MAKALAH
ANTROPOLOGI DAN KONSEP
KEBUDAYAAN
Abstract
Anthropology is about all human beings, and it is the
charge of the Anthropology to tell about human story, not just the good side
but also the bad. It should include not just one group of people, but others.
It shouldn’t illustrate just one aspect of human life, but all.
The article tries to revolve around a number of general
pedagogical questions such as: What do anthropologists study? How do they go
about it? What perspective do they bring to their work? And what is the
relation of the Anthropology with the Culture.
A. PENDAHULUAN
Seorang filsuf China ; Lao
Chai, pernah berkata bahwa suatu perjalanan yang bermil-mil jauhnya dimulai
dengan hanya satu langkah. Pembaca dari materi ini juga baru memulai suatu
langkah kedalam lapangan dari suatu bidang ilmu yang disebut dengan
Antropologi.
Benda apa yang
disebut dengan Antropologi itu? Beberapa atau bahkan banyak orang mungkin sudah
pernah mendengarnya. Beberapa orang mungkin mempunyai ide-ide tentang
Antropologi yang didapat melalui berbagai media baik media cetak maupun media
elektronik. Beberapa orang lagi bahkan mungkin sudah pernah membaca
literature-literature atau tulisan-tulisan tentang Antropologi.
Banyak orang berpikir
bahwa para ahli Antropologi adalah ilmuwan yang hanya tertarik pada
peninggalan-peninggalan masa lalu; Antroplogi bekerja menggali sisa-sisa
kehidupan masa lalu untuk mendapatkan pecahan guci-guci tua, peralatan
–peralatan dari batu dan kemudian mencoba memberi arti dari apa yang
ditemukannya itu.
Pandangan yang lain mengasosiasikan Antropologi dengan
teori Evolusi dan mengenyampingkan kerja dari Sang Pencipta dalam mempelajari
kemunculan dan perkembangan mahluk manusia. Masyarakat yang mempunyai pandangan
yang sangat keras terhadap penciptaan manusia
dari sudut agama kemudian melindungi bahkan melarang anak-anak mereka
dari Antroplogi dan doktrin-doktrinnya.
Bahkan masih banyak orang awam yang berpikir kalau Antropologi itu bekerja atau
meneliti orang-orang yang aneh dan eksotis yang tinggal di daerah-daerah yang
jauh dimana mereka masih menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang bagi masyarakat
umum adalah asing.
Semua pandangan tentang ilmu Antroplogi ini pada tingkat
tertentu ada benarnya, tetapi seperti ada cerita tentang beberapa orang buta
yang ingin mengetahui bagaimana bentuk seekor gajah dimana masing-masing orang
hanya meraba bagian-bagian tertentu saja sehingga anggapan mereka tentang
bentuk gajah itupun menjadi bermacam-macam, terjadi juga pada Antropologi.
Pandangan yang berdasarkan informasi yang sepotong-sepotong ini mengakibatkan
kekurang pahaman masyarakat awam tentang apa sebenarnya Antropologi itu.
Antropologi memang tertarik pada masa lampau. Mereka ingin
tahu tentang asal-mula manusia dan perkembangannya, dan mereka juga mempelajari
masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (sering disebut dengan primitif).
Tetapi sekarang Antropologi juga mempelajari tingkah-laku manusia di
tempat-tempat umum seperti di restaurant, rumah-sakit dan di tempat-tempat
bisnis modern lainnya. Mereka juga tertarik dengan bentuk-bentuk pemerintahan
atau negara modern yang ada sekarang ini sama tertariknya ketika mereka
mempelajari bentuk-bentuk pemerintahan yang sederhana yang terjadi pada masa
lampau atau masih terjadi pada masyarakat-masyarakat di daerah yang terpencil.
B. BIDANG
ILMU ANTROPOLOGI
Dalam kenyataannya, Antropologi mempelajari semua mahluk
manusia yang pernah hidup pada semua waktu dan semua tempat yang ada di muka
bumi ini. Mahluk manusia ini hanyalah satu dari sekian banyak bentuk mahluk
hidup yang ada di bumi ini yang diperkirakan muncul lebih dari 4 milyar tahun
yang lalu.
Antropologi bukanlah satu satunya ilmu yang mempelajari manusia. Ilmu-ilmu lain seperti
ilmu Politik yang mempelajari kehidupan politik manusia, ilmu Ekonomi yang
mempelajari ekonomi manusia atau ilmu Fisiologi yang mempelajari tubuh manusia
dan masih banyak lagi ilmuilmu lain, juga mempelajari manusia. Tetapi ilmu-ilmu
ini tidak mempelajari atau melihat manusia secara menyeluruh atau dalam ilmu
Antropologi disebut dengan Holistik, seperti yang dilakukan oleh Antropologi.
Antropologi berusaha untuk melihat segala aspek dari diri mahluk manusia pada
semua waktu dan di semua tempat, seperti: Apa yang secara umum dimiliki oleh
semua manusia? Dalam hal apa saja mereka itu berbeda? Mengapa mereka
bertingkah-laku seperti itu? Ini semua adalah beberapa contoh pertanyaan
mendasar dalam studi-studi Antropologi.
B.1.
Cabang-cabang dalam Ilmu Antropologi
Seperti ilmu-ilmu lain, Antropologi juga mempunyai
spesialisasi atau pengkhususan. Secara umum ada 3 bidang spesialisasi dari
Antropologi, yaitu Antropologi Fisik atau sering disebut juga dengan istilah
Antropologi Ragawi. Arkeologi dan Antropologi Sosial-Budaya.
B.1.1. Antropologi Fisik
Antropologi Fisik tertarik pada sisi fisik dari manusia.
Termasuk didalamnya mempelajari gen-gen yang menentukan struktur dari tubuh
manusia. Mereka melihat perkembangan mahluk manusia sejak manusia itu mulai ada
di bumi sampai manusia yang ada sekarang ini. Beberapa ahli Antropologi Fisik
menjadi terkenal dengan penemuan-penemuan fosil yang membantu memberikan
keterangan mengenai perkembangan manusia. Ahli Antropologi Fisik yang lain
menjadi terkenal karena keahlian forensiknya; mereka membantu dengan
menyampaikan pendapat mereka pada sidang-sidang pengadilan dan membantu pihak
berwenang dalam penyelidikan kasus-kasus pembunuhan.
B.1.2. Arkeologi
Ahli Arkeologi bekerja mencari benda-benda peninggalan
manusia dari masa lampau. Mereka akhirnya banyak melakukan penggalian untuk
menemukan sisa-sisa peralatan hidup atau senjata. Benda –benda ini adalah barang tambang
mereka. Tujuannya adalah menggunakan bukti-bukti yang mereka dapatkan untuk
merekonstruksi atau membentuk kembali model-model kehidupan pada masa lampau.
Dengan melihat pada bentuk kehidupan yang direnkonstruksi tersebut dapat dibuat
dugaan-dugaan bagaimana masyarakat yang sisa-sisanya diteliti itu hidup atau
bagaimana mereka datang ketempat itu atau bahkan dengan siapa saja mereka itu
dulu berinteraksi.
B.1.3. Antropologi Sosial-Budaya
Antropologi Sosial-Budaya atau lebih sering disebut
Antropologi Budaya berhubungan dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi.
Ilmu ini mempelajari tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau
tingkah laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya kegiatan
yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran
mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa
yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh
manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana
bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya
dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Inilah yang
oleh para ahli Antropologi disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan dari
kelompok-kelompok manusia, baik itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat
besar inilah yang menjadi objek spesial dari penelitian-penelitian Antropologi
Sosial Budaya. Dalam perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi
kedalam bentuk-bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang
kajian yang dipelajari atau diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari
bentuk-bentuk hukum pada kelompok-kelompok masyarakat atau Antropologi Ekonomi
yang mempelajari gejala-gejala serta bentuk-bentuk perekonomian pada
kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari sekian banyak bentuk
spesialasi dalam Antropologi Sosial-Budaya.
C. KONSEP
KEBUDAYAAN
Kata Kebudayaan atau
budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi. Secara pasti,
Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini.
Seniman seperti penari atau pelukis dll juga memakai istilah ini atau
diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen
untuk ini. Konsep ini memang sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah
tersebar kemasyarakat luas bahwa Antropologi bekerja atau meneliti apa yang
sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh
Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli Antropolgi
mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli
Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi
yang pernah dibuat mengatakan ada sekitar 160 defenisi kebudayaan yang
dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari sekian banyak definisi
tersebut ada suatu persetujuan bersama
diantara para ahli Antropologi tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu
definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton
yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan
sehari-hari:
“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat
dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih
diinginkan”.
Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan.
Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan
sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu
masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Seperti semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan
berhubungan dengan beberapa aspek “di luar sana ” yang hendak diteliti oleh seorang
ilmuwan. Konsep-konsep kebudayaan yang dibuat membantu peneliti dalam melakukan
pekerjaannya sehingga ia tahu apa yang harus dipelajari. Salah satu hal yang
diperhatikan dalam penelitian Antropologi adalah perbedaan dan persamaan mahluk
manusia dengan mahluk bukan manusia seperti simpanse atau orang-utan yang
secara fisik banyak mempunyai kesamaan-kesamaan. Bagaimana konsep kebudayaan
membantu dalam membandingkan mahluk-mahluk ini? Isu yang sangat penting disini
adalah kemampuan belajar dari berbagai mahluk hidup. Lebah melakukan
aktifitasnya hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk
yang sama. Setiap jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan
kegiatannya secara kontinyu tanpa memperdulikan perubahan lingkungan
disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk mengumpulkan madu untuk koloninya.
Tingkah laku ini sudah terprogram dalam gen mereka yang berubah secara sangat
lambat dalam mengikuti perubahan lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah
laku lebah akhirnya harus menunggu perubahan dalam gen nya. Hasilnya adalah
tingkah-laku lebah menjadi tidak fleksibel. Berbeda dengan manusia, tingkah
laku manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena kemampuan yang luar biasa
dari manusia untuk belajar dari
pengalamannya. Benar bahwa manusia tidak terlalu istimewa dalam belajar karena
mahluk lainnya pun ada yang mampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari
manusia sangat luar-biasa dan hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuannya
untuk beradaptasi dengan apa yang telah dipelajari itu.
C.1. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar
Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan
cara belajar. Dia tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur
genetis. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang
digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkah-lakunya
digerakan oleh insting.
Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang
baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini
tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya
adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk
dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan,
bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu
makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompok-kelompoknya menyebabkan
manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah
cara makan yang berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan
menggunakan tangannya saja, langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya,
tetapi cara tersebut perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat
yang sederhana dari kayu untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang
alat tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu
makan. Dulu manusia makan disembarang tempat, tetapi sekarang ada tempat-tempat
khusus dimana makanan itu dimakan. Hal
ini semua terjadi karena manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang
dilakukan oleh generasi sebelumya atau lingkungan disekitarnya yang dianggap
baik dan berguna dalam hidupnya.
Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak
dipelajari. Semut semut yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki
kebudayaan, walaupun mereka mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi
pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya
dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain.
Pola kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis.
C.2. Kebudayaan Milik Bersama
Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan,
kebiasaan-kebiasaan seorang individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok
manusia. Para ahli Antropologi membatasi diri
untuk berpendapat suatu kelompok mempunyai kebudayaan jika para warganya
memiliki secara bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang sama
yang didapat melalui proses belajar.
Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat
kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan
yang dimiliki bersama oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat.
Pengertian masyarakat sendiri dalam Antropologi adalah sekelompok orang yang
tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa yang biasanya tidak
dimengerti oleh penduduk tetangganya.
C.3. Kebudayaan sebagai Pola
Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan
sejumlah pola-pola budaya yang ideal dan pola-pola ini cenderung diperkuat
dengan adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal
itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut diakui
sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu.
Pola-pola inilah yang sering disebut dengan norma-norma, Walaupun kita semua
tahu bahwa tidak semua orang dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa
yang telah mereka patokkan bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila
para warga masyarakat selalu mematuhi dan mengikuti norma-norma yang ada pada
masyarakatnya maka tidak akan ada apa yang disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian
dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku
sebenarnya karena pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang
dibiasakan oleh masyarakat.
Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu
dirasakan oleh para pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena
individu-individu pendukungnya selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir
yang telah dituntut oleh kebudayaan itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru
terasa kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan. Pembatasan kebudayaan
terbagi kedalam 2 jenis yaitu pembatasan kebudayaan yang langsung dan
pembatasan kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan langsung terjadi ketika
kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut kebiasaan dalam kebudayaan kita
merupakan hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang dianggap melanggar tata
kesopanan atau yang ada. Akan ada sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada
sipelanggar kalau hal yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan
dengan kebiasaan yang ada, akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut
sudah dianggap melanggar tata-tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia
mungkin akan dihukum dengan aturan-aturan yang berlaku dalam
masyarakatnya. Contoh dari pembatasan
langsung misalnya ketika seseorang melakukan kegiatan seperti berpakaian yang
tidak pantas kedalam gereja. Ada
sejumlah aturan dalam setiap kebudayaan yang mengatur tentang hal ini. Kalau si
individu tersebut hanya tidak mengenakan baju saja ketika ke gereja, mungkin
dia hanya akan disindir atau ditegur dengan pelan. Akan tetapi bila si individu
tadi adalah seorang wanita dan dia hanya mengenakan pakaian dalam untuk ke
gereja, dia mungkin akan di tangkap oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap
mengganggu ketertiban umum. Dalam pembatasan-pembatasan tidak langsung,
aktifitas yang dilakukan oleh orang yang melanggar tidak dihalangi atau
dibatasi secara langsung akan tetapi kegiatan tersebut tidak akan mendapat
respons atau tanggapan dari anggota kebudayaan yang lain karena tindakan
tersebut tidak dipahami atau dimengerti oleh mereka. Contohnya: tidak akan ada
orang yang melarang seseorang di pasar Hamadi, Jayapura untuk berbelanja dengan
menggunakan bahasa Polandia, akan tetapi dia tidak akan dilayani karena tidak
ada yang memahaminya.
Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti
menghilangkan kepribadian seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang
pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yang mengatur
tata-kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti
tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu yang mempunyai
pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirian seperti ini akan tetap
mempertahankan pendapat-pendapat mereka, sekalipun mereka mendapat tentangan
dari pendapat yang mayoritas.
Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan
berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh
masyarakat pendukungnya disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini terjadi sebagai
suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau
sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu,
kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang
meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya
merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode
yang baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri
dengan pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal
dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang
mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi
pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung
kebudayaan tersebut.
C.4. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif
Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif,
karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada
kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada
lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya.
Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok masyarakat
memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang
dari hubungan masyarakat tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut
bisa dipahami. Misalnya, orang akan heran kenapa ada pantangan-pantangan
pergaulan seks pada masyarakat tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampai anak
tersebut mencapai usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan tersebut,
pantangan tersebut susah dimengerti, tetapi bagi masrakat pendukung kebudayaan
yang melakukan pantangan-pantangan seperti itu, hal tersebut mungkin suatu cara
menyesuaikan diri pada lingkungan fisik dimana mereka berada. Mungkin daerah
dimana mereka tinggal tidak terlalu mudah memenuhi kebutuhan makan mereka,
sehingga sebagai strategi memberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah
pantangan-pantangan tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele
tetapi sebenarnya merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok
masyarakat tersebut untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara
melakukan pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini
dan penyesuaian yang dilakukan oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu
pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk sampai pada
suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi. Begitu juga dengan penyesuaian
kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang awam mungkin akan merasa
adalah suatu hal yang tidak perlu untuk membangun kampung jauh diatas bukit
atau kampung di atas air dan sebagainya, karena akan banyak sekali
kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi
bila kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah
itu, akan didapat sejumlah alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan.
Mungkin mereka mendapat tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok
masyarakat disekitarnya dalam bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus mempertahankan
diri dan salah satu cara terbaik dalam pilihan mereka adalah membangun kampung
di puncak bukit.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu
merupakan cara penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi
cara penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan
mungkin saja akan memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang sama.
Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu
masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah
alasan dan argumen. Alasan–alasan ini sangat banyak dan bervariasi dan ini
memerlukan suatu penelitian untuk menjelaskannya.
Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus
selalu menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada
umumnya orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau penyesuaian atas suatu keadaan yang baru
sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu
terjadi. Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu
untuk menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya
sendiri. Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini. Mereka
memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap
keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi kebudayaannya tetapi
mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat sebagai
penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar kebudayaannya malah
merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring budaya
dalam suatu kelompok masyarakat.
Karena sekian banyak aturan,
norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah
suatu hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja.
Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu akumulasi dari hasil
pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan tersebut terhadap
lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang karena
terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut.
Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau
penyaringan ini tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan
melakukan penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan
hasilnya juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara
berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua dan
muda, terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya.
D. PENUTUP
Benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat
dimasukan kedalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada
kebudayaan itu. Tetapi harus dingat bahwa kebudayaan itu tidak bersifat statis,
ia selalu berubah. Tanpa adanya “gangguan” dari kebudayaan lain atau asing pun
dia akan berubah dengan berlalunya waktu. Bila tidak dari luar, akan ada
individu-individu dalam kebudayaan itu sendiri yang akan memperkenalkan
variasi-variasi baru dalam tingkah-laku yang akhirnya akan menjadi milik
bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari kebudayaannya. Dapat juga
terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan kebudayaan tersebut mengalami
perubahan dan pada akhirnya akan membuat kebudayaan tersebut secara lambat laun
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi tersebut.
REFERENSI
Benedict, Ruth, Patterns of Culture. Boston : Houghton Mifflin
Co., 1980.
Harris, Marvin, “Culture, People, Nature; An
Introduction to General Anthropology”,
New York ,
Harper and Row Publishers, 1988.
Richardson, Miles,
“Anthropologist-the Myth Teller,” American Ethnologist, 2,
no.3 (August 1975).