PERBANDINGAN KONDISI KEDAULATAN RAKYATPADA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI
A.
Orde Lama
Kurun waktu 1959-1965
Pada periode ini
sering juga disebut dengan Orde Lama. Undang-undang yang digunakan adalah UUD
1945 dengan sistem demokrasi terpimpin. Pengertian Demokrasi Terpimpin pada
sila keempat pancasila adalah dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, akan tetapi presiden menafsirkan “terpimpin”, yaitu
pimpinan terletak di tangan Pemipin Besar Revolusi.
Terjadinya pemusatan
kekuasaan di tangan Presiden menimbulkan penyimpangan dan penyelewengan
terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang puncaknya terjadinya perebutan kekuasaan
oleh PKI pada tanggal 30 September 1965 yang merupakan bencana besar bagi
bangsa Indonesia.
B.
Orde Baru
Orde Baru adalah
sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.
Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.
Pada masa Orde Baru,
DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali
dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal
ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Sejak tahun 1967,
warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde
Baru
- Sukses
transmigrasi
- Sukses KB
- Sukses
memerangi buta huruf
- Sukses
swasembada pangan
- Pengangguran
minimum
- Sukses
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- Sukses Gerakan
Wajib Belajar
- Sukses Gerakan
Nasional Orang-Tua Asuh
- Sukses
keamanan dalam negeri
- Investor asing
mau menanamkan modal di Indonesia
- Sukses
menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde
Baru
- Semaraknya
korupsi, kolusi, Nepotisme;
- Pembangunan
Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara
pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian
besar disedot ke pusat;
- Munculnya rasa
ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama
di Aceh dan Papua;
- Kecemburuan
antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya;
- Bertambahnya kesenjangan
sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin);
- Kritik
dibungkam dan oposisi diharamkan;
- Kebebasan pers
sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel;
- Penggunaan
kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius" (petrus);
- Tidak ada
rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya).
C.
Reformasi
- Berakhirnya
Masa Pemerintahan Orde baru
Keberhasilan
Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui
sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan
meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia.
Namun, keberhasilan
ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan
mental (character building) para
pelaksana pemerintahan (birokrat),
aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha/konglomerat). Klimaksnya, pada
pertengahan tahun 1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi
budaya (bagi penguasa, aparat dan penguasa).
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan
menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J.
Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden
Republik Indonesia yang baru di Istana Negara.[1]
Faktor
Penyebab Munculnya Reformasi
1) Ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum.
2) Orde Baru memegang tumpuk kekuasaan dalam mengendalikan
pemerintahan, berkeinginan untuk terus menerus mempertahankan kekuasaannya atau
status quo.
3) Penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila
dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru.
4) Rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR, dan
MPR
a.
Krisis Politik
Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok
tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945
Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut
dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah
diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat
berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
b.
Krisis Hukum
Masyarakat
menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan
masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.
c.
Krisis Ekonomi
Utang luar negeri
Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun,
utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi
sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara
hingga 6 Februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang
pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.
Penyimpangan Pasal
33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik
Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di
masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan
tingkat pendidikan yang masih rendah.
Sementara itu,
pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang
dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa
dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah
pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi
yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi
kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli,
oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang
dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam
pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa
dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.
d.
Krisis Kepercayaan
Demonstrasi dilakukan
oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan
harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi para
mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi
mahasiswa yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah
tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri
Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan. Tragedi Trisakti itu telah
mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan masyarakat yang
menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak
merakyat.
Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi
dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan.
Tuntutan
Reformasi :
·
Untuk
dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam MPR
yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
·
Tetapi
masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupan masyarakat, maupun
pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan
bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat
pada perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau
memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh
pemerintah.
·
Masyarakat
juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan masa jabatan Presiden.
·
Agar
dilakukan pembaharuan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap
menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya :
·
UU No.
1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
·
UU No.
2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR
·
UU No.
3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
·
UU No.
5 Tahun 1985 tentang Referendum
·
UU No.
8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Perkembangan
ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah menimbulkan ketimpangan ekonomi
yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi,
tidak mempu menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kondisi dan situasi Politik di tanah air semakin memanas setelah terjadinya
peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul sebagai akibat
terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Krisis politik
sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, bukan hanya
menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi.
D.
Perbandingan Kondisi Kedaulatan Rakyat Pada Orde Lama,
Orde Baru dan Reformasi
- Pada Masa Orde Lama kedaulatan rakyat masih kuat
tetapi kekuatan penuh di pegang oleh presiden (Presidensil).
- Pada Masa Orde Baru Kedaulatan Rakyat sangatlah
terkekang atau tereksploitasi atau terpenjara karena sistem negara pada
Orde baru disebut dengan N.O. B. (Negara Otoriter Birokrasi).
- Pada Orde Reformasi Kedaulatan Rakyat dan peran
demokrasi terbuka lebar untuk masyarakat tetapi ada hal-hal yang paling
substansial tidak berubah dalam artian sistem negara belum berubah,
aparaturnya saja yang berubah. (Sistem negara yang dimaksud adalah sosial,
ekonomi dan politik).
HUBUNGAN
ANTARA NEGARA DAN MASYARAKAT DALAM DEMOKRASI
Negara,
Masyarakat Sipil dan Demokrasi
A. Pengertian Negara, Masyarakat dan Demokrasi
o
Negara adalah lembaga yang mengabdikan diri pada
kepentingan yang berkuasa.
o
Masyarakat adalah sekelompok orang atau individu
yang menetap di suatu tempat.
o
Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat ; (Kedaulatan di tangan rakyat).
Satu teori dominan tentang demokrasi yang jamak diterima
dalam wacana demokrasi Barat adalah teori yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl.
Menurut Dahl, karakteristik inti dari demokrasi memuat tiga hal. Pertama, adanya persaingan yang sehat
untuk meraih posisi-posisi dalam pemerintahan; kedua, partisipasi warganegara dalam memilih para pemimpin politik dan;
ketiga, terselenggaranya kebebasan
sipil dan politik, termasuk terjaminnya hak-hak asasi manusia.
Zinecker memberikan lima kriteria untuk membangun apa
yang disebutnya model demokrasi/otoritarian dan non-demokrasi/non-otoritarian.
Agar sebuah rezim disebut (tidak) demokratis, ia harus memiliki lima hal: Pertama,
pemerintahan (non-) sipil. Hal ini untuk menggusur pemerintahan militer dan
menegakkan supremasi sipil atas militer. Kedua, (non-) poliarki. Ia
berfungsi untuk meluruhkan kemungkinan otoritarian dari rezim berpemerintahan
sipil dengan menegakkan suatu rezim demokratis-representatif. Versi
non-demokratis dari dua segmen pertama ini, pemerintahan non-sipil dan
non-poliarki, bisa menggiring pada tampilnya rezim otoritarian. Tapi, tiga
segmen sisanya berikut ini dalam versi non-demokratisnya tidak serta merta
merefleksikan otoritarianisme, namun mungkin menjadi basis bagi suatu bentuk
non-otoritarian dari sebuah rezim non-demokratis. Ketiga, (tidak) adanya
aturan hukum (rule of law). Ini membedakan rezim liberal dan
non-liberal. Keempat, ke(bi)adaban ([non-] civility). Penghapusan
kekerasan yang dilakukan segmen non-negara dari sebuah rezim dengan menegakkan
legitimasi monopoli negara atas penggunaan kekuatan dan kekerasan. Kelima,
eksklusi/inklusi politik. Penghapusan segmen rezim yang memiliki watak politik
eksklusif agar terbuka partisipasi yang tak terbatas dan tanpa kekerasan dari
semua kekuatan politik. Singkatnya, adanya sebuah rezim demokratis-parsipatoris
dan masyarakat sipil yang otonom.
Yang menarik dari kajian Zinecker adalah analisisnya
tentang civil society. Rezim politik menyangkut gaya pemerintahan. Ia
tidak identik dengan negara; ia bahkan melampaui negara. Maka, kajian tentang
rezim tidak hanya menyangkut kajian tentang relasi antar-institusi negara,
namun juga menelaah hubungan antara negara dan masyarakat sipil dan, di sisi
lain, hubungan di antara warga negara aktif secara politik namun hidup tanpa
bergantung pada negara. Agar pemerintahan berjalan efektif, sebuah rezim harus
memiliki jangkauan pada masyarakat sipil. Bagi Zinecker, tidak ada pemerintahan
yang efektif jika dalam masyarakat sipilnya masih terdapat aktor-aktor yang
bisa memveto kekerasan. Dalam rezim non-otoritarian, tindak kekerasan terbesar
muncul dari aktor-aktor non-negara yang berada di dalam masyarakat sipil.
Keadaban sebuah rezim politik dengan demikian bertumpu pada keadaban masyarakat
sipil. Demokrasi yang berlangsung pada level negara tidak selalu berjalan
seiring dengan demokrasi pada tingkat masyarakat sipil. Zinecker ingin
meluruhkan teori-teori yang selalu melihat masyarakat sipil secara normatif dan
mengabaikan telaah yang lebih analitis. Ia ingin melihat masyarakat sipil dari
dalam dirinya sendiri, bukan dari luar. Selama ini terdapat pemisahan antara
negara yang politis dan masyarakat sipil yang non-politis. Negara yang politis
cenderung “buruk” atau tidak beradab (uncivilized) dan masyarakat sipil
terkesan “baik” atau beradab (civilized).
Bagi Zinecker, masyarakat sipil adalah semua struktur dan asosiasi yang
dibentuk oleh aktor-aktor yang mengisi ruang societal antara keluarga, ekonomi
dan negara. Masyarakat sipil bersifat politis dan merupakan bagian dari rezim
politik. Ia bisa mencakup segmen demokratis dan non-demokratis, beradab dan
biadab sekaligus. Masyarakat sipil yang demokratis adalah pula yang beradab (civilized), namun masyarakat sipil
yang beradab tidak mesti demokratis.
Terkait dengan kriteria ketiga, adanya supremasi hukum,
pada tarap permukaan nampak berjalan. Tapi, penegakan hukum lebih mirip sebagai
sebuah etalase politik daripada sebuah kinerja mandiri dan terlembaga yang
dilakukan oleh para penegak hukum. Beberapa kasus besar yang ditangani para
penegak hukum saat ini, misalnya, lebih banyak menjerat para elite penguasa
lama yang notabene sekarang menjadi kekuatan oposisi. Beberapa orang yang
terindikasi kasus pelanggaran hukum tertentu, namun berhasil merapat ke
kekuasaan terjamin “keselamatan” mereka. Model penegakan hukum semacam itu
hanya semakin membuat orang mengembangkan taktik-taktik baru pelanggaran hukum.
Jika dahulu, misalnya, budaya korupsi menghuni ranah ketaksadaran, sekarang ia
telah menjadi bagian dari praktik kebudayaan yang dilakukan secara sadar. Ia
muncul dalam kesadaran ganda aparat birokrasi; sebagai aparatus negara modern
dan kuasi aristokrat. Karakter beambtenstaat warisan kolonial memang
masih menyisakan persoalan (bdk. Sutherland dalam Kayam, 1989). Bagi
para penyelenggara pemerintahan yang berpenghasilan paspasan namun
berpenampilan selaksa aristokrat, korupsi adalah cara produksi alternatif dan
spekulatif. Selain itu, adanya supremasi hukum di sini lebih banyak
berimplikasi pada rapuhnya kuasa negara, terutama, dalam mengontrol persaingan
ekonomi. Selain karena perilaku koruptif aparat, para pengusaha kaya juga selalu
menyewa pengacara papan atas yang mampu menyiasati tafsiran pasal-pasal
sehingga meloloskan mereka dari jerat hukum.
Kriteria keempat menyangkut keadaban sebuah rezim. Sebuah
rezim disebut beradab manakala terjadi perpaduan antara civilized state
dan civilized civil society. Negara beradab ketika ia memiliki
legitimasi atas monopoli penggunaan kekuatan dan kekerasan. Secara hukum TNI
dan Polri memiliki legitimasi itu. Persoalan terjadi para ranah masyarakat
sipil. Di beberapa tempat masih terdapat unsur-unsur dari masyarakat sipil yang
gemar memobilisasi kekuatan melakukan razia bahkan penghakiman sepihak tanpa
aparat mampu mencegahnya. Kehadiran laskar-laskar yang seringkali
mengatasnamakan agama tertentu dan melakukan aksi-aksi sepihak masih menjadi pemandangan
yang menonjol baik di pusat maupun terutama di daerah-daerah
Penting dicatat, jalan demokrasi, selain pilihan, adalah
juga prasyarat yang diberikan untuk mengakhiri krisis ekonomi. Indonesia
sejatinya tengah mengulang kembali sejarah negara-negara Afrika dan Amerika
Latin di awal 1990-an yang menempuh transisi demokrasi mereka melalui program
penyehatan ekonomi. Dalam paket resep itu, demokratisasi memang menjadi
prasyarat utama yang digariskan oleh lembaga-lembaga tersebut. Demokratisasi,
dalam hal ini, menyangkut pemenuhan prosedur-prosedur penyelenggaraan kekuasaan
tertentu; mulai dari pemilu demokratis hingga good governance (Pada
puncaknya, demokratisasi dimuarakan pada liberalisasi; the best government
is the least government. Partisipasi publik dibuka lebar-lebar dengan
menekan intervensi negara pada batas minimal; dunia usaha harus dibangkitkan
kembali dengan menyemarakkan pasar investasi; beberapa perusahaan negara perlu
disehatkan dengan melakukan privatisasi dan; aturan hukum dibuat secara ketat
untuk menjamin persaingan ekonomi yang sehat.
Demokratisasi dalam konteks itu bagi sebagian besar
organisasi masyarakat sipil di Indonesia memiliki dilema tersendiri. Di satu
sisi, ia adalah sebuah keharusan sejarah, namun di sisi lain, ia tidak diharapkan
karena berkembang melalui intervensi asing. Namun, terlepas dari semua
perdebatan tentang liberalisasi, masyarakat sipil-pun “dipaksa” untuk
menempatkan diri dalam arus liberalisasi yang berlangsung. (Diper)lemahnya
peran negara secara otomatis membuat masyarakat sipil mereguk keuntungan
tersendiri. Di satu sisi, lembaga-lembaga donor asing lebih melirik mereka
daripada negara. Di sisi lain, negara juga membutuhkan mereka demi mengais
legitimasi dan menyewa tenaga professional mereka. Kucuran donor asing semakin
melimpah ruah dan proyek pemerintah pun tak pernah sepi. Organisasi masyarakat
sipil inipun bahkan melakukan hal-hal yang semestinya menjadi tugas negara;
mulai penghitungan hasil pemilu hingga pengentasan kemiskinan. Merekapun juga
mengambil alih banyak tugas-tugas legislatif dan yudikatif; mulai pengawasan
kinerja pemerintah hingga investigasi kasus-kasus korupsi.
Di sini, kemudian muncul persoalan tentang keadaban (civility)
dan kewarganegaraan (civic) yang memberi karakter bagi masyarakat sipil.
Keadaban tidak lagi sekadar menyangkut isu-isu kekerasan, namun juga isu
kemandirian; sementara kewarganegaraan menyangkut tanggung jawab politis
sebagai warganegara. Kedua isu saling bertautan satu sama lain. Kemandirian
terhadap negara tidak lantas digantikan pada ketergantungan pada yang lain
sehingga mengikis tanggung jawab kewarganegaraannya. Dan, organisasi masyarakat
sipil di negeri ini, terbukti dihimpit oleh tekanan negara dan swasta. Secara
ekonomi, organisasi masyarakat sipil tersebut adalah organisasi pemburu rente;
mereka bergantung pada donor mana yang bersedia menerima program-program mereka
atau memberikan proyek-proyek baru bagi mereka. Namun, secara politis, ada empat posisi yang jamak dipilih.
Pertama, berkolaborasi dan menerima proyek-proyek pemerintah secara total.
Kedua, menghindari kerjasama dengan negara dengan lebih membuka diri pada
swasta. Ketiga, menolak kerja sama dengan negara maupun dengan pihak swasta
tertentu, semisal lembaga donor internasional atau perusahaan industri berat.
Keempat, menerima kerja sama dari manapun secara professional tanpa harus
terikat. Pada umumnya, ormas dan NGO memilih posisi keempat. Dan, pada posisi
ini, berbagai ideologi dan idealisme diperdebatkan, ditata ulang bahkan
ditransgresikan.
Namun persoalan-persoalan di atas tidak selalu bekerja
dalam aras logika tunggal, ia bersifat sangat kompleks. Dan, masyarakat sipil selalu
menyiasatinya. Sebagaimana pasar yang bekerja mencapai tujuannya sendiri,
masyarakat sipil inipun pada akhirnya berkembang menggapai identitasnya
sendiri.
Relasi
Negara dan Masyarakat Sipil dalam Demokrasi
·
Negara
dan demokrasi bisa berjalan, kalau negara dan masyarakat sipil harus sama-sama
kuat. (masyarakat sipil yang dimaksud adalah good society atau ideal society),
artinya tatanan masyarakat yang ideal.
·
Andaikan
negara dan masyarakat tidak sama-sama kuat maka itu disebut dengan demokrasi
beku.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa :
1. Pada masa Orde Lama Kekuasaan penuh di tangan Presiden
(Presidensil)
2. Pada masa Orde Baru Kedaulatan Rakyat sangatlah
terkekang, terpenjara atau tereksploitasi karena sistem negara pada saat Orde
Baru adalah Negara Otoriter Birokrasi (N. O. B).
3. Pada masa Reformasi kedaulatan rakyat dan peran demokrasi
terbuka lebar untuk masyarakat tetapi ada hal-hal yang substansial tidak
berubah. Artinya sistem negara belum berubah, aparaturnya saja yang berubah.
(Sistem negara yang dimaksud adalah sosial, ekonomi, dan politik).
4. “Kebebasan” pada masa reformasi sering disalah-artikan
sehingga menimbulkan konflik yang tidak berujung.
5. Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di
jajaran pemerintahan. Pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang
mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi
atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
6. Negara dan Demokrasi bisa berjalan kalau negara dan
masyarakat sipil harus sama-sama kuat, jika negara dan masyarakat tidak
sama-sama kuat maka itu disebut dengan demokrasi beku.
B.
Saran
“kebudayaan
politik” yang lahir dari “politik
kebudayaan”, atau dalam arti tertentu katakanlah “kebudayaan kekuasaan” dan
yang pada gilirannya hingga ke tingkat
paling subtil tapi substansial melahirkan “kekuasaan kebudayaan”. Baik
dalam pengertian kekuasaan sebagai kebudayaan maupun kebudayan sebagai
kekuasaan.
Untuk itu, tentu kita harus terus berharap akan ada
perubahan. Melihat realitas politik yang ada, tidak ada lain selain berharap
kepada kekuatan-kekuatan yang dulu penyangga Orde Baru tidak akan mengulangi
kesalahan-kesalahan di masa lalu. Semoga orde yang akan datang adalah orde baru
dalam pengertian yang sebenarnya, orde yang akan membawa pembaharuan.