ لَكُمْ فَكُلُوا مِنْهُ مَا شِئْتُمْ وَلاَ تَبِيْعُوا لُحُومَ الْهَدْيَ وَاْلأَضَاحِي فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا وَلاَ تَبِيْعُواهَا وَاِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لٌحٌومِهَا فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ.
Dari Qatadah bin Nu'man: "Bahwa sesungguhnya nabi saw. berdiri (diwaktu haji wada'), maka beliau bersabda, " Kami pernah memerintahkan kamu agar tidak memakan daging kurban lebih dari tiga hari, supaya daging itu merata diterima , dan sekarang kami maembolehkannya, maka silahkan makan sekehendak kamu, dan janganlah menjual daging hadyu atau kurban, makanlah, sedekahkanlah, dan manfaatkanlah kulitnya, dan jangan dijual, kalau kamu diberi daging kurban, maka makanlah jika kamu mau." ( H.R. Ahmad, Al- Fathur Rabbani 13-54 ).
Bila kita cermati hadis-hadis di atas tampak jelas ketika menetapkan aturan tentang pembagian daging qurban, Nabi tidak menyalahi ketentuan Alquran, namun justru semakin memperjelas dan mempertegas ketentuan tersebut, dengan menggunakan ungkapan
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
(pada hadis Salamah)
فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا
(pada hadis Qatadah)
فَكُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا
(pada hadis Abdullah bin Waqid)
Ketiga keterangan tersebut menunjukkan bahwa al-ashlu (yang pokok) pada perintah Nabi tersebut adalah membagikan daging kurban apa adanya (dalam keadaan mentah), tetapi apabila telah beralih status dari daging qurban menjadi hak milik seseorang, terserah pemiliknya apakah untuk dimakan, dikornetkan atau dimanfaatkan kepada yang lainnya termasuk dijual.
Karena itu kita tidak akan mendapatkan keterangan bahwa pada zaman Nabi saw. daging kurban dibagikan dalam keadaan masak, padahal masak-memasak daging pada waktu itu sudah biasa dilakukan. Tapi kenapa Nabi dan para sahabatnya membagikannya dalam keadaan mentah. Apakah tidak terpikirkan oleh Nabi pada waktu itu? Nabi kita bukan orang yang bodoh, masa yang gitu aja teu kapikir. Karena itu, hendaklah daging kurban itu dibagikan mentahnya, sebagaimana aqiqah, karena keduanya termasuk nusuk.
Kalimat wad dakhiru (simpanlah) pada hadis tersebut sering dipakai alasan boleh membagikan daging kurban dalam keadaan masak. Padahal kalau kita perhatikan hadis tersebut dengan cermat, maka tidak ada hubungannya antara kalimat tersebut dengan kebolehan membagikan daging qurban dalam keadaan masak. Sebab kata-kata kulu (makanlah) dan iddakhiru (awetkanlah) berkaitan dengan hak qurbani (yang qurban). Selebih dari itu sudah menjadi bagian wa tashaddaqu (sadaqahkanlah), yaitu hak orang lain (si penerima). Itulah sebabnya mengapa kata-kata kulu (makanlah), wad dakhiru (awetkanlah) disebut secara terpisah dengan kata wa tashaddaqu (sadaqahkanlah), hal itu untuk menunjukkan hak masing-masing. Karena itu hadis tersebut memberikan kewenangan kepada qurbani untuk mengelola daging qurban yang menjadi haknya, tanpa punya kewenangan untuk ikut campur dalam pengelolaan daging yang dishadaqahkannya; Selanjutnya terserah mereka (penerima shadaqah) apakah untuk dimakan (disate, dikornetkan, diabon) atau diberikan kepada yang lain, termasuk dijual.
Aturan ini berlaku pula bagi jami’ atau panitia kurban yang mendapat amanat mengurus hewan kurbat dari umat Islam, sebagaimana Ali mendapat amanat dari Rasul
عَنْ عَلِيِّ بْنِ اَبِي طَالِبٍ قَالَ : أَمَرَنِى رَسُولُ اللهِ r اَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَاَنْ أَتَصَدَّقَ بِلُحُومِهَا وَجُلُودِهاَ وَأَجِلَّتِهَا وَاَنْ لاَ أُعْطِيَ الْجَازُرَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا. -متفق عليه-
Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata, ”Rasulullah saw. telah memerintahkan kepadaku untuk mengurus unta (qurbannya) serta menyedekahkan dagingnya, kulitnya dan pakaiannya; dan jangan sedikit pun memberikan daging kurban kepada (orang) yang menyembelihnya (sebagai upah menyembelih)”. Ali berkata; Kami suka memberinya (upah) dari kami sendiri.” Muttafaq Alaih, Nailul Authar V : 220
Dengan demikian membagikan daging kurban dalam keadaan masak, baik dengan cara dikornetkan, diabonkan, maupun dengan cara lainnya, telah melanggar hak orang lain (penerima daging tersebut).
Oleh karena itu panitia yang mengkornetkan daging kurban sebagai amanat umat, adalah khianat dan tidak bertanggung jawab. Apalagi kalau yang menjadi kepentingannya adalah laba atau keuntungan dari kelebihan harga binatang kurban dan dari proses kornetisasi. Yang lebih ironis lagi, akibat cara di atas banyak daging qurban yang baru sampai kepada penerima yang berhak setelah lebih dari lima bulan. Astagfirullahal ‘azhim.
Karena qurban itu termasuk nusuk maka terikat dengan berbagai ketentuan yang berhubungan dengan jenis binatang, cara dan waktu penyembelihan, termasuk status dagingnya.
Salah satu amanat yang harus ditunaikan itu menyangkut pembagian daging qurban. Dalam Alquran al-Hajj:36 Allah berfiman
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur
Pada ayat ini ada dua fi’il amr yang ditujukan kepada qurbani (yang kurban)
(1)Kuluu (makanlah), perintah di sini lil ibahah (maknanya boleh memakan) bukan lilwujub (wajib memakan). Kenapa makan mesti dianjurkan, padahal tanpa anjuran pun makan itu sudah menjadi kebutuhan pokok alias beuki. Ini menunjukkan bahwa makan bagi umat Islam bukan semata-mata untuk memenuhi rasa lapar, tapi memiliki nilai-nilai ibadah “Makan untuk hidup” bukan “hidup untuk makan”. Terutama dalam kaitan dengan kurban, kalimat kuluu perlu diungkap bahkan ditekankan karena ada misi yang amat mulia, yaitu agar kaum muslimin mukhalafah (berbeda, menyalahi) kebiasaan orang jahiliyyah, yaitu mereka tidak mau bahkan mengharamkan untuk memakan daging kurban mereka. Karena itu tidak mengherankan apabila ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa perintah makan pada ayat ini hukumnya mandub (disunatkan).
(2)‘Ath’imu (berilah makan atau bagikanlah), perintah di sini lin nadbi (maknanya disunatkan memberi makan/membagikan) bukan lilwujub (wajib memberi).
Pada ayat ini tidak dijelaskan ukuran yang pasti berapa banyak daging yang boleh dimakan itu, namun yang jelas tidak boleh semuanya dimakan (ah abdi mah moal nyandak, sawios mung opat ping-ping oge), karena ada kalimat “dan berikanlah”. Ngan aya sawatara ulama nu netepkeun yen daging kurban dibagi 3 bagian: 1/3 keur qurbani, 1/3 hadiah keur sobat-sobat kurbani, 1/3 disadaqahkeun ka fakir miskin. Namung ieu pamadegan the teu dumasar kana dalil.
Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa mustahiq (yang berhaq) atas daging qurban itu ada tiga golongan;
A. Qurbani (yang berkurban)
B. Al-Qani, yaitu orang yang ridla dengan sesuatu yang dimilikinya dan tidak pernah meminta. Meskipun suatu saat ia terpaksa harus meminta untuk memenuhi kebutuhannya, ia tidak pernah memaksa.
C. Al-Mu’tarru, yaitu orang yang berani meminta untuk memenuhi kebutuhannya, bahkan terkadang meminta secara memaksa. Al-Mufradat fi Gharibil Quran:429 dan 340
Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa panitia bukanlah mustahiq tersendiri, tetapi tidak lepas dari al-qani’ dan al-mu’tar tersebut. Dengan perkataan lain, kedudukan panitia/jami’ qurban berbeda dengan ’amil pada ketentuan distribusi zakat.
Karena itu perlu kehati-hatian dan tanggung jawab dari setiap jami’ atau panitia qurban yang dipercaya menerima amanat, agar qurban itu sah sesuai dengan keinginan para pemberi amanat
Mudah-mudahan dengan Idul Adha ini kita dapat mengembalikan semangat dan jiwa qurbani sehingga mendarah daging pada diri kita masing-masing.
أقول قولى هذا وأستغفر الله لي
* Iedul Adha 1427 H di masjid PC Cicalengka (Hujan)
Kedua, pada ayat tersebut, Allah menyuruh kaum mukmin agar taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya dalam memenuhi panggilan keduanya, untuk menjalankan segala perintah, di antaranya jihad di jalan Allah dengan pengorbanan harta dan jiwa, serta melarang berpaling setelah mendengar seruan dari para penyeru. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan sima’ (mendengar) di sini ialah sima’ fahmin (mendengarkan dengan faham) dan tasdiq (membenarkan) apa yang ia dengar. Sima’ seperti ini akan disambut dengan pengakuan
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
Ketiga, pada ayat itu pula Allah melarang kaum mukmin menyerupai mereka, yaitu orang-
orang yang berkata sami’na (kami mendengar), padahal mereka tidak mendengar. Mereka punya telinga, tidak tuli, namun mereka tidak memperhatikan apa yang mereka dengar. Keadaan mereka diserupakan dengan yang tidak mendengar, bahkan lebih hina lagi, karena ditambah dengan bisu. Dalam perumpamaan itu Allah menggunakan lafadz ‘dabbah’ yaitu binatang yang merayap. Semua binatang yang merayap itu tunduk kepada ketetapan Allah, tetapi orang-orang kafir dan musyrik selalu berpaling dan membantah kepada keputusan Allah, karena itulah dinyatakan sejahat-jahat makhluk dan sehina-hina makhluk yang merayap di bumi. Perumpaan ini merupakan tahqir (menunjukkan penghinaan) bagi kaum kafir atau musyrik.
Alhamdulillah merupakan pujian yang paling pantas kita panjatkan kehadirat Allah swt, karena dengan takdir-Nya kita dapat menjalankan sekaligus merasakan nikmatnya iedul adha dalam suasana yang tentram dan aman, walaupun sempat dibayangi keraguan ketika kita mengetahui adanya perbedaan hari dalam pelaksanaan iedul adha tahun ini, seperti yang terjadi pada waktu iedul fitri. Namun atas dasar keilmuan terhadap sunah Nabi dan standar hisab kita tetap berpegang teguh terhadap hasil hisab yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni beridul adha pada hari Ahad 31 Desember 2006.
Perlu diketahui bahwa sebelum memasuki tahun 1427 H, telah menetapkan bahwa iedul adha 10 Dzulhijjah 1427 H jatuh pada hari Ahad, bertepatan dengan 31 Desember 2006 dan Shaum Arafah 9 Dzulhijjah 1427 jatuh pada hari sabtu 30 Desember 2006. Hal itu ditetapkan dengan pertimbangan bahwa pada hari Rabu 20 Desember 2006 bertepatan dengan 29 Dzulqa’dah 1427 H. saat matahari terbenam Hilal bulan Dzulhijjah tidak mungkin terlihat diseluruh Indonesia. Dengan demikian usia bulan Dzulqa’dah 1427 H digenapkan menjadi 30 hari dan 1 Dzulhijjah 1427 H jatuh pada hari Jumat, bertepatan dengan 22 Desember 2006. Shaum Arafah 9 Dzulhijjah 1427 jatuh pada hari sabtu 30 Desember 2006, dan Idul Adha 10 Dzulhijjah 1427 H jatuh pada hari Ahad 31 Desember 2006. Kesimpulan yang sama di tetapkan pula oleh Pemerintah setelah mendapat laporan dari Tim Hisab dan Rukyat Kantor Wilayah Departemen Agama di 29 lokasi di Indonesia, dari Jayapura hingga Banda Aceh yang menyatakan tidak melihat hilal. Oleh karena itu, pelaksanaan Iedul Adha hari Ahad, 31 Desember 2006 ini kita yakini sebagai takdir Allah yang terbaik.
Peristiwa tersebut semakin mempertebal keyakinan kita bahwa apa pun yang terjadi dalam kehidupan manusia, hal itu merupakan takdir Allah yang terbaik. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bila pada hari ini kita bertakbir, bertasbih, mengagungkan asma Allah.
ألله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله هو الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
‘Aidin wal ‘aidat rahimakumullah
Sebagaimana kita ketahui bahwa Qurban merupakan salah satu bagian dari Ibadah nusuk, yakni ibadah dalam bentuk sembelihan. Ibadah nusuk terbagi kepada tiga macam:
1. al-Hadyu, yaitu menyembelih binatang tertentu yang disyariatkan bagi hujjaj (orang yang beribadah haji). Dan hadyu itu adalah rangkaian dari ibadah haji,
2. al-Udhhiyyah atau yang biasa disebut kurban, yaitu menyembelih binatang tertentu yang disyariatkan bagi orang yang tidak sedang beribadah haji. Baik al-hadyu maupun al-Udhiyyah terikat oleh miqat zamani (ketentuan waktu), yaitu tanggal 10 hingga 13 Dzulhijjah sebelum maghrib. Namun berbeda dengan udlhiyah yang dapat disembelih dimana saja, al-hadyu terikat pula oleh miqat makani (ketentuan tempat), yaitu wajib disembelih di kota Mekah, dan apabila hadyu tidak dilaksanakan di Mekah maka hajinya tidak sah.
3. al-Aqiqah, yaitu menyembelih binatang tertentu pada hari ke-7 dari kelahiran seorang anak.
Pada tahun ke 2 Hijrah ketika keadaan perekonomian umat Islam masih elit (ekonomi sulit), sebagai seorang pemimpin Rasulullah saw. menetapkan satu aturan bahwa setiap orang yang berkurban tidak boleh mengambil daging kurbannya melebihi keperluan tiga hari. Hal itu dilakukan oleh Rasul mengingat jumlah penerima jauh lebih banyak dibanding orang yang berkorban, sebagaimana diterangkan oleh Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, …
“Rasulullah saw. bersabda, ‘Barang siapa di antara kamu berqurban, maka janganlah sekali-kali setelah hari yang ketiga masih ada daging qurban itu di rumahnya”. Dalam hadis Qatadah bin an-Nu’man dengan kalimat
عَنْ قَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ اَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ : إِنِّى كُنْتُ أَمَرَتُكُمْ اَنْ لاَ تَأْكُلُوا اْلأَضَاحِيَ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ لِتَسَعَكُمْ
Artinya…
Sedangkan dalam hadis Abdullah bin Waqid dengan kalimat
إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ
Namun aturan ini tidak berlangsung lama, karena dalam jangka waktu satu tahun Rasulullah saw. mampu membangkitkan perekonomian kaum muslimin di Madinah. Hal itu terbukti dengan jumlah yang berkurban meningkat lebih banyak dari tahun sebelumnya. Sehingga beliau membebaskan bagi setiap orang yang berkurban mengambil menurut sekehendaknya.
Dalam hadis Salamah…Qatadah…Abdullah bin Waqid… diterangkan…
عَنْ قَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ اَنَّ النَّبِيَّ r قَامَ (فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ) فَقَالَ : إِنِّى كُنْتُ أَمَرَتُكُمْ اَنْ لاَ تَأْكُلُوا اْلأَضَاحِيَ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ لِتَسَعَكُمْ وَإِنِّى أُحِلُّهُ لَكُمْ فَكُلُوا مِنْهُ مَا شِئْتُمْ وَلاَ تَبِيْعُوا لُحُومَ الْهَدْيَ وَاْلأَضَاحِي فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا وَلاَ تَبِيْعُواهَا وَاِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لٌحٌومِهَا فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ.
Dari Qatadah bin Nu'man: "Bahwa sesungguhnya nabi saw. berdiri (diwaktu haji wada'), maka beliau bersabda, " Kami pernah memerintahkan kamu agar tidak memakan daging kurban lebih dari tiga hari, supaya daging itu merata diterima , dan sekarang kami maembolehkannya, maka silahkan makan sekehendak kamu, dan janganlah menjual daging hadyu atau kurban, makanlah, sedekahkanlah, dan manfaatkanlah kulitnya, dan jangan dijual, kalau kamu diberi daging kurban, maka makanlah jika kamu mau." ( H.R. Ahmad, Al- Fathur Rabbani 13-54 ).
Bila kita cermati hadis-hadis di atas tampak jelas ketika menetapkan aturan tentang pembagian daging qurban, Nabi tidak menyalahi ketentuan Alquran, namun justru semakin memperjelas dan mempertegas ketentuan tersebut, dengan menggunakan ungkapan
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
(pada hadis Salamah)
فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا
(pada hadis Qatadah)
فَكُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا
(pada hadis Abdullah bin Waqid)
Ketiga keterangan tersebut menunjukkan bahwa al-ashlu (yang pokok) pada perintah Nabi tersebut adalah membagikan daging kurban apa adanya (dalam keadaan mentah), tetapi apabila telah beralih status dari daging qurban menjadi hak milik seseorang, terserah pemiliknya apakah untuk dimakan, dikornetkan atau dimanfaatkan kepada yang lainnya termasuk dijual.
Karena itu kita tidak akan mendapatkan keterangan bahwa pada zaman Nabi saw. daging kurban dibagikan dalam keadaan masak, padahal masak-memasak daging pada waktu itu sudah biasa dilakukan. Tapi kenapa Nabi dan para sahabatnya membagikannya dalam keadaan mentah. Apakah tidak terpikirkan oleh Nabi pada waktu itu? Nabi kita bukan orang yang bodoh, masa yang gitu aja teu kapikir. Karena itu, hendaklah daging kurban itu dibagikan mentahnya, sebagaimana aqiqah, karena keduanya termasuk nusuk.
Kalimat wad dakhiru (simpanlah) pada hadis tersebut sering dipakai alasan boleh membagikan daging kurban dalam keadaan masak. Padahal kalau kita perhatikan hadis tersebut dengan cermat, maka tidak ada hubungannya antara kalimat tersebut dengan kebolehan membagikan daging qurban dalam keadaan masak. Sebab kata-kata kulu (makanlah) dan iddakhiru (awetkanlah) berkaitan dengan hak qurbani (yang qurban). Selebih dari itu sudah menjadi bagian wa tashaddaqu (sadaqahkanlah), yaitu hak orang lain (si penerima). Itulah sebabnya mengapa kata-kata kulu (makanlah), wad dakhiru (awetkanlah) disebut secara terpisah dengan kata wa tashaddaqu (sadaqahkanlah), hal itu untuk menunjukkan hak masing-masing. Karena itu hadis tersebut memberikan kewenangan kepada qurbani untuk mengelola daging qurban yang menjadi haknya, tanpa punya kewenangan untuk ikut campur dalam pengelolaan daging yang dishadaqahkannya; Selanjutnya terserah mereka (penerima shadaqah) apakah untuk dimakan (disate, dikornetkan, diabon) atau diberikan kepada yang lain, termasuk dijual.
Aturan ini berlaku pula bagi jami’ atau panitia kurban yang mendapat amanat mengurus hewan kurbat dari umat Islam, sebagaimana Ali mendapat amanat dari Rasul
عَنْ عَلِيِّ بْنِ اَبِي طَالِبٍ قَالَ : أَمَرَنِى رَسُولُ اللهِ r اَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَاَنْ أَتَصَدَّقَ بِلُحُومِهَا وَجُلُودِهاَ وَأَجِلَّتِهَا وَاَنْ لاَ أُعْطِيَ الْجَازُرَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا. -متفق عليه-
Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata, ”Rasulullah saw. telah memerintahkan kepadaku untuk mengurus unta (qurbannya) serta menyedekahkan dagingnya, kulitnya dan pakaiannya; dan jangan sedikit pun memberikan daging kurban kepada (orang) yang menyembelihnya (sebagai upah menyembelih)”. Ali berkata; Kami suka memberinya (upah) dari kami sendiri.” Muttafaq Alaih, Nailul Authar V : 220
Dengan demikian membagikan daging kurban dalam keadaan masak, baik dengan cara dikornetkan, diabonkan, maupun dengan cara lainnya, telah melanggar hak orang lain (penerima daging tersebut).
Oleh karena itu panitia yang mengkornetkan daging kurban sebagai amanat umat, adalah khianat dan tidak bertanggung jawab. Apalagi kalau yang menjadi kepentingannya adalah laba atau keuntungan dari kelebihan harga binatang kurban dan dari proses kornetisasi. Yang lebih ironis lagi, akibat cara di atas banyak daging qurban yang baru sampai kepada penerima yang berhak setelah lebih dari lima bulan. Astagfirullahal ‘azhim.
Karena qurban itu termasuk nusuk maka terikat dengan berbagai ketentuan yang berhubungan dengan jenis binatang, cara dan waktu penyembelihan, termasuk status dagingnya.
Salah satu amanat yang harus ditunaikan itu menyangkut pembagian daging qurban. Dalam Alquran al-Hajj:36 Allah berfiman
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur
Pada ayat ini ada dua fi’il amr yang ditujukan kepada qurbani (yang kurban)
(1)Kuluu (makanlah), perintah di sini lil ibahah (maknanya boleh memakan) bukan lilwujub (wajib memakan). Kenapa makan mesti dianjurkan, padahal tanpa anjuran pun makan itu sudah menjadi kebutuhan pokok alias beuki. Ini menunjukkan bahwa makan bagi umat Islam bukan semata-mata untuk memenuhi rasa lapar, tapi memiliki nilai-nilai ibadah “Makan untuk hidup” bukan “hidup untuk makan”. Terutama dalam kaitan dengan kurban, kalimat kuluu perlu diungkap bahkan ditekankan karena ada misi yang amat mulia, yaitu agar kaum muslimin mukhalafah (berbeda, menyalahi) kebiasaan orang jahiliyyah, yaitu mereka tidak mau bahkan mengharamkan untuk memakan daging kurban mereka. Karena itu tidak mengherankan apabila ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa perintah makan pada ayat ini hukumnya mandub (disunatkan).
(2)‘Ath’imu (berilah makan atau bagikanlah), perintah di sini lin nadbi (maknanya disunatkan memberi makan/membagikan) bukan lilwujub (wajib memberi).
Pada ayat ini tidak dijelaskan ukuran yang pasti berapa banyak daging yang boleh dimakan itu, namun yang jelas tidak boleh semuanya dimakan (ah abdi mah moal nyandak, sawios mung opat ping-ping oge), karena ada kalimat “dan berikanlah”. Ngan aya sawatara ulama nu netepkeun yen daging kurban dibagi 3 bagian: 1/3 keur qurbani, 1/3 hadiah keur sobat-sobat kurbani, 1/3 disadaqahkeun ka fakir miskin. Namung ieu pamadegan the teu dumasar kana dalil.
Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa mustahiq (yang berhaq) atas daging qurban itu ada tiga golongan;
A. Qurbani (yang berkurban)
B. Al-Qani, yaitu orang yang ridla dengan sesuatu yang dimilikinya dan tidak pernah meminta. Meskipun suatu saat ia terpaksa harus meminta untuk memenuhi kebutuhannya, ia tidak pernah memaksa.
C. Al-Mu’tarru, yaitu orang yang berani meminta untuk memenuhi kebutuhannya, bahkan terkadang meminta secara memaksa. Al-Mufradat fi Gharibil Quran:429 dan 340
Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa panitia bukanlah mustahiq tersendiri, tetapi tidak lepas dari al-qani’ dan al-mu’tar tersebut. Dengan perkataan lain, kedudukan panitia/jami’ qurban berbeda dengan ’amil pada ketentuan distribusi zakat.
Karena itu perlu kehati-hatian dan tanggung jawab dari setiap jami’ atau panitia qurban yang dipercaya menerima amanat, agar qurban itu sah sesuai dengan keinginan para pemberi amanat
Mudah-mudahan dengan Idul Adha ini kita dapat mengembalikan semangat dan jiwa qurbani sehingga mendarah daging pada diri kita masing-masing.
أقول قولى هذا وأستغفر الله لي
* Iedul Adha 1427 H di masjid PC Cicalengka (Hujan)
Kedua, pada ayat tersebut, Allah menyuruh kaum mukmin agar taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya dalam memenuhi panggilan keduanya, untuk menjalankan segala perintah, di antaranya jihad di jalan Allah dengan pengorbanan harta dan jiwa, serta melarang berpaling setelah mendengar seruan dari para penyeru. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan sima’ (mendengar) di sini ialah sima’ fahmin (mendengarkan dengan faham) dan tasdiq (membenarkan) apa yang ia dengar. Sima’ seperti ini akan disambut dengan pengakuan
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
Ketiga, pada ayat itu pula Allah melarang kaum mukmin menyerupai mereka, yaitu orang-
orang yang berkata sami’na (kami mendengar), padahal mereka tidak mendengar. Mereka punya telinga, tidak tuli, namun mereka tidak memperhatikan apa yang mereka dengar. Keadaan mereka diserupakan dengan yang tidak mendengar, bahkan lebih hina lagi, karena ditambah dengan bisu. Dalam perumpamaan itu Allah menggunakan lafadz ‘dabbah’ yaitu binatang yang merayap. Semua binatang yang merayap itu tunduk kepada ketetapan Allah, tetapi orang-orang kafir dan musyrik selalu berpaling dan membantah kepada keputusan Allah, karena itulah dinyatakan sejahat-jahat makhluk dan sehina-hina makhluk yang merayap di bumi. Perumpaan ini merupakan tahqir (menunjukkan penghinaan) bagi kaum kafir atau musyrik.