MAKALAH PERSPEKTIF KULTURAL PENDIDIKAN SAINS : BELAJAR SEBAGAI PROSES INKULTURASI

MAKALAH

PERSPEKTIF KULTURAL PENDIDIKAN SAINS : BELAJAR SEBAGAI PROSES INKULTURASI

 

ABSTRACT

Education serves to perpetuate positive cultural values, on the other hand it also serves to create changes to a more innovative direction in our life, therefore it has a double function. However, so far  the science education curriculum developers in Indonesia pay less serious attention  to indigenous science  which forms the local culture of the community. Local autonomy has given the mandate to the local government to develop the educational curriculum that is geared to the uniqueness and competitive advantage of the region. In the context of implementing  learning at school, science teachers have to be smart and wise in bridging the two cultures for the students, that is the indigenous science (local culture) and science (western culture) as to make inculturation  happen.

1.  Pendahuluan
Pendidikan berfungsi memberdayakan potensi manusia untuk mewariskan, mengembangkan dan membangun kebudayaan serta peradaban masa depan. Di satu sisi, pendidikan berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang positif, di sisi lain pendidikan berfungsi untuk menciptakan perubahan ke arah kehidupan yang lebih inovatif. Oleh  karena itu, pendidikan memiliki fungsi kembar (Budhisantoso, 1992;  Pelly, 1992). Dengan fungsi kembar itu, sistem pendidikan asli di suatu daerah memiliki peran penting dalam perkembangan pendidikan dan kebudayaan.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong perkembangan pendidikan sains yang melahirkan sains formal (ilmiah) seperti diajarkan di lingkumngan  sekolah. Sementara di lingkungan masyarakat tradisional terbangun pengetahuan asli berbentuk pesan, adat istiadat yang diyakini oleh masyarakatnya dan disampaikan secara turun-temurun tentang bagaimana harus bersikap terhadap alam. Bentuk pengetahuan ini tidak tersusun secara sistematis berbentuk kurikulum yang diimplementasikan dalam pendidikan formal. Misalnya, masyarakat memiliki strategi memelihara alam (hutan/binatang) dengan memperlakukannya sebagai “duwe” atau mengantisipasi gejala alam gempa dengan membangun rumah-rumah tradisional bertiang.
Lingkungan, baik fisik maupun sosial-budaya dapat memberikan kontribusi tertentu pada pengalaman belajar siswa. Pengalaman tersebut dapat berupa pola pikir (ranah kognitif), pola sikap (ranah afektif), dan pola perilaku (ranah psikomotorik). Solomon (dalam Baker dkk., 1995) menyatakan konsep-konsep sains yang dikembangkan di sekolah tidak berjalan mulus, karena dipengaruhi kuat oleh  faktor-faktor sosial, khususnya konsepsi awal (preconseption) dan kegemaran (predilection) siswa. Lebih lanjut, Baker, dkk. (1995) menyatakan, bahwa pembelajaran sains di sekolah tidak memperhatikan budaya anak, maka konsekuensinya siswa akan “menolak”  atau hanya menerima sebagian konsep-konsep sains yang dikembangkan dalam pembelajaran. Stanley dan Brickhouse (2001) menyarankan agar  sains barat (sains normal) dan sains tradisional diseimbangkan  dalam pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan lintas budaya (cross-culture).
Kebijakan politik pendidikan di tanah air, juga mengalami pergeseran pola pikir, yaitu dari pemerintahan terpusat (sentralisasi) pemerintah berdasar pada otonomi daerah. Perubahan politik ini menyebabkan perubahan kebijakan pendidikan, sehingga daerah memiliki porsi lebih besar dalam menentukan kebijakan dalam pendidikan. Dalam pola pikir otonomi daerah ini, daerah dan sekolah diberi kewenangan untuk menentukan sistem yang akan digunakan dalam melaksanakan proses pembelajaran ini, menyangkut kurikulum, silabus, pendekatan, metode pembelajaran, dan strategi pembelajaran (Depdiknas, 2001). Kebijakan dalam bidang pendidikan ini merupakan peluang bagi daerah untuk mengembangkan potensinya termasuk potensi budaya dalam kaitannya dengan pembelajaran sains. Hal ini sejalan dengan kompetensi lintas kurikulum yang diharapkan dalam kurikulum berbasis kompetensi untuk pelajaran sains, tertuang antara lain bahwa (1) siswa memahami konteks budaya, geografi, dan sejarah serta memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan, serta berinteraksi dan berkontribusi dalam masyarakat dan budaya global, dan (2) siswa memahamai dan berpartisipasi dalam kegiatan kreatif di lingkungannya untuk saling menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat beradab (Depdiknas, 2002).
Berkaitan dengan masalah ini, beberapa masalah utama yang akan di bahas dalam artikel ini adalah (1) bagaimana pembelajaran sains ditinjau dari persepektif budaya dan (2)  bagaimana anak (siswa) dalam konteks masyarakat tradisional belajar sains?
Terkait dengan permasalahan pertama dan kedua, akan dibahas aspek budaya pada pembelajaran sains dan sains berdasarkan persepktif mutikultural, sedangkan untuk permasalahan kedua, akan dibahas teori belajar kolateral dengan topik metafora sang pelintas batas.

2. Pembahasan
2.1 Aspek Budaya pada Pembelajaran Sains

            Untuk  mempelajari proses pembelajaran sains di sekolah, selain memakai teori psikologi yang berakar pada konstruktivisme individu (personal constructivism) dan perspektif sosiologi yang bertumpu pada konstruktivisme sosial (social constructivism), para peneliti dan ahli pendidikan sains saat ini mencoba untuk menggunakan kajian teori anthropologi (anthropological perspective). Yang terakhir ini mencoba melihat proses pembelajaran sains di sekolah pada setting budaya masyarakat sekitar (Maddock, 1981; Cobern dan Aikenhead, 1996). Menurut perspektif antropologi, pengajaran sains dianggap sebagai transmisi budaya (cultural transmission) dan pembelajaran sains sebagai "penguasaan" budaya (cultural acquisition). Dengan demikian, proses belajar mengajar sains di kelas dapat diibaratkan sebagai proses pemindahan dan perolehan budaya dari guru dan oleh murid. Untuk pembatasan, kata budaya (culture) yang dimaksud di sini adalah suatu sistem atau tatanan tentang simbol, dan arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu masyarakat (Geertz, 1973). Berdasarkan batasan ini,  sains dapat dianggap sebagai subbudaya kebudayaan barat. Oleh karena itu, sains asli (budaya lokal) dari suatu komunitas di negeri non - Barat adalah subbudaya dari kebudayaan komunitas tersebut.
            Pengaruh sains barat sangat kuat pada pembelajaran sains di sekolah yang tujuan utamanya adalah transmisi budaya dari budaya negara yang dominan (Stanley dan Brickhouse, (2001). Pentransmisian subkultur sains dapat mendorong dan dapat menghancurkan atau memisahkan. Jika subkultur sains pada umumnya harmonis dengan budaya sehari-hari siswa, pembelajaran sains akan memiliki kecenderungan untuk memperkuat pandangan siswa terhadap alam semesta, dan hasilnya adalah inkulturasi (Hawkins dan Pea, 1987). Jika inkulturasi terjadi, maka berpikir ilmiah siswa tentang kehidupan sehari-hari akan meningkat. Tetapi jika subkultur sains berbeda dengan budaya sehari-hari siswa tentang alam semesta, seperti yang terjadi pada kebanyakan siswa (Costa, 1995; Ogawa, 2002), maka pembelajaran sains akan memiliki kecenderungan untuk menghancurkan atau memisahkan pandangan siswa terhadap alam sehingga siswa akan meninggalkan atau meminggirkan cara  asli mereka. Hasilnya adalah asimilasi (Jegede dan Aikenhead, 2000) yang konotasinya sangat negatif  sebagai bukti adanya  “hegemoni pendidikan” atau “imperialisme budaya” (Battiste dalam Cobern dan Aikenhead, 1996:5). Siswa akan berjuang  menegosiasi untuk menembus batas antara subkultur yang asli dan subkultur sains. Akan tetapi, dalam kenyataannya, siswa sering menolak aspek-aspek penting budayanya sendiri. Sebagai contoh, dalam penelitian yang berseri dari tahun 1972 sampai tahun 1980 di Papua New Guenia telah ditemukan pengaruh tersembunyi yang signifikan terhadap terjadi pemisahan siswa dari budaya tradisionalnya. Pada sekolah-sekolah yang lebih formal,  siswanya lebih menerima alienisasi. Untuk kasus di Bali, hal itu dapat dilihat dari makin banyaknya kerusakan lingkungan alam seperti terleklamasinya pantai unuk hotel, rusaknya terumbu karang, makin sedikitnya hutan, serta  makin menghilangnya binatang langka yang ada di Bali (jalak Bali, Penyu hijau, kokokan) sebagai akibat dari ulah masyarakat Bali sendiri.

 2.2  Sains Berdasarkan Perspektif  Multikultural

Pertanyaan apakah sains itu,  perlu kembali dikemukakan kepada para pendidik sains di Indonesia untuk mengetahui pandangan mereka tentang sains dalam perspektif baru  pendidikan sains. Bagi kebanyakan para pendidik sains konvensional, sains itu adalah sains  (science is science) atau kumpulan pengetahuan tentang fenomena alam yang diperoleh melalui metode ilmiah.  Ketika kita kembali memikirkan isu “sains dalam konteks pendidikan sains” di Indonesia, sains itu adalah “budaya asing” bagi orang Indonesia. Ogawa (2002) menyatakan bahwa “sains”  bukanlah budaya asli orang Jepang, tetapi merupakan budaya import dari negara Barat yang masuk ke Jepang semenjak pertengahan abad ke - 19, meskipun faktanya sekarang orang Jepang dapat mempelajari sains karena sains dipandang dari perspektif multikultural.
Ogawa (2002) memberikan definisi yang lebih luas tentang sains yaitu “tanggapan  secara rasional tentang realitas”, di mana “tanggapan” berarti tindakan membangun realitas dan bangun realita itu sendiri. Perlu diperhatikan bahwa rasional dalam konteks ini bukan saja rasional dalam konteks sains Barat saja, melainkan  menurut aturan-aturan yang diperoleh dari berbagai jenis rasional dalam setiap budaya.
Berdasarkan definisi tersebut, Ogawa (dalam Snively dan Corsiglia: 2001) membedakan sains menjadi 3 jenis, yaitu  (1) sains pribadi (personal science), (2) sains  tradisional atau sains asli (indigenous science), dan (3) sains modern Barat. 
Pertama, “sains pribadi” (personal science) adalah sains dalam tingkat perorangan dan didefinisikan sebagai “tanggapan seseorang yang unik terhadap realitas”. Setiap orang membangun tafsiran tertentu terhadap suatu data sensori yang diterimanya, baik yang berupa benda-benda, maupun peristiwa-peristiwa. Tafsiran yang dibangun oleh masing-masing orang berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya, dan bergantung pada pengalaman dan pengetahuan yang mereka telah miliki sebelumnya. Jadi, tafsiran terhadap suatu realita bersifat pribadi. Hal ini seirama dengan pandangan konstruktivisme yang menyatakan bahwa makna suatu keadaan tidak terletak pada kenyataan itu sendiri, tetapi seseorang membangun makna dari kenyataan itu (Bodner, 1986). Tafsiran perorangan dari suatu konsep disebut konsepsi.
Sebelum anak belajar sains di sekolah, anak telah memiliki gagasannya tentang gejala-gejala alam (Gunstone, 1990; Dawson, 1992; Suastra, 1996). Gagasan-gagasan tersebut merupakan pengetahuan pribadi mereka, yaitu gagasan-gagasan yang terbentuk melalui belajar informal dalam memahami pengalaman-pengalaman sehari-hari, dan disebut pengetahuan awal atau prakonsepsi. Konsepsi siswa pada umumnya berbeda dengan konsepsi ilmuwan. Konsepsi ilmuwan bersifat ilmiah, lebih kompleks, dan melibatkan banyak hubungan antarkonsep, sedangkan prakonsepsi siswa  sederhana, sering muncul karena mereka hanya menggunakan pola pikir intuitif atau akal sehat (common sense) dalam menangapi dan menjelaskan permasalahan yang mereka hadapi.
Kedua, sains asli (indigenous science atau socio-cultural science) didefinisikan sebagai tanggapan rasional secara kolektif tentang realitas yang tergantung pada budaya. Tanggapan ini dapat berupa tindakan mengkonstruksi realitas dan bangun realitas itu sendiri. Kolektif disini berarti diyakini dan digunakan oleh banyak orang  dan tidak tergantung dari pikiran pribadi atau kelompok  kecil pikiran. Hardestey (dalam Snively dan Corsiglia, 2001) menyebut sains asli sebagai etnosains (ethnoscience), yang dijelaskan sebagai studi sistem pengetahuan yang dikembangkan dari perspektif budaya setempat berkenaan dengan pengklasifikasian  objek-objek dan  aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan fenomena alam. Sains asli menginterpretasi bagaimana dunia lokal bekerja melalui perspektif budaya khusus. Di samping itu, sains asli juga memiliki proses-proses seperti observasi, klasifikasi, serta pemecahan masalah dengan memasukkan semua aspek budaya asli mereka. Sebagai contoh, dalam menanggapi bahaya petir, masyarakat tradisional di Bali, biasanya melemparkan benda-benda yang terbuat dari besi, seperti sabit, linggis (sejenis alat penggali lubang dari besi)  ke halaman rumah mereka serta  menanam “panca dhatu” pada bangunan-banguna suci agar terhindar dari bahaya petir (Suastra, 2005). Begitu juga untuk  melindungi satwa dan tumbuhan langka,  masyarakat tradisional menggunakan konsep pantang larang dengan konsep “duwe”. Snively dan Corsiglia (2001:12) meng-gambarkan karakteristik pengetahuan tradisional 
 masyarakat tradisional seperti ekologi, botani, pengobatan, hortikultura, agrikultura, klimatologi, dan sebagainya yang diperoleh melalui kegiatan obnservasi, bertanya, klasifikasi, menyimpulkan, memprediksi, pemecahan masalah, dan sebagainya. Pengetahuan tradisional ini biasanya dituntun oleh kearifan tradisional (traditional wisdom) yang berisi nilai-nilai perhatian, etika, kontrol saling berbagi, harmoni, toleransi, holistik, dan spiritualitas.
Ketiga, sains modern (normal science)  didefinisikan sebagai tanggapan realitas kolektif terhadap realitas yang dikemukakan dan diakui oleh komunitas ilmiah yang meliputi aktivitas dan produk sains yang berupa pengetahuan ilmiah (Ogawa, 2002; Irzik, 2001; Stanley and Breakhouse, 2001).  Para universalis menyebut sains modern Barat ini  sebagai sains standar dan bersifat universal. Ada berbagai istilah untuk sains modern seperti “sains standar”, “sains Barat”, “sains konvensional’, dan “sains resmi”.  Sains modern ini digunakan sejak abad ke-20 sampai sekarang. Beberapa orang mengatakan sains modern dimulai sejak adanya pandangan tentang atomisme di Yunani, dan yang lainnya mengatakan dimulai sejak abad ke-20, ketika ilmuwan mulai berpegang pada teori, seperti teori evolusi, seleksi alam, dan teori kinetik molekuler (Snively dan Corsiglia, 2001:9). Goldstein dan Goldstein (1980) menyatakan bahwa sains merupakan aktivitas yang ditandai oleh tiga hal, yakni (1) suatu penelusuran untuk mencapai pengertian dan untuk memperoleh jawaban tentang realitas, (2) pengertian tersebut diperoleh dengan cara mempelajari prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang berlaku terhadap sebanyak mungkin fenomena, dan (3) hukum-hukum dan prinsip-prinsip sains dapat diuji dengan eksperimen (testable).

2.3  Metafora Sang Pelintas Batas
            Para ahli yang berkecimpung dalam penelitian tentang keterlibatan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh siswa dalam proses pembelajaran sains menggunakan sebuah metafora atau pengkiasan yang diberi nama "metafora sang pelintas batas (border crossing methaphor) untuk menjelaskan proses pembelajaran sains dari perspektif antropologi (Aikenhead dan Jegede, 1999; Jegede dan Aikenhead, 2000; Wahyudi, 2003:7). Menurut metafora ini, siswa dianggap sebagai sang pelintas batas antara dua budaya, yaitu nilai-nilai budaya keseharian mereka dengan nilai-nilai budaya sains di sekolah yang pada dasarnya didominasi oleh budaya sains Barat. Kata "batas" di sini adalah "batas imajiner", yaitu batas yang ada dalam pikiran, bukan batasan secara material. Menggunakan metafora ini, Costa (1995) mengelompokkan siswa ke dalam lima kategori berdasarkan cara mereka masuk ke dalam budaya sains di kelas dari budaya keseharian mereka, seperti digambarkan dalam gambar 2  berikut.
Kelompok pertama disebut dengan “Potential Scientist ” (PS). Siswa dalam kelompok ini dapat dengan mudah melintasi batas kedua budaya (CB), yaitu budaya sekolah sains dan budaya keseharian mereka secara alami, seolah-olah batas  tersebut tidak ada bagi mereka. Kelompok kedua disebut dengan “Other Smart Kids” (OSK), yaitu kelompok siswa yang dapat melewati batas dengan baik, namun mereka masih menganggap dan mengakui sains sebagai sebuah budaya asing. Siswa dalam kelompok ini kebanyakan suka menggunakan cara “cerdas" untuk berhasil dalam pembelajaran sains. Mereka dapat membangun konstruks pengetahuan sains di dalam skemata mental mereka dan menyimpannya dalam memori jangka panjang yang hanya dapat diakses lagi ketika diperlukan pada saat ujian. Kelompok ketiga adalah “I Don’t Know Students”(IDKS), yaitu suatu kelompok yang menghadapi masalah serius dalam melintasi batas kedua budaya tersebut, tetapi mau belajar untuk mengatasinya, dan berhasil menggunakan cara Fatima’s Rule secara terus menerus. Kelompok ini mungkin berhasil di dalam ujian pelajaran sains, namun mereka tidak memahami konsep sains secara komprehensif. Mereka cenderung menghafal konsep, bukan memahaminya. Kelompok keempat adalah “Outsider” (OS), yaitu kelompok siswa yang cenderung terasing selama proses pembelajaran sains berlangsung. Kelompok ini menghadapi masalah besar dalam usaha melintasi batas budaya. Kelompok siswa ini hampir tidak mungkin dapat  melintasi  batas tersebut. Hal ini disebabkan oleh begitu kuatnya pengaruh nilai kebudayaan keseharian mereka, dibandingkan dengan konsep-konsep sains yang mereka pelajari di kelas. Kelompok terakhir adalah “Inside Outsider”, yaitu suatu kelompok yang merasakan diskrimasi budaya oleh sains modern sehingga mereka merasakan tidak mungkin dapat menembus batas kedua budaya tersebut. Kelompok ini sebenarnya memiliki keinginan yang besar, namun menjadi asing di kelas/sekolah  karena kelas/sekolah tidak menyediakan  tempat untuk nilai-nilai budaya siswa (student’s prior belief). Akibatnya, mereka merasa terpinggirkan (teralienisasi) sehingga tidak mendapatkan pengetahuan sains yang bermakna bagi hidup mereka.
            Potential Scientist Students ditemukan di berbagai negara (Ogawa, 2002; Jegede & Aikenhead, 2000). Di negara Barat, proses inkulturasi kelompok siswa ini tampaknya lebih harmonis bila dibandingkan dengan kelompok siswa dari negara non-Barat. Para siswa non-Barat mengkonfrontasikan budaya aslinya dengan budaya sains Barat sehingga terjadi konflik kognitif. Konsekuensinya, kelompok Potential Scientist  non-Barat akan mengkonstruksi konsep-konsep sains Barat dari sisi ke sisi (side by side), dan sedikit interferensi dan interaksi antara kedua budaya tersebut. Peristiwa belajar seperti ini disebut dengan belajar kolateral (Aikenhead dan Jegede, 2000; Wahyudi, 2003). Konsep-konsep aneh/ganjil ini disimpan dalam memori jangka panjang (long-term memory) dalam bentuk skemata kognitif. Aikenhead dan Jegede (2000) memberikan contoh sederhana ilustrasi pelangi (rainbow) pada masyarakat Afrika. Di dalam budaya sains modern, pelangi dapat dijelaskan dengan konsep pembiasan cahaya. Ketika cahaya matahari (polikromatis) melewati bintik-bintik air maka akan terjadi pembiasan cahaya yang menghasilkan spektrum warna (pelangi). Pada budaya orang-orang Afrika, pelangi dimaknai (signify) sebagai “ular piton yang menyeberangi sungai”. Maka dari itu, untuk siswa Afrika belajar tentang pelangi dalam pembelajaran sains akan menimbulkan konflik yang cukup potensial pada skemata dalam memori jangka panjangnya. Tidak hanya konsepnya yang berbeda (refraksi cahaya dengan piton menyeberangi sungai), tetapi epistemologinya juga berbeda (penyebab dan pemaknaannya). Hal serupa juga terjadi pada masyarakat tradisional umumnya di Indonesia, dan khususnya di Bali.
Ogunniyi (dalam Aikenhead, 2000:8) menjelaskan bahwa pandangan asli yang bertentangan dengan pemikiran sains Barat tidak menghalangi pemahaman sains siswa dan bahkan pandangan asli dan pandangan ilmiah tentang dunia dimungkinkan untuk diajarkan secara silmultan. George (2001:3) menyatakan dua hal (1) Pada belajar  kolateral paralel (parallel collateral learning),  siswa dapat memiliki kedua skemata yang hanya sedikit persamaannya (sains aslinya belum dapat dijelaskan sains Barat), dan akan menerima skemata yang terbaik dan  cocok dengan situasi yang dimilikinya. (2) Melalui  belajar kolateral yang menguatkan (secured collateral learning), siswa dapat dengan mudah menyelesaikan konflik skematanya karena hanya sedikit perbedaan. Siswa mungkin akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kedua skemata karena sedikit perbedaan (sains aslinya dapat dijelaskan dengan sains Barat).
            Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa siswa dalam konteks masyarakat tradisional akan mengalami kesulitan yang lebih besar dibandingkan dengan siswa dari negara Barat dalam mengkonstruksi sains dan sikap-sikap ilmiah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsep, pemaknaan (epistemologi), dan cara memperoleh pengetahuan mereka. Oleh karena itu, dalam pembelajaran sains di sekolah, perlu adanya bridging gap agar terjadi keharmonisan budaya yang datang dari Barat dengan budaya yang mereka miliki sebagai warisan leluhur mereka dan bagian dari kehidupan keseharian mereka. Dengan demikian, budaya yang dimiliki siswa dalam masyarakat tradisional tidak begitu saja hilang dengan datangnya budaya sains Barat, tetapi dapat berjalan secara paralel dan bahkan dapat menguatkan budaya yang telah ada sebelumnya (inkulturasi). 

3. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal  (a) Rendahnya mutu pendidikan sains di Indonesia disebabkan oleh kurang diperhatikannya serta diakomodasinya  keragaman  budaya masyarakat setempat oleh para pengembang kurikulum sains di sekolah. Keragaman itu dapat menjadi sumber inspirasi dalam belajar dan dapat pula menghambat proses belajar mengajar sains di sekolah. (b) Dalam perspektif multikultural,  sains didefinikan sebagai “tanggapan   rasional tentang realitas”, dimana “tanggapan” berarti tindakan membangun realitas dan bangun realita itu sendiri. Berdasarkan definisi ini sains dibedakan menjadi tiga bagian yaitu sains pribadi, sains asli (sans masyarakat), dan sains modern Barat (ilmiah). (c) Pengajaran sains di sekolah dapat dipandang sebagai proses transmisi budaya (cultural transmission) dan pembelajaran sains sebagai penguasaan budaya (cultural acquisition). Proses belajar-mengajar di kelas dapat diibaratkan sebagai pemindahan dan perolehan budaya dari guru dan oleh murid. (d) Perlu adanya reformasi kurikulum sains dengan memperhatikan keragaman sosio-kultural siswa dengan menggunakan pendekatan kultural yang berlandaskan prinsip-prinsip : (1) keragaman sosial budaya menjadi dasar dalam menentukan visi pendidikan sains; (2) keragaman sosial budaya menjadi dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, kontens, proses, dan evaluasi; (3) budaya di lingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa; serta  (4) kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah, nasional, dan global.
DAFTAR PUSTAKA

AAAS. (1989). Science for All Americans. Washington D.C.: American Assosiation for the Advancement of Science.
Aikenhead,G (1999). Barriers to Accomodating Culture in Science Classroom. http://www.usask.ca/education/people/aikenhead/ ioste99paper.htm. [May, 2002]
Aikenhead.G. (2000). Renegotiating the Culture of School Science. In            Improving  Science Education : The Contribution of Research. Robin   Miller, et al (eds). http://www.usask.ca/education/people/ aikenhead/renegotiation.htm [May, 2002]*
Baker,D, et al. (1995). The Effect of  Culture on the Learning of Science in non-Western Countries: The Results of a Integrated Research Review. International Journal Science Education. Vol. 17 (6).
Budhisantoso,S.(1992). Pendidikan Indonesia Berakar pada Kebudayaan Nasional. Makalah pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. Meda.
Cobern,W.W & Loving,C.C. (2001). Defining “Science” in a Multicultural World:  Implication for Science Education. Science Education. 85.
Cobern,W.W. Aikenhead,G.S. (1996). Cultural Aspects of  Learning Science.  SLCSP Working paper #121. http://www.wmich.edu/ slcsp/121.htm/June 2002.
Costa,V.B.(1995). When science is “Another World”: Relationships between Worlds of Family, Friends, School,and Science. Science Education. 79(3). 313-333.
Cross,R.T & R.F. Price (1992). Teaching Science for Social Responsibility. Sydney: St.Louis Press.
Dawson,C. (1992). The Scientific and the everyday: Two Different Ways of  Knowing, Some Implication for Science Teaching. The Australia Science Teachers  Journal. 38 (1)
Depdiknas. (2001). Kuirkulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Sains. Jakarta:  Puskur Balitbang.
Depdiknas.(2002). Kurikulum Hasil Belajar : Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Fisika.  Jakarta: Puskur Balitbang.
Driver,R.& Bell. B (1986). Students’ Conceptions and the Learning of  Science. International Journal of Science Education. 11. 481-490.
Geertz.C. (1973). The Interpretation of Culture. New York: Basic Books.
George.J. (2001). Culture and Science Education: Developing World.             http://www.id21.org/education/e3jg1g2.html.
Irzik,G. (2001). Universalism, Multiculturalism, and Science Education. Science Education. 85(1). 77-79.
Jegede,O.J & Aikenhead,G.S (2000). Transcending Cultural Border: Implications for Science  Teaching. http://www. Jegede@ouhk. edu.hk.
Jeged,O.J, Aikenhead.G, and  Cobern,W. (1996) Cultural Studies in Science Education.  http://www.157.80.39.44/jrp/report.htm.
Krugly-Smolska,E. (2002). Research on Multicultural Applied to Students'            Learning School Science:Some Theoretical Issues.             http://www.ouhk.edu.hk/cridal/misc/krugly.htm.
Lucas,B.K (1998). Some Coutionary Notes About Employing the Socio-Cultural Environmental Scale in Different Cultural Contexts. Journal of  Research  and Mathematics Education in S.E Asia. 21(2).
Maddock ,M.N.(1981). Science Education: An Antropological Viewpoint. Studies in  Science Education. 8. 1-26.
Ogawa,M. (1995). Science Education in Multiscience Perspective. Science Education.79.
Ogawa,M. (2002). Science as the Culture of Scientist: How to Cope with Scientism ? http://sce6938-01.fsu.edu/ogawa.html.
Pelly,U.(1992). Pendidikan Berakar pada Kabudayaan Nasional. Makalah pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia. Medan.
Snively,G & J. Corsiglia. (2001). Discovering Indigenous Science: Implications for Science Education. Science Education. Vol 85 (1). Pp.7-34.
Stanley,W.B & N.W. Brickhouse. (2001). The Multicultural Question Revisited. Science Education. Vol 85 (1). Pp.35-48.
Suastra,W (1996). Konsepsi Awal Siswa Tentang Perubahan Wujud Zat Jurnal Aneka Widya STKIP Singaraja.No.2 Th XXIX, April 1996.
Suastra,I.W.(2005). Merekonstruksi Sains Asli dalam Rangka Mengembangkan Pendidikan Sains Berbasis Budaya Lokal di Sekolah. Disertasi. Tidak Dipublikasikan.
Wahyudi. (2003). Tinjauan Aspek Budaya pada Pembelajaran IPA:  Pentingnya Kurikulum IPA Berbasis Kebudayaan Lokal.   http://www.depdiknas.go.id\jurnal\
Zen,M.(1993). Dinamika Pendidikan“Orang Laut” Sebagai Suatu Profil            Operasionalisasi  Pendidikan Nasional. (Studi Kasus Proses             Rasionalisasi Nilai-Nilai Tradisional dalam Pendidikan pada Kelompok Orang “Mesuku” di Pulau Mangkait Kecamatan  Siantan Kabupaten Kepulauan Riau). Desertasi Tidak  Dipublikasikan.

DMC