MAKALAH
PROBLEMATIKA
PENDIDIKAN INDONESIA DAN GAGASAN
MENUJU
PARADIGMA BARU
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan mendeskripsikan problematika pendidikan
Indonesia, paradigma lama pendidikan, dan gagasan untuk menuju paradigma baru.
Masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia memberikan dampak yang tidak
menguntungkan bagi sistem pendidikan. Perkembangan pendidikan cenderung tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini masih dirasakan hingga sekarang.
Sebagai muaranya adalah rendahnya sumber daya manusia untuk bersaing dalam era
global. Oleh sebab itu, gagasan untuk menuju paradigma baru pendidikan sangat
diperlukan. Pendidikan Indonesia hendaknya berkembang dari budaya lokal,
nasional, universal, dan global. Perkembangan pendidikan tersebut diharapkan
dapat menghasilkan pendidikan yang berkualitas baik di bidang demokratisasi,
popularisasi, sistematisasi, proliferasi di bidang delivery, politisasi, maupun
di bidang pemberdayaan pendidikan berbasis masyarakat.
Kata-kata
kunci: pendidikan, problematika, paradigma baru
ABSTRACT
The purposes of this article were to describe the Indonesian education
problems, the old education paradigm, and the notion to the new paradigm
direction. Holand and Jepan colonization period in Indonesian were damaging to
the education system. The education development was not conformed to the need
of the society. The impact was still occured until the recent time. As an
estuary of the impact, the human
resources quality was still low to compete in the global era. Show that, the
notion to the new education paradigm was very important. The Indonesian
Education should be developed from the local, national, universal, and global
culturals. The education develompment can be expected to give good education
outcome in education democratization, popularisztion, systematization, delivery
proliferation, politization, as well as in empowering of community based
education.
Key words:
education, problems, new paradigm
1.
Pendahuluan
Kekuasaan-kekuasaan
kolonial Belanda dan Jepang, sejak berakhirnya Perang Dunia II, masih
meninggalkan tapak-tapak pengaruhnya di tanah air. Sistem kolonial Belanda
telah mencangkokkan sistem pendidikan negaranya sendiri di daerah nusantara.
Juga kekuasaan politik dan ekonomi Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-negara
maju lainnya yang menguasai sebagian besar wilayah dunia, sekarang ini
memberikan stempel pengaruhnya kepada lembaga-lembaga pendidikan di Dunia
Ketiga, termasuk Indonesia.
Rekonstruksi
budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda
dan Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang
kegiatan rekonstruksi tersebut adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi
sistem politik yang bermuara pada sulitnya menentukan kebijakan pendidikan yang
cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (2) sulitnya mengubah
mental pemimpin Indonesia dari kebiasaan ketergantungan, sehingga mereka
cenderung berorientasi pada saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat
dan mengunggulkan model pendidikan negara-negara barat yang belum tentu cocok
dengan kebutuhan pendidikan Indonesia, (3) sulitnya membangkitkan kreativitas
masyarakat dalam pendidikan sebagai akibat pengalaman historis yang menyebabkan
kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.
Kelembagaan
pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan
pendidikan penjajahan dan budaya kolonial dari masa lampau. Sebagian institusi
pendidikan Indonesia merupakan pencangkokan lembaga pendidikan negara-negara
yang sudah maju, sehingga dalam praktek sehari-hari, hasil pendidikan kurang
mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat
kepribumian, kurang mengembangkan unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak
didik yang menerima pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap
budaya sendiri, yang akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri,
lingkungan, bahasa ibu dan pengalaman eksistensial.
Kemajuan
masyarakat industri Eropa adalah hasil dari akumulasi empat gugus institusi,
yang menurut pandangan Giddens (Dimyati, 2000) sebagai hubungan komplementer
dari (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (3) pengawasan, dan (4) kekuatan
militer. Rembesan model institusi ini di Indonesia menjelma dalam praktek-praktek pendidikan
yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi
kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak didik, tidak adanya
komunikasi interaktif antara guru dan siswa, murid dituntut menghafal secara
mekanis, guru cenderung bercerita tentang pelajaran dan murid mendengarkan.
Guru menguraikan suatu topik yang sama sekali asing bagi pengalaman
eksistensial para murid. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, tetapi guru
menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi “tabungan” yang diterima,
dihafal, diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya
bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya
bank menghasilkan insan-insan yang jati dirinya tersimpan dan miskin daya
cipta, daya ubah, dan pengetahuan.
Di samping
praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola
ketergantungan pada pendidikan negara-negara maju memberikan dampak kurang
menguntungkan masyarakat Indonesian dan masih mewarnai sistem pendidikan
Indonesia hingga sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih
mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan dan persatuan bangsa, untuk
menjamin keamanan negara dan stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan
sistem pendidikan semacam itu ialah operasionalisasi konkretnya di lapangan
menjadi kurang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat lokal yang
beragam, dan corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih
Ekspansi dan modernisasi pendidikan dengan penekanan pada pemberian materi
pengajaran yang lebih banyak bersifat urban dan universal dan kurang
memperhatikan situasi kondisi lokal, akan meningkatkan harapan ekonomis dan
ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan.
Di samping
itu, hasrat emosional untuk mengejar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
seperti di negara-negara kaya dan maju, banyak mendominasi para penentu
kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di dalam utopi, dan kurang
berpijak pada realitas bangsa sendiri, khususnya bagi masyarakat lapisan bawah.
Ide-ide utopis tersebut ternyata menghambat pemimpin pendidikan dalam membangun
model-model pendidikan yang bernafaskan kepribumian yang justru berfaedah bagi
masyarakat dan sinkron dengan kebudayaan asli Indonesia.
Berdasarkan
uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem
pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas,
relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-hasil pendidikan yang belum memenuhi
harapan masyarakat tersebut, memberikan dorongan untuk sepintas melihat paradigma
lama pendidikan Indonesia sebagai bahan refleksi untuk memikirkan strategi
pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya
merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk saat ini.
2.
Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan
Indonesia menurut paradigma lama, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan,
baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental
terjadi di dalam pendidikan nasional sejak 57 tahun yang lalu. Suatu sistem
pendidikan nasional yang elitis yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial dan
militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yang populis yang banyak
membuka kesempatan untuk seluruh anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan di
awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, banyak
menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yang
dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan hasil dan layu
sebelum berkembang.
Dalam
perjalanan pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator
perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1)
popularisasi, (2) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.
Popularisasi
pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia
yang menjadi prioritas utama, di samping sumber-sumber alamiah. Paradigma ini
dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul dalam bidang sumber daya
alam, tetapi lemah dalam sumber informasi iptek, kelembagaan dan peraturan,
sumber modal, dan sumber kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping
itu, dengan didorong oleh gerakan education
for all, muncul pula paradigma pemberantasan kemiskinan yang akhirnya
melahirkan program-program wajib belajar yang bermula diberlakukannya wajib
belajar 6 tahun, yang kemudian menjadi 9 tahun. Krisis yang dirasakan sebagai
akibat paradigma tersebut adalah terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang
tercermin dari tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah di Asia dan
semakin bertambahnya pengangguran.
Didorong oleh keinginan untuk
meningkatkan mutu dan standar pendidikan nasional, maka muncullah paradigma
keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif
dan berbagai peraturan yang menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya
norma-norma EBTANAS, dan berbagai tes standar. Paradigma ini diarahkan untuk
mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan
supervisi, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa
etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.
Di satu sisi, paradigma keseragaman
pendidikan telah menghasilkan percepatan pencapaian target-target kuantitatif
pendidikan. Di sisi lain, paradigma yang kaku tersebut ternyata mematikan
inisiatif dan kemampuan berpikir kritis anak didik dan masyarakat (Kartini
Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999).
Perlu disadari bahwa sistem pendidikan
elitis pada zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat
berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat
yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka setelah kemerdekaan RI 17
Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian
sempit tentang pendidikan tersebut tampak dalam UU. No. 4 th. 1990 yang
terutama diarahkan untuk pengajaran. Kemudian, sebagai akibat desakan
perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih yang memperkenalkan
pendidikan maya yang bersifat global, maka paradigma proliferasi pendidikan
diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan
pendidikan informal dengan kegiatan-kegiatan untuk pemenuhan tenaga kerja
industri. Namun, perluasan ruang lingkup pendidikan tersebut telah mengubah
dimensi pendidikan dari tanggung jawab keluarga beralih pada kekuatan-kekuatan
di luar lingkungan keluarga, formalistis, dan sistematis, serta sekadar untuk
memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.
Munculnya berbagai jenis program
pendidikan dan pelatihan yang lebih berorientasi pada aspek supply, mengakibatkan kebutuhan real
akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi sebagai akibat
kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Praksis pendidikan sesungguhnya berinti pada sejauh mana dunia pendidikan dan
dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan
yang tidak berorientasi pada esensi praksis pendidikan akhirnya membawa dunia
pendidikan semakin mengalami alienasi dari kebutuhan masyarakat (Kartini
Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yang terjadi adalah
terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap sebagai state
business non profit; dan pendidikan lebih berorientasi pada aspek supply
ketimbang demand dari konsumen.
Pendidikan dan politik memiliki kaitan
yang sangat erat. Keduanya diarahkan pada tujuan hidup manusia dan masyarakat,
menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan untuk membentuk kehidupan
bersama. Indonesia yang tengah berkembang merupakan pencerminan dari kekuatan
sosial politik kaum elit yang berkuasa dan refleksi kekuatan penguasa pada
ide-ide politiknya. Sekolah merupakan sarana penyuapan anak didik dengan
doktrin-doktrin politik serta propaganda nilai-nilai budaya yang dianggap
paling bermanfaat oleh para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi
penguasaan dan pengendalian rakyat secara lebih efisien. Rakyat dituntut
kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara
mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi
pendidikan.
Pendidikan dijadikan sebagai alat
penguasa dan sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan
pula prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya dapat
memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani oleh birokrasi
agar tercipta kesatuan persepsi dalam menjalankan tugas-tugas pendidikan.
Krisis yang dirasakan adalah (1) sakralisasi ideologi nasional sehingga terjadi
penjinakan terhadap critical dan creative thinking masyarakat, (2)
terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.
Berdasarkan empat indikator paradigma
lama pendidikan Indonesia tersebut, dapat diduga bahwa anomali-anomali yang
ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yang
dialami oleh pendidikan Indonesia saat ini. Lebih-lebih dalam mengahadapi era
global yang melanda semua segi kehidupan, dia akan menampakkan wujud semakin
hebat dan beresiko pada keterbelakangan peradaban manusia Indonesia di mata
dunia. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya untuk menyelamatkan diri dari
krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan semua anak bangsa,
menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tersebut pasti akan bisa dilewati.
Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa bersama pemerintah akan segera
menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma
baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis,
meningkatkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta
peradaban manusia ke arah yang lebih baik, dan bisa berkecimpung dalam
percaturan global.
Paradigma baru pendidikan Indonesia
tersebut, di samping tetap berorientasi pada empat indikator yang dijadikan
pijakan untuk mengevaluasi paradigma lama, juga
berorientasi pada nilai-nilai orisinal yang bersifat lokal, nasional,
dan universal bersumber dari landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal
budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tersebut dijadikan dasar untuk
memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia.
3.
Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan
sebagai usaha sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu pada sejumlah
landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar
utama pengembangan manusia dan masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan
akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia,
mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara. Landasan pendidikan yang
sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan adalah
landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yang
mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah
dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali
tenaga kependidikan dengan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian
terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat membentuk wawasan
pendidikan yang utuh.
Landasan Filosofis. Terdapat
kaitan yang sangat erat antara pendidikan dan filsafat. Filsafat mencoba merumuskan
citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan
citra itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat dan martabat manusia dan
masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan,
sementara di sisi lain, pendidikan
merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat dalam bidang pendidikan
berkaitan dengan kajian-kajian: (1) keberadaan dan kedudukan manusia sebagai
makhluk zon politicon, homo sapiens,
animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja &
La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (2) masyarakat dan kebudayaannya, (3)
keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran
dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar
mengalami growth in learning dan becoming process.
Dengan
belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah tidak
mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan adalah untuk dapat
hidup sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan untuk hidup. Orang belajar
dari hidupnya, bahkan kehidupan itu adalah pendidikan bagi setiap orang.
Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham
konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri oleh individu
berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan
masyarakat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yang membangun pengetahuannya,
sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan mediator yang dinamis.
Unsur
kebebasan memegang peranan penting dalam proses pendidikan (Brook & Brook,
1993). Fungsi pendidikan adalah membina pribadi-pribadi yang bebas merumuskan
pendapat dan menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu
yang diinginkan adalah individu yang kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir
produktif.
Aliran
kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa kini sebagai suatu upaya untuk
merekonstruksi masyarakat mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya (Tilaar,
2000). Masalah-masalah tersebut seperti identitas bangsa, benturan kebudayan,
preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata masyarakat
berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal berdasarkan budaya lokal yang
berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan global. Nilai-nilai budaya
seperti itu adalah Trikonsentris, kovergensi, dan kontinuitas dari Ki Hadjar
Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).
Landasan Sosiologis. Kajian
sosiologi pendidikan pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan, baik
pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang
termasuk salah satu pendidikan luar sekolah merupakan lembaga sosial pertama
bagi setiap manusia. Proses sosialisasi akan dimulai dari keluarga, di mana
anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama,
nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.RI.No.2/1989, pasal 10 ayat 4).
Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan sikap yang dapat mempengaruhi
perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi keluarga, pola hubungan orang
tua dengan anak dalam keluarga, komposisi keanggotaan dalam keluarga,
keberadaan orang tua, dan perbedaan kelas sosial keluarga berpengaruh terhadap
perkembangan anak (Mudyahardjo et.al
1992).
Proses
pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh berbagai kelompok sosial dalam
masyarakat, seperti kelompok keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi
pramuka. Terdapat satu kelompok khusus yang datangnya bukan dari orang dewasa,
tetapi dari anak-anak lain yang hampir seusia, yang disebut kelompok sebaya.
Kelompok sebaya merupakan agen sosialisasi yang mempunyai pengaruh kuat searah
dengan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai
lembaga sosial, kelompok sebaya tidak mempunyai struktur yang jelas dan tidak
permanen. Tetapi kelompok sebaya dapat menciptakan solidaritas yang sangat kuat
di antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang dapat disumbangkan oleh
kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok
sebaya dapat memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan,
memberikan jalan untuk lebih independen, menumbuhkan sikap kerja sama, dan
membuka horizon anak menjadi lebih luas.
Di sisi lain,
yang tidak kalah pentingnya, adalah pengaruh pendidikan terhadap masyarakat.
Penekanan pada sosialisasi, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak untuk
hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan penekanan pada agen pembaharuan, tujuan
pendidikan adalah mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui masyarakat.
Pendidikan yang dilaksanakan pada umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu
kutub penekanan tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian
dan pengembangan.
Pendidikan dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan,
harus didukung oleh sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga ia dapat
berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi dari
prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yang dipikul oleh pengembang
dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu
pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan
terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional kepada
masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan
permasalahan sosial.
Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan merupakan
kekuatan yang akan memberikan keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran
yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan harus bersikap ilmiah, yaitu bersikap
obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam
memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi masyarakat.
Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya tidak selalu terbaik dan juga tidak
terburuk bagi masyarakat, namun gagasannya harus siap memenuhi kebutuhan
masyarakat. Ketika gagasan tersebut gagal menunjukkan keunggulannya, dalam
artian akan terjadi konflik antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka harus
dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan peran sikap
ilmiahnnya.
Landasan Kultural. Pendidikan
selalu terkait dengan manusia, sedangkan setiap manusia selalu menjadi anggota
masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Kebudayaan dan pendidikan
mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dikembangkan dan
dilestarikan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi
penerus melalui pendidikan, baik secara informal maupun formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, dan
pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan oleh kebudayaan masyarakat di mana
proses pendidikan itu berlangsung.
Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-norma,
nilai-nilai, kepercayaan, tingkah laku, dan teknologi yang dipelajari dan
dimiliki oleh semua anggota masyarakat tertentu. Kebudayaan dalam arti luas
dapat berwujud (1) ide, gagasan, nilai; (2) prilaku manusia dalam masyarakat;
(3) benda hasil karya manusia. Kebudayaan baik dalam wujud ide, prilaku, dan
teknologi tersebut dapat dibentuk, dilestarikan, dan dikembangkan melalui
proses pendidikan.
Cara untuk mewariskan kebudayaan, mengajarkan
tingkah laku kepada generasi baru, berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Ada
tiga cara umum yang dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi dalam
keluarga), nonformal (terjadi dalam masyarakat, dan formal (terjadi dalam
lembaga-lembaga pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang untuk
mengarahkan perkembangan tingkah laku anak didik. Masyarakat memegang peranan
dalam mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus.
Masyarakat juga berusaha melakukan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan
kondisi baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nilai-nilai, norma-norma
baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju
pola tingkah laku, nilai-nilai, dan norma-norma tersebut merupakan transformasi
kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan
transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan
keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial mempunyai peranan yang sangat penting,
sebab pendidikan tidak hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan kepada generasi
penerus, tetapi juga mentransformasikannya agar sesuai dengan perkembangan
zaman.
Landasan Psikologis. Pendidikan
selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah
satu landasan yang penting dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan
psikologis pendidikan tertuju pada pemahaman manusia, khususnya tentang proses
perkembangan dan proses belajar. Terdapat tiga pandangan tentang hakikat manusia, yaitu strategi disposisional yang
memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, dan strategi
fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi
behavioral memandang manusia sebagai makhluk pasif yang bergantung kepada
lingkungan, strategi fenomenologis memandang manusia sebagai makhluk aktif yang
mampu bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan
tentang hakikat manusia tersebut berdampak dalam pandangan tentang pendidikan.
Pemahaman
peserta didik, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan
salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu memiliki bakat, kemampuan,
minat, kekuatan, serta tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama
lain. Implikasinya, pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap
peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan berbagai
aspek kejiwaan antar peserta didik, bukan hanya berkaitan dengan kecerdasan dan
bakat, tetapi juga perbedaan pengalaman dan tingkat perkembangan, perbedaan
aspirasi dan cita-cita, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian
psikologi pendidikan yang erat kaitannya dengan pendidikan adalah yang
berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan
kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi oleh kemampun potensial. Namun,
kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan
dalam situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses
perubahan, baik karena pertumbuhan maupun karena perkembangan. Pertumbuhan
terjadi sebagai akibat faktor internal sebagai akibat kematangan dan proses
pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi karena pengaruh
lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga,
masyarakat, pramuka, dan media masa (Dimyati, 2000, 2001).
Landasan Ilmiah dan Teknologi.
Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yang sangat erat.
Iptek menjadi bagian utama isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat
penting dalam pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap
perkembangan iptek harus segera diakomodasi oleh pendidikan, yakni dengan
segera memasukkan hasil pengembangan iptek ke dalam isi bahan pelajaran.
Sebaliknya, pendidikan sangat dipengaruhi oleh cabang-cabang iptek, utamanya
ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring dengan kemajuan
iptek pada umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yang pesat;
demikian pula dengan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang mengkaji
pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tersebut menyebabkan tersedianya
informasi empiris yang cepat dan tepat, dan pada gilirannya, diterjemahkan
menjadi program, alat, dan/atau prosedur kerja yang akan bermuara pada kemajuan
teknologi pendidikan.
Dengan
perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks, maka
pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di
sisi lain, pendidikan formal telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi
suatu lingkup kegiatan yang luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan
kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan
pengelolaan, haruslah dilakukan dengan pemanfaatan iptek. Oleh karena kebutuhan
pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu harus
segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan, dan atau kemajuan ilmu
harus segera dimanfaatkan oleh
penyelenggara pendidikan tersebut.
4. Orientasi
pada Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas
pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan
berpikir, baik pada tahap perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan. Salah satu
dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu dapat dididik dan mendidik diri
sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya dan sangat tergantung pada orang
lain. Namun, ia memiliki potensi yang hampir tanpa batas untuk dikembangkan
melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik dari
kecenderungan umum pendidikan di dunia maupun yang bersumber dari pemikiran dan
pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas
pendidikan di Indonesia yang sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa
kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang
hayat, dan asas kemandirian dalam belajar.
Asas Tut Wuri Handayani. Asas
tut wuri handayani merupakan inti dari asas pertama dari tujuh asas (Asas 1922)
Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada tanggal 3 Juli 1922 Tirtarahardja
& La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang
berhak untuk mengatur dirinya dengan mengingat tertibnya persatuan dalam
perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh
Taman Siswa adalah kehidupan yang tertib dan damai. Kehidupan tertib dan damai
hendaknya dicapai menurut dasar kodrat alam sebagai sifat lahir dan manifestasi
kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengganti sistem pendidikan
cara lama yang menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman dengan sistem khas
Taman Siswa, yang didasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir
“sistem among”, di mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai
pemimpin yang berdiri di belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”,
yaitu tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk
berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa.
Pamong hanya wajib menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak
serta hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak
apabila mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai rintangan
atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara
pendidikan yang dipakai dalam sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada
guru supaya mengingatkan dan mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan
tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.
Dua semboyan
lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari Tut Wuri Handayani, pada
hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidak ada unsur
perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yang dapat mengurangi
kebebasan anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain,
pendidik setiap saat siap memberi uluran tangan apabila diperlukan oleh anak.
“Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun pertimbangan
guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau
ragu-ragu untuk mengambil keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan
untuk memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut sebagai satu kesatuan asas
telah menjadi asas penting dalam pendidikan di Indonesia.
Asas Belajar Sepanjang Hayat.
Asas belajar sepanjang hayat (life long
learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur
hidup (life long education).
Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yang memiliki makna baru dari
ide lama, tetapi secara universal definisi yang dapat diterima adalah sulit.
Oleh karena itu, UNESCO Institute for Education menetapkan suatu definisi kerja
yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang (1) meliputi seluruh hidup
setiap individu, (2) mengarah kepada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan
penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat
meningkatkan kondisi hidupnya, (3) tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran
diri (self fulfilment) setiap
individu, (4) meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri, (5)
mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi,
termasuk yang formal, non-formal, dan informal.
Istilah
“pendidikan seumur hidup” erat kaitannya dan memiliki makna yang sama dengan
istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua istilah ini tidak dapat dipisahkan,
tetapi dapat dibedakan. Penekanan istilah “belajar” adalah perubahan
pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan istilah
“pendidikan” menekankan pada usaha sadar dan sitematis untuk menciptakan suatu
lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan
efektif, atau lingkungan yang membelajarkan subjek didik. Dalam latar
pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah seyogyanya
mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta didik dengan
efisien dan efektif; dan meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar mandiri
sebagai basis dari belajar sepanjang hayat.
Kurikulum
yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan
diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan
horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah meliputi tidak saja keterkaitan
dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan, tetapi juga terkait dengan
kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum
vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi peserta didik untuk dapat bersaing
di era global, maka dimensi tersebut hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan
hidup (life skills).
Indikator-indikator life skills adalah integrity,
initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort,
common sense, problem-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity,
cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman
belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. Rancangan dan
implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan
peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan
dan kemauan menggunakan sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi
peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yang mempunyai warga
yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society), yang akan bermuara
pada terwujudnya pendidikan seumur hidup seperti yang tercermin dalam sistem
pendidikan nasional.
Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas
kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yang sangat erat dengan asas Tut Wuri
Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung
makna bahwa belajar merupakan kebutuhan yang mucul dari dalam diri sendiri
sehingga cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain.
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran
utama sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, guru diharapkan
menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar sedemikian rupa sehingga
memudahkan peserta didik berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai
motivator, guru mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk
memanfaatkan sumber belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang
dapat menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain
cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pengajaran
berprogram. Strategi-strategi belajar
tersebut dapat terlaksana apabila lembaga pendidikan, utamanya sekolah,
didukung oleh bahan pustaka yang memadai
dan pusat sumber belajar (PSB).
5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan
Indonesia
Mengacu kepada deskripsi masyarakat
Indonesia di masa kini dan di masa yang akan datang, dapat diajukan gagasan
bahwa untuk mencapai masyarakat yang menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak
pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju paradigma
pendidikan yang berakar pada pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi
pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi
dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal dan universal.
Nilai-nilai lokal dan universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat
memenuhi harapan dan kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia untuk
tetap survive dalam kehidupan global
dan untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas kebudayaan sendiri.
Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi khas masyarakat
Indonesia yang perlu dikembangkan dalam kerangka untuk menetapkan identitas
bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang ada dan diakui
oleh sebagian besar penduduk dunia dapat diterima sebagai suatu kebenaran
melalui proses akulturasi dan trasformasi dengan kebudayaan asli di Indonesia.
Dalam rangka mengatasi
kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis dan behavioristik, sistem pendidikan
hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga
pilar utama pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak.
Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu kreatif mandiri, dan
mengembangkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan
untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan
masyarakat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat
industri. Ketiga, konsep eksperimentasi dalam pendidikan. Konsep ini akan
mengembangkan kemapuan anak untuk berpikir rasional, kritis, penarikan
kesimpulan berdasarkan pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini
dapat dijembatani melalui penerapan inquiry-based
learning, problem solving, problem
based learning, project based
learning, cooperative learning,
conceptual change instruction.
Penerimaan nilai-nilai
asing dalam pendidikan Indonesia hendaknya berdasarkan pada prinsip seleksi
asimilasi dengan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi
tersebut, terjadi proses dialektika dengan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir,
proses dialektika tersebut akan menghasilkan sintesis berupa konvergensi nilai
asing dan nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yang
bersifat global dapat disandingkan dengan nilai-nilai ke Indonesiaan yang
menunjukkan identitas unik bangsa Indonesia. Demikian pula konsep progresif
tentang fungsi pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial seharusnya
disesuaikan dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif
itu dapat dipertemukan dengan konsep tri pusat pendidikan Ki hajar Dewantara:
keluarga, sekolah, masyarakat, dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga
pramuka dan media massa.
Untuk mengantisipasi tidak
terjadinya konflik global antarbudaya, maka diperlukan paradigma pendidikan
antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan
generasi-generasi baru yang tidak terkungkung oleh perspektif nasional, rasial,
etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif
tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan
realitas-realitas dan tuntutan internasional sekaligus global. Pendidikan antar
budaya dapat berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing,
studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yang cukup
penting diajarkan di sekolah dan di perguruan tinggi. Di samping itu, program
pertukaran siswa, mahasiswa, ilmuwan, artis, dan olahragawan juga merupakan
kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga merupakan sarana untuk
memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui berita, ulasan, feature, pandangan mata, dan sebagainya.
Demikian pula, buku-buku khususnya yang memuat pengetahuan tentang budaya
negara-negara bangsa lain, meliputi adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan
prilaku komunikasi mereka sangat penting dijadikan kurikulum.
Untuk membentuk
manusia-manusia antarbudaya tingkat nasional, paradigma pendidikan antarbudaya
diimplementasikan melalui usaha sebagai berikut. Pertama, penggunaan bahasa
nasional di forum-forum resmi: lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, kantor
swasta. Juga di forum-forum tidak resmi yang melibatkan lebih dari satu suku
bangsa, usaha yang sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah
yang berlebihan ke dalam bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam
itu merupakan gejala etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang
dari daerah lain. Kedua, sajian kebudayaan ditayangkan secara adil melalui
media elektronik, khususnya televisi, dan forum-forum internasional. Ketiga,
sosialisasi yang merata di lembaga-lembaga pendidikan dan kantor-kator
pemerintah dan swasta, dengan menerima siswa atau mahasiswa dan pegawai yang
cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, kontak antar suku melalui
pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dan dosen antar propinsi
paling tidak untuk satu periode tertentu. Kelima, perkawinan antarsuku
sepanjang orang-orang yang berbeda suku tersebut mempunyai kecocokan dalam
segi-segi penting, misalnya dalam agama. Keenam, pembangunan daerah yang merata
oleh pemerintah, dengan mencegah adanya kemungkinan daerah yang sebagian maju
dan sebagian lagi terlantar.
Untuk memajukan
popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model
pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan rakyat banyak seraya meningkatkan
mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga dan masya-rakat dalam
penyelenggaraan, investasi, dan evaluasi pendidikan, (3) meningkatkan investasi
pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui
program-program (1) mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas, (2)
menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (3)
menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar, (4)
menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi
pelaksanaan penyaluran bantuan, dan (5) meningkatkan
kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, sehingga dapat memotivasi
peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru dan tenaga
kependidikan lainnya tersebut juga harus diberikan peluang melalui
praktek-praktek penyegaran akademik, seperti penataran, kursus singkat, studi
banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.
Pendidikan Indonesia diharapkan juga memusatkan perhatian pada upaya
peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya adalah (1) menitikberatkan
pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional pada pemberdayaan
lembaga pendidikan dengan memberi otonomi yang luas, (2) mengembangkan sistem
pendidikan nasional yang terbuka bagi segenap dipersivitas yang ada di
Indonesia, (3) pembatasan program-program pendidikan nasional difokuskan pada
pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi paradigma tersebut dapat dilakukan
melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan
di daerah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara
berangsur-angsur memberikan otonomi seluas-luasnya pada lembaga pendidikan, (3)
melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap
seiring dengan persiapan sarana, SDM, dan dana yang memadai, baik tingkat
provinsi maupun kabupaten.
Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat menentukan
kualitas pendidikan dalam dunia semakin terbuka sekarang ini. Untuk
meningkatkan proliferasi pendidikan tersebut, paradigmanya adalah (1)
meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi program pelatihan,
media massa, dan media elektronika, (2) menjembatani dunia pendidikan dan dunia
kerja secara optimal dalam rangka menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat
dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi
lembaga-lembaga pelatihan di daerah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin
masyarakat, pemerintah daerah, dan dunia industri, (2) meningkatkan kuantitas
dan kualitas lembaga-lembaga pendidkan di daerah dalam rangka menahan arus
urbanisasi sekaligus meningkatkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama
yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia kerja.
Pendidikan
dan politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi
pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan
maupun politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam meningkatkan
peradaban manusia. Paradigmanya adalah (1) pendidikan nasional ikut serta dalam
mendidik manusia Indonesia sebagai insan politik yang demokratis, sadar akan
hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab, (2)
masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pendidikan. Secara operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui
program-program (1) menerapkan sistem merit dan profesionalisme dalam rangka
membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (2)
menegakkan disiplin serta tanggung jawab para pelaksana lembaga-lembaga pendidikan,
(3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.
Pendidikan dan kebudayaan
adalah suatu kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial
utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah maupun program-program pendidikan non
formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, maka
diperlukan paradigma pemberdayaan masyarakat lokal, universitas-universitas di
daerah, lembaga pemerintah di daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya
adalah sebagai berikut. Antara pemda kabupaten dan masyarakat di dalam
penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas
horizontal. Artinya, masyarakat dan pemda kedua-duanya bertanggung jawab
terhadap stake holder (masyarakat) yang memiliki
pendidikannya. Pemda wajib membantu masyarakat agar penyelenggaraan
pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas di daerah
memiliki hubungan konsultatif dengan masyarakat lokal dan pemda kabupaten.
Hubungan tersebut akan menciptakan peluang bagi universitas di daerah untuk
menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik di
kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.
Dalam memasuki era
globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang
berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi global. Paradigma
pengembangan kedua dimensi tersebut sangat penting dalam memasuki milenium
ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri dari unsur-unsur
akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja
sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi memiliki unsur-unsur kompetitif,
kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, mengembangkan dimensi lokal
berarti pula mengembangkan dimensi globalnya karena unsur kompetitif pada
dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi,
dan kualitas pada dimensi lokal.
6. Penutup
Lamanya zaman penjajahan
Belanda dan Jepang di Indonesia cukup memberikan pengaruh signifikan terhadap
mental para pemegang kebijakan di bidang pendidikan Indonesia. Mereka sulit
berubah dalam menentukan arah pendidikan untuk menuju pada sistem pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pendidikan dikembangkan lebih banyak
mengarah pada pencapaian tujuan pelestarian kekuasaan ketimbang upaya
memanusiakan manusia.
Paradigma lama pendidikan
Indonesia yang berkembang secara subur selama Orde Baru dampaknya masih sangat
dirasakan hingga sekarang. Dampak berlakunya paradigma lama tersebut adalah
tingkat keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah di Asia, jumlah
pengangguran semakin bertambah dari tahun ketahun, terabaikannya peranan
pendidikan informal yang justru menjadi sumber pengembangan pertama kreativitas
anak bangsa, pendidikan mengutamakan supply ketimbang demand,
sakralisasi ideologi nasional yang berakibat penjinakan terhadap critical
dan creative thinking, dan keterpurukan di bidang profesi bagi para
praktisi pendidikan. Oleh sebab itu, sangat diperlukan gagasan untuk menuju
paradigma baru pendidikan Indonesia di milineum ketiga ini.
Paradigma baru pendidikan Indonesia
berorientasi pada landasan dan azas pendidikan Indonesia. Lima landasan
pendidikan yang diacu adalah: landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan
kultural, landasan psikologis, dan landasan ilmiah dan teknologi. Sedangkan
asas pendidikan yang diacu adalah asas Tut Wuri Handayani, asas belajar
sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar. Landasan dan azas
pendidikan tersebut, diharapkan dapat melahirkan paradigma demokratisasi
pembelajaran, paradigma pendidikan antarbudaya tingkat internasional dan
nasional, paradigma polarisasi, sistematisasi, proliferasi sistem delivery,
politisasi pendidikan, dan paradigma pemberdayaan pendidikan berbasis
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Brooks,
J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In
search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia:
Association for Supervision and Curriculum Development.
Buchori, M. 2001. Pendidikan antisipatoris. Yogyakarta:
Kanisius.
Budhisantoso, S.
1989. Peranan perguruan tinggi dalam pengembangan kebudayaan yang didukung oleh
perkembangan ilmu dan teknologi.
dalam Sasmojo, S., dkk. (eds). Menerawang
masa depan ilmu pengetahuan, Teknologi & Seni. Bandung: ITB
Dimyati. 2001.
Akulturasi teknologi pendidikan dalam masyarakat Indonesia tansisional. Malang:
CV. Wineka Media.
Dimyati, M. 2000.
Demokratisasi belajar pada lembaga pendidikan dalam masyarakat Indonesia
transisional: Suatu analisis epistemologi ke Indonesiaan.
Freire, P. 1985. Pendidikan kaum tertindas, Jakarta: LP3S
Hanurawan, F. 2000.
Filsafat pendidikan demokrasi sebagai landasan pendidikan masyarakat Indonesia
Baru. Jurnal Ilmu Pendidikan, 27(2).
pp 117-127.
Kartini Kartono.
1997. Tinjauan politik mengenai sistem
pendidikan nasional: beberapa kritik dan sugesti. Jakarta: Pt. Pradnya
Paramita.
Koentjaraningrat.
1993. Masalah kesukubangsaan dan integrasi nasional. Jakarta: Universitas
Indonesia, Press.
Kuhn, Thomas S. 2002. The
structure of scientific revolution. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Longworth, N. 1999.
Making lifelong learning work: Learning
cities for a learning century. London: Kogan Page.
Mulyana, D., &
Rakhmat, J. 1996. Komunikasi antar
budaya: Panduan komunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: PT.
Remaja Kosdakarya.
Oetama, J., &
Widodo, J. 1990. Menuju masyarakat baru
Indonesia: Antisipasi terhadap tantangan abad XXI. Jakarta: Gramedia.
Parawansa, P. 2001.
Reorientasi terhadap strategi pendidikan nasional. Makalah. Disajikan dalam simposium pendidikan nasional dan munas I
alumni PPS.UM. di Malang, 13 Oktober 2001.
Redja
Mudyahardjo, Waini Rasyidin, dan Saleh Soegianto. 1992. Materi pokok dasar-dasar kependidikan. Modul 1-6. Jakarta: P2TK-PT
Depdikbud.
Reigeluth,
C. M. (Ed.). 1999. Instructional-design
theories and models: A new paradigm of instructional theory, volume II.
pp.51-68. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Suyanto, 2001.
Formula pendidikan nasional era global. Makalah.
Disajikan dalam simposium pendidikan nasional dan munas I alumni PPS.UM. di
Malang, 13 Oktober 2001.
Tilaar, H.A.R.
2000. Pendidikan, kebudayaan, dan
masyarakat madani Indonesia: Strategi reformasi pendidikan nasional.
Bandung: PT. Remaja Kosdakarya.
Tilaar, H.A.R.
2000. Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tirtarahardja, U.
& La Sula. 2000. Pengantar pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Van
Peursen, C.A. 2001. Strategi kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Watloly,
A. 2001. Tangung jawab pengetahuan: Mempertimbangkan epistemologi secara
kultural. Yogyakarta: Kanisius.