BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat.
Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu
) Filsafat pendidikan “progresif” Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau
2) Filsafat pendidikan “ Konservatif”. Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius.
Filsafat-filsafat tersebut melahirkan berbagai mazhab filsafat pendidikan, s
alah satu diantaranya
yaitu “Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme”. Filsafat Pendidikan
rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini
lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan
melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun
1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Dalam konteks
filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham
dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern.
Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang
bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu
oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun
demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama
dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi
dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan
kebudayaan yang scrasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara
tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan
regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran
rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus
yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat
manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama terse but memerlukan kerjasama antar ummat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama terse but memerlukan kerjasama antar ummat manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penyusun dapat
merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
penerapan filsafat pendidikan rekontruksionisme dalam bidang pendidikan,
khususnya pendidikan di sekolah?
2.
Bagaimana
peran guru dalam suatu kelas yang berorientasi pada filsafat rekontruksionisme?
3.
Bagaimana
pandangan filsafat pendidikan rekontruksionisme terhadap pembelajaran?
C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu
untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang filsafat pendidikan
rekontruksionisme khususnya gambaran mengenai Prinsip-prinsip Filsafat
Pendidikan Rekonstruksionisme; Implikasi
Pendidikan Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme;
dan Aplikasi Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme
di Sekolah Dasar
D. Sistematika Penulisan
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
D.
Sistematika
Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
A. Prinsip-prinsip Filsafat Pendidikan
Rekonstruksionisme
B. Implikasi Pendidikan Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme
C. Aplikasi Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme
di Sekolah Dasar
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip-prinsip Filsafat Pendidikan
Rekonstruksionisme
1.
Hakikat
Manusia
Aliran rekonstruksionisme adalah suatu
aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada
prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis
kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan
perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai
kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki
oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh
aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam
pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam
kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali
ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka
anggap paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan
jalan berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan
pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau
orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan
seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan
rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan
kerjasama antar ummat manusia.
2.
Hakikat
Realitas
Aliran rekonstruksionisme memandang
bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada di mana dan
sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang
konkrit dan menuju kearah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan
sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra
manusia seperti bewan dan tumbuhan atau benda lain disekeiling kita, dan
realita yang kita ketahui dan kita badapi tidak terlepas dari suatu sistem,
selain substansi yang dipunnyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih
melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap realita memiliki perspektif tersendiri
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap realita memiliki perspektif tersendiri
3.
Hakikat
Pengetahuan
Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk
memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak
mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan
dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu
pengetahuan. Karenanya, baik akal maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk
pengetahun, dan akal di bawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang
sesungguhnya.
Aliran filsafat rekontruksionisme juga berpendapat bahwa
dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti
yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa
pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri.
Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain
atas eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan
suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran
yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan
pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pernikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (condusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pernikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (condusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.
4.
Hakikat
Nilai
Dalam proses interaksi sesama manusia,
diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan
sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi
manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang
merupakan kecenderungan manusia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope)
tentang pengertian "nilai" tidak terbatas.
Aliran rekonstruksionisme memandang
masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural
yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia
adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin oleh
Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat
diketahuinya. Kemudian, manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi
kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi
nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai
peran untuk memberi penentuan.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika,
estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian
tetap berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktek-praktek
dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik.
Karenanya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni
bersatu dengan Tuhan, kemudian berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan
estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya ialah Tuhan sendiri. Keindahan yang
maujud itu hanyalah keindahan khusus, pancaran un sur keindahan universal yang
abadi, maha indah dan Tuhan.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan
dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moral,
kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan
dasar dari kebajikan intelektual.
Dari gerakan intelektualitas pada abad
pertengahan yang mencapai kristalisasi pada abad IX-XIV, memberikan argumentasi
rasio tentang eksistensi Tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama scholastik,
menyatakan bahwa secara kritis realita semesta dapat dipahami dan tidak ada
sesuatu di alam nyata ini diluar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai
perwujudan dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran
yang demikian didukung oleh Thomas Aquinas yang inti pembicaraannya untuk
mengetahui realita yang ada yang hams berdasarkan iman dan perkembangan
rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.
B. Implikasi Pendidikan Filsafat Pendidikan Rekontruksionisme
1.
Tujuan
Pendidikan
Menurut Brameld (kneller,1971) mengemukakan
bahwa Pendidikan harus dilaksanakan di sini dan sekarang dalam rangka
menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita,
dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial
masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri.
Pendidikan harus menseponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Oleh
karena itu, kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk
membangun umat manusia, bukan untuk menghancurkannya. Masyarakat harus diubah
bukan melalui tindakan politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar,
yaitu melalui pendidikan bagi para warganya, menuju suatu pandangan baru
tentang hidup dan kehidupan mereka bersama.
Tujuan pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran
terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik
yang dihadapi manusia dalam skala global, dan memberi keterampilan kepada
mereka agar memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut.
Tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya masyarakat baru, yaitu sesuatu
masyarakat global yang saling ketergantungan. Pendidikan bertanggung jawab
dalam menciptakan aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya adalah esensial
dalam masyarakat yang majemuk. Transmisi budaya harus mengenal fakta budaya
yang majemuk tersebut.
2.
Peranan
Siswa
Nilai-nilai budaya siswa yang dibawa ke
sekolah merupakan hal yang berharga. Keluhuran pribadi dan tanggung jawab
sosial ditingkatkan, manakala rasa normal diterima semua latar belakang budaya.
Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri
dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial. Menurut Brameld, kaum progresif
terlalu sangat menekankan bahwa kita semua dikondisikan secara sosial.
Perhatian kaum progresif hanya untuk mencari cara di mana individu dapat
merealisasikan dirinya dalam masyarakat, dan mengabaikan derajat di mana
masyarakat telah menjadikan dirinya. Menurut rekonstruksionisme, hidup beradab
adalah hidup berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting
di sekolah. Pendidikan merupakan realisasi dari sosial (social self
realization). Melalui pendidikan, individu tidak hanya mengembangkan
aspek-aspek sifat sosialnya melainkan juga belajar bagaimana keterlibatannya
dalam perencanaan sosial.
3.
Peranan
Guru
Mengenai peranan guru, paham
rekonstruksionisme sama dengan paham progresivisme. Guru harus menyadarkan si
terdidik terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia, membantu terdidik
mengidentifikasi masalah-masalah untuk dipecahkannya, sehingga terdidik
memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut. Guru harus mendorong terdidik
untuk dapat berpikir alternatif dalam memecahkan masalah tersebut. Lebih jauh
guru harus mampu menciptakan aktivitas belajar yang berbeda secara serempak. Guru harus meyakini
terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana
dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis. Guru harus melaksanakan
pengujian secara terbuka terhadap fakta-fakta, walaupun bertentangan dengan
pandangannya. Guru menghadirkan beberapa pemecahan alternatif dengan jelas, dan
ia memperkenankan siswa-siswanya untuk mempertahankan pandangan-pandangan
mereka sendiri. Guru harus menunjukkan rasa
hormat yang sejati (ikhlas) terhadap semua budaya, baik dalam memberi pelajaran
mupun dalam hal lainnya. Pelajaran sekolah harus mewakili budaya masyarakat.
4.
Kurikulum
Kurikulum merupakan subject matter yang
berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik yang beraneka ragam, yang
dihadapi umat manusia, termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi terdirik itu
sendiri. Isi kurikulum tersebut berguna dalam penyusunan disiplin "sains
sosial" dan proses penemuan ilmiah (inkuiri ilmiah) sebagai metode
kerja untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Dalam filsafat rekonstruksionisme, kita
harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang
dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih. Semua itu
harus dibangun kembali bersesuaian dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar
manusia secara rasional dan ilmiah. Kita harus menyusun kurikulum di mana pokok-pokok
dan bagiannya dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu
sekuensi komponen pengetahuan.
Kurikulum sekolah tidah boleh didominasi
oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang ditentukan atau disukai. Semua
budaya dan nilai-nilai yang berhubungan berhak untuk mendapatkan tampat dalam
kurikulum.
5.
Metode
C. Aplikasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
di Sekolah Dasar
Aliran filsafat
pendidikan rekonstruksionisme berpendapat bahwa sekolah harus mendominasi/mengarahkan
perubahan atau rekonstruksi pada tatanan sosial saat ini. Theodore Brameld
(1904-1987), mendasarkan filsafatnya pada dua premis mendasar mengenai pasca
era Perang Dunia II: (1) kita tinggal dalam suatu periode krisis hebat, yang
paling nyata pada fakta bahwa manusia saat ini telah mampu menghancurkan
peradaban dalam semalam, dan (2) umat manusia juga memiliki potensi
intelektual, teknologi dan moral untuk menciptakan suatu peradaban dunia
"kesejahteraan, kesehatan dan kapasitas ramah" (Brameld 1959, 19).
Maka pada saat yang sangat dibutuhkan ini, sekolah harus menjadi agen utama
untuk merencanakan dan mengarahkan perubahan sosial.
George S. Counts
sebagai pelopor rekonstruksionisme dalam publikasinya "Dare the School
Build a New Social 'Order", mengemukakan bahwa sekolah akan betul-betul
berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara
keseluruhan, membasmi kemelaratan,
peperangan, dan kesukuan (rasialisme). Masyarakat
yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar
merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen
pembaharu dan rekonstruksi sosial, daripada pendidikan hanya mempertahankan status
quo.
Sekolah harus bersatu dengan kekuatan
buruh progresif, wanita, para petani, dan kelompok minoritas untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang diperlukan. Counts mengkritik pendidikan progresif,
telah gagal menghasilkan teori kesejahteraan sosial, dan ia mengatakan sekolah
dengan pendekatan "child centered" tidak cocok untuk
menentukan pengetahuan dan skill sesuai dalam abad dua puluh.
Jadi dalam aplikasi penerapan filsafat
rekonstruksionisme di sekolah, sekolah merupakan agen utama untuk perubahan
sosial, politik dan ekonomi di masyarakat. Tugas sekolah adalah mengembangkan
rekayasa sosial dengan tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat yang
akan dating. Sekolah memelopori masyarakat ke arah
masyarakat baru yang diinginkan. Apabila tidak demikian, setiap individu dan
kelompok nantinya akan memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan secara
sendiri-sendiri sebagai pengaruh dari progresivisme.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam konteks filsafat pendidikan,
aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata
susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme,
yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran
rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan
zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan
kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki
oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh
aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam
pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang scrasi dalam
kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali
ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka
anggap paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan
jalan berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan
pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Implikasi pendidikan dalam filsafat
rekonstruksionisme yaitu sebagai berikut:
- Pendidikan merupakan usaha sosial. Misi sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial.
- Pendidikan bertanggung jawab dalam menciptakan aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya adalah esensial dalam masyarakat yang majemuk. Transmisi budaya harus mengenal fakta budaya yang majemuk tersebut.
- Kurikulum sekolah tidah boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang ditentukan atau disukai. Semua budaya dan nilai-nilai yang berhubungan berhak untuk mendapatkan tampat dalam kurikulum.
- Nilai-nilai budaya siswa yang dibawa ke sekolah merupakan hal yang berharga. Keluhuran pribadi dan tanggung jawab sosial ditingkatkan, manakala rasa normal diterima semua latar belakang budaya.
- Sebagai kelanjutan dari pendidikan progresif, metode aktivitas dibenarkan (learning by doing).
- Guru harus menunjukkan rasa hormat yang sejati (ikhlas) terhadap semua budaya, baik dalam memberi pelajaran mupun dalam hal lainnya. Pelajaran sekolah harus mewakili budaya masyarakat.
B. Saran
Rekonstruksionisme berupaya mencari
kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata
kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses
dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan
lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai
tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar ummat manusia.
Dalam proses pembelajaran, guru
diharapkan mampu membangun tata susunan pembelajaran di kelas. Namun untuk mencapai
tujuan tersebut, seorang guru harus bisa bekerja sama dengan siswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Anitah W, Sri, dkk (2007) Strategi
Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Arom dani, Panji. (2008). Aliran
Rekonstruksionism. [Online]. Tersedia http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com/2008/06/aliran-aliran-filsafat-pendidikan.html
Nur, Fadliya. (2008). Filsafat
Rekonstruksionism. [Online]. Tersedia http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-rekonstruksionisme.html
Sadulloh, Uyoh Drs, M.Pd. (2007). Filsafat
Pendidikan. Bandung: Cipta Utama
Setia. (2008). Rekonstruksionism.
[Online]. Tersedia http://setia-unindra-bio2b.blogspot.com/2008_06_06_archive.html
Filsafat Pendidikan.
(2008). [Online]. Tersedia
http://education.feedfury.com/content/16333546-filsafat_pendidikan.html