MAKALAH
PENDIDIKAN
MENURUT KI HAJAR DEWANTARA
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
Penididikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat
umum bagi setiap manusia dimuka bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala
kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek dari
penerapan pendidikan. Pendidikan
diambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik
berarti memlihara atau memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Dari pengertian ini didapat beberapa hal yang berhubungan dengan Pendidikan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu usaha
manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada
hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan manusia itu sendiri. Dalam penididkan
terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah
pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi
dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan terjadi
interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan.
Menurut wadah yang menyelenggarakan pendidikan, pendidikan dapat
dibedakan menjadi pendidikan formal, informal dan nonformal.
B.
JENIS PENDIDIKAN
Pendidikan formal adalah segala bentuk pendidikan atau
pelatihan yang diberikan secara terorganisasi dan berjenjang, baik bersifat
umum maupun bersifat khusus. Contohnya adalah pendidikan SD, SMP, SMA dan
perguruan tinggi negeri ataupun swasta. Pendidikan Informal dalah jenis
pendidikan atau pelatihan yang terdapat di dalam keluarga atau masyarkat yang
diselenggarakan tanpa ada organisasi tertentu(bukan organisasi). Pendidkan
nonformal adalah segala bentuk pendidikan yan diberikan secara terorganisasi
tetapi diluar wadah pendidikan formal.
Melihat dari berbagai aspek pendidikan yang ada saat ini, baik formal maupun non-formal bahwa betapa pentingnya hidup dengan pendidikan seperti yang
ada di kota maupun di desa mulai mengalami pergeseran nilai, norma serta adat istiadat yang tidak lagi dihiraukan oleh banyak orang apa yang menjadi acuan dasar yang
seharusnya di lewati oleh seorang anak didik sejak kecil. Mungkin kita perlu
kembali pada pedoman pendidikan yang telah dirumuskan oleh tokoh pendidikan
kita yakni KI Hajar Dewantara. Setiap indifidu merasa kehidupannya
berubah, baik ekonomi maupun status sosialnya.
BAB II
PENGERTIAN PENDIDIKAN MENURUT
KI HAJAR
DEWANTARA
(Pengertian Pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara) – Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia, 1889 – 1959) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: “Pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan
bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan
masyarakatnya”.
John Stuart Mill (filosof Inggris, 1806-1873 M)
menjabarkan bahwa Pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh
seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk dia, dengan
tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan.
Pendidikan, menurut H. Horne, adalah proses
yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk
manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar
kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional
dan kemanusiaan dari manusia.
John Dewey, mengemukakan bahwa pendidikan
adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi
di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin
pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan
kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari
orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup. http://www.diwarta.com/pengertian-pendidikan-menurut-ki-hajar-dewantara/773/
Pada makalah ini, akan dikaji
hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan pemikiran KI Hajar Dewantara
yang diselenggarakan di Indonesia termasuk filsafat pendidikan, konsep
dasar pendidikan, aplikasi dan peranan pendidikan menurut pemikiran KI Hajar
Dewantara (Bapak pendidikan Indonesia).
BAB III
FILSAFAT PENDIDIKAN MENURUT
KI DEWAN TARA
Karna
pendidkan bagi setiap orang sangat penting unutk menjadi orang yang berakhlak
mulia, bijaksana serta menjadi pemimpin yang membawa bangsa ini menjadi lebih
baik. Seorang yang menjadi pemimpin sebaiknya memahami arti dari filosofi
pendidikan itu sendiri. Karna tanpa pendidikan seseorang tidak bisa menjadi
seorang pengajar atau pemimpin. Maka erat hubunganya dengan filosofi pendidikan
menurut Bapak pendidikan kita sebagai berikut:
1. ING NGARSO SUNG TULODHO:
Seseoraang Pemimpin apabila didepan
harus bisa memberi contoh atau menjadi panutan bagi yang dpimpin atau warganya
atau peserta didiknya. Di sini kita diajak agar selalu memperhatikan di belakangnya jika sudah
memiliki kekuatan. Aplikasinya bisa dalam keluarga, sekolah, masyarakat. Dan
bahkan bagi yang duduk dalam bidang pemerintahan selalu memperhatikan rakyanya
yang tertinggal tanpa mementingkan kepentingan sendiri. Demikian juga di bidang
pendidikan agar melihat anak-anak yang kurang mampu akan di beri tunjangan
dengan memberi kesempatan untuk duduk di bangku sekolah.
2. ING MADYO MANGUN KARSO:
Seorang Pemimpin apabila berada ditengah
tengah masyarakat harus bisa membangkitkan semangat atau memberi motivasi
supaya lebih maju, atau lebih baik. Dalam hal ini kita sebagai masyarakat yang menjadi pusat
pendorong setiap kita yang sedang maju tanpa menjatuhkan tetapi memberi
dukungan morill atau materi jika ada. Karna seorang pemimpin yang maju tidak
akan lupa kepada kita yang telah menjadi suadaranya saat dia mendapat dukungan
dari sahabatnya.
3. TUT WURI HANDAYANI:
Seorang Pemimpin apabila berada dibelakang
harus bisa mendorong masyarakat/yang dipimpin supaya senantiasa lebih maju.
Berbicara pemimpin yang berada di belakang, sebaiknya tidak melihat siapa yang
akan didorongnya. Memberi dukungan bagi sesama tanpa memandang berbagai bentuk
perbedaan suku, bahasa, budaya, pendidikan maupun kehidupan dalam status
sosialnya dalam bermasyarakat. http://yahyono69.wordpress.com/2011/05/09/filsafat-pendidikan-dari-ki-hajar-dewantara/
Sebagai bahan acuan lain juga
yang penting kita lihat agar menjadi bahan perbandingan yang sudah di ungkapkan
oleh KI Hajar Dewantara ialah pendidikan di Indonesia.
Pendidikan Indonesia adalah segala macam
bentuk masalah yang dihadapi oleh program-program pendidikan di negara
Indonesia. Seperti yang diketahui dalam TAP MPR RI No. II/MPR/1993 dijelaskan
bahwa program utama pengembangan pendidikan di Indonesia adalah sebagai
berikut.
- Perluasan
dan pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan
- Peningkatan
mutu pendidikan
- Peningkatan
relevansi pendidikan
- Peningkatan
Efisiensi dan efektifitas pendidikan
- Pengembangan
kebudayaan
- Pembinaan
generasi muda
Adapun masalah yang dipandang
sangat rumit dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut.
- Pemerataan
- Mutu dan Relevansi
- Efisiensi dan efektivitas
Setiap masalah yang dihadapi disebabkan oleh faktor-faktor pendukungnya
adapun faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya 4 masalah di atas adalah
sebagai berikut.
- Ilmu Pengeahuan dan Teknologi (IPTEK)
- Laju Pertumbuhan penduduk
- Kelemahan guru/dosen (tenaga pengajar) dalam menangani tugas yang dihadapinya, dan ketidakfokusan peserta didik dalam menjalani proses pendidikan (Permasalahan Pembelajaran).
BAB IV
KONSEP DASAR PENDIDKAN
MENURUT
KI DENWAN TARA
PEMIKIRAN KI
HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian
besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan
kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan
teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya,
seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan
aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih
daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain. Seringkali teknologi
yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia
tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi.
Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan dirinya
menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman
ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to
do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada
keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam
pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh
lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan
apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan
juga menjalankan suatu fungsi tertentu.
Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya
pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi,
lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar
Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa
(konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !” Di
tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin
bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan
penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih,
sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi
manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya. Oleh karena itu,
pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan
pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan
sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga
dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada
diri peserta didik. Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat
manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya.
Menurutnya
manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia
seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang
terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang
menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik
dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya
menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan
olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang
humanis atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan
manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu
berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang
efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan
kebudayaannya.
Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda.
Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk
lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam
budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai
manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. Ki
Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan
sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita
satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang
berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi
bangsa dan negara.
Bagi Ki Hajar
Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian
dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga
menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan
kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya
sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau
pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai
guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar
adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan,
sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara
Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik
yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak
pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara
fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh
tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti
keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi,
tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah
membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka
dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada
aspek-aspek nasional.
Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan
universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual.
Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu
merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan,
merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh
dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan
adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati,
cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap
individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk
menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan
hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan
dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi
perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan
hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang
harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan
kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka,
sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain.
Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini
adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud
dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan
selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan
menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara
pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam
hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas
sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite
sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap
profesionalitasnya.
Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain:
keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan
zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu:
menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan,
dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga
performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi
sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator.
Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang
profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap
peserta didik. Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah
memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi
yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang
bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan
berkeahlian. http://rokimgd.wordpress.com/berhasil-menaa/konsep-pendidikan-ki-hajar-dewantoro-dan-fukuzawa-yukichi/
BAB V
APLIKASI DAN
PERANAN PENDIDIKAN
KI HAJAR
DEWANTARA
A. APLIKASI PANDANGAN KI
HADJAR DEWANTARA DALAM PENDIDIKAN
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini,
sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan
kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan
teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya,
seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan
aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih
daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain. Seringkali teknologi yang dibuat manusia
untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia
yang terkuasai oleh kemajuan teknologi.
Manusia tidak lagi bebas menumbuhkembangkan
dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya. Keberadaan manusia
pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang
dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil
dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau
“being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan
seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang
menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar
pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang
humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti
membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh
berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya
rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the
heart, and the hand !” Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan
teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”,
asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang
iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya
sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya.
Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga
memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau
kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran
hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu
ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik. Ki Hajar Dewantara, pendidik asli
Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya.
Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu
cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan
semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu
daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya
akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan
sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan
menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang
sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain
adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya.
Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi
adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat
itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain
belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia
kalau ia hidup dalam budayanya sendiri.
Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti
sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan
sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita
satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang
berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi
bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi
yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri
untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi
pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik
pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru
kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar
Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, keutamaan.
Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang
memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah
sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara
Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik
yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak
pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara
fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh
tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti
keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi,
tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah
membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa
merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada
aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan
universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal
artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan
perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka
dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam
diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah
suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih
dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu
hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi
merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya
tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang
kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan
antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya
memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup
sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan
pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang
dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat
mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab
atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain.
Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan
ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud
dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan
selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan
menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara
pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam
hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas
sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite
sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap
profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan
untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka
penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi
pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk
melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga
performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi
sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator.
Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif
dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik. Akhirnya
kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.
Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna
dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan
orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian.
B. PERANAN KI HADJAR DEWANTARA DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI
INDONESIA SAAT INI
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku
pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar dewantara mendidik
dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi),
yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran
yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia,
untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan
adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan
membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan
adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia
(humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk
tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik
mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan
demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada
2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang
harus bersinergis satu sama lain.
Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah
(kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia
dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat,
mentalitas demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk
generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan
mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan
mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya
dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar
dewantara. Menurut tulisan Theo Riyanto, perubahan nama tersebut dapat dimakna
bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik,
yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang
berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang
mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini.
Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi
pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan
bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan
dan sebagai fasilitator kelas.
Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna
sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau
Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan
keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai
Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di
dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati
sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak
Tuhan dan membawa keselamatan.
Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar
Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia
haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistic dan
spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual.
Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan
perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka
dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam
diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah
suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih
dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu
hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi
merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya
tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang
kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan
antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya
memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus
hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan
pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta
didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi
anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya
dan kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang
yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode
pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini
secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the
head, the heart, and the hand).
Teladan sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari
proses mengajar, hubungan dan interaksi selama proses pendidikan yang kemudian
pada hari ini atau masa depan peserta didik menjadi contoh yang selalu di tiru
dan di gugu. Jadi guru teladan tidak ada hubungannya dengan sosok guru yang
senantiasa menjaga wibawa, menjaga ‘image’ dengan selalu menampilkan dirinya
‘ferfect’ dan ‘penuh aturan’ dan kaku di hadapan peserta didiknya.
Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak
maka ‘perilaku’ seorang guru akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling
efektif dan pengaruhnya sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah
yang akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan social peserta didik. Secara
psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta
didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas dalam ‘bersikap’,
‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun orang lain.
Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki
hajar Dewantara maka seorang guru yang ingin diteladani haruslah melepaskan
‘trompah’ dari jiwa, sikap, dan perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari
‘kepahlawanan’ untuk kemudian ‘mendidik’ tetapi dari mendidiklah kemudian dia
layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati setiap manusia lain.
Bagaimana agar ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik pada
jiwa, sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa akan datang, maka seorang guru
haruslah ‘profesional’ dalam pengajaran dan hubungan social. Bukan professional
‘to have’ tetapi professional ‘to be’. Bukan professional disebabkan kebendaan
(materi) tetapi professional bersumber dari ‘penguasaan diri’, ‘pengabdian’ dan
‘kehormatan’ diri dan bangsanya. Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ akan
menjadi cara hidup seorang guru untuk mencapai kemanfaatan sebanyak-banyaknya
melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati,
kepala dan pancaindera peserta didiknya.
Proses memindahkan segala’keteladanan diri’
pengetahuan diri dan perilaku professional seorang guru kepada peserta didik
dibutuhkan teknik yang oleh Ki hajar dewantara disebuat ‘among’ mendidik dengan
sikap asih, asah dan asuh, dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu ‘mengajar’
tetapi juga mampu ‘mendidik’. Pada posisi inilah guru juga harus mampu menjadi
motivator dikelasnya. Mengapa motivator? Karena Motivator memiliki kekuatan
sinergis antara mengajar dan mendidik seperti motivasi dari pendidikan KiHajar
itu sendiri.
C. URGENSITAS PENDIDIKAN KARAKTER DAN REVITALISASI PEMIKIRAN KI
HAJAR DEWANTARA
“Karakter yang ingin kita bangun bukan hanya
kesantunan, tetapi secara bersamaan kita bangun karakter yang mampu menumbuhkan
kepenasaranan intelektual sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya
inovasi,” katanya. Seolah pernyataan menunjukkan isyarat bahwa sudah saatnya
kita kembali merefleksi konsepsi pendidikan kita saat ini berjalan. Sebab
konsepsi pendidikan karakter sebenarnya merupakan hasil pemikiran luhur dari
Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara.
Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya
upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam
dan masyarakatnya. Salah satu nilai luhur bangsa Indonesia yang merupakan
falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan yakni tringa
yang meliputi ngerti,
ngrasa, dan nglakoni . Ki Hadjar mengingatkan, bahwa
terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan
pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja
tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak
melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. Merasa saja dengan tidak pengertian
dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak
akan membawa hasil. Sebab itu prasyarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita,
ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar
akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi dirinya dan bagi
masyarakat, dan harus mengamalkan perjuangan itu. “Ilmu tanpa amal seperti
pohon kayu yang tidak berbuah”, “Ngelmu tanpa laku kothong”, laku tanpa ngelmu
cupet”. Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang. Oleh
sebab itu, agar tidak kosong ilmu harus dengan perbuatan, agar tidak pincang
perbuatan harus dengan ilmu.
Berkenaan dengan pendidikan karakter ini lebih
lanjut Suyanto (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan
budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona tanpa ketiga
aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan
karakter yang diterapakan secara sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak
akan menjadi cerdas emosinya, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Sebab
kecerdasan emosi ini menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak masa depan
dan mampu menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.
Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari
nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan tanggung jawab; (3) kejujuran/amanah,
diplomatis; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka tolong menolong dan
gotong royong/kerjasama; (6) percaya diri dan pekerja keras; (7) kepemimpinan
dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; (9) karakter toleransi, kedamaian, dan
kesatuan. Kesembilan karakter itu, perlu ditanamkan dalam pendidikan holistik
dengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the
good. Hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan/mencintai dan
sekaligus melaksanakan nilai-nilai kebajikan. Bisa dimengerti, jika penyebab
ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif anak
mengetahui, karena anak tidak terlatih atau terjadi pembiasaan untuk melakukan
kebajikan
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia , serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat .
pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata
laku seseorang atau sekolompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan. Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia
untuk memanusiakan manusia itu sendiri.
Dalam penididkan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua
subjek itu adalah pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus
selalu manusia, tetapi dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga
pada pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna
mencapai tujuan pendidikan.
KI Dewan Tara menjelaskan tentang
pengertian pendidikan yaitu: “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan
jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”. Sebagai
seorang insan yang memiliki budi pekerti dan jasmani harus memiliki kepribadian
sebagai berikut:
1. ING NGARSO SUNG TULODHO:
Seseoraang Pemimpin apabila didepan
harus bisa memberi contoh atau menjadi panutan bagi yang dpimpin atau warganya
atau peserta didiknya.
2. ING MADYO MANGUN KARSO:
Seorang Pemimpin apabila berada ditengah
tengah masyarakat harus bisa membangkitkan semangat atau memberi motivasi
supaya lebih maju, atau lebih baik.
3. TUT WURI HANDAYANI:
Seorang Pemimpin apabila berada dibelakang
harus bisa mendorong masyarakat/yang dipimpin supaya senantiasa lebih maju.
Dalam pemikiran kihajar dewantara,
metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu
metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh.
Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’
(educate the head, the heart, and the hand).
B. SARAN
Pendidikan sangat besar manfaatnya bagi setiap
indifidu agar hidup lebih baik dan mampu membedakan apa yang baik dilakukan
atau tidak baik. Selain itu mampu hidup dalam keadaan yang kritis dan memiliki
kecerdasan. Penerapan pendidikan diawali sejak kecil pada usia dini dalam
keluarga, sekolah dan masyarakat. Namun kita juga harus menyadari pendidikan
dalam kehidupan bermasyarakat banyak perbedaan yang terlihat oleh mata. Melihat
dengan mata memberi kesan bagi setiap orang sehingga membuat kita membedakan
orang lain. Tetapi melihat dengan hati, semua perbedaan yang kita lihat adalah
sama. Maka memandang insan lain secara “sama” tentu dukungan itu timbul
langsung dengan nyata. di depan menarik yang tertinggal, yang dari belakang
menopang yang ada di depanya dan yang ada di tengah harus memiliki sifat yang
selalu memeberi dukungan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://asepyana666.blogspot.com/2013/02/pendidikan-menurut-ki-hajar-dewantara.html
http://banihadi.blogspot.com/2011/06/makalah-pemikiran-pendidikan-ki-hajar.html
http://blogger-imah.blogspot.com/2013/05/filsafat-pendidikan.html
http://bruderfic.or.id/h-59/
http://gadis22.blogspot.com/2010/12/hubungan-konsep-dan-pelaksanaan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_Pendidikan
http://mukhsinblog.blogspot.com/2010/06/pemikiran-pendidikan-ki-hajar-dewantara.html
http://manajemendigilib.wordpress.com/2012/06/06/filosofis-pendidikan-ki-hadjar-dewantara/
http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/1482/filsafat-pendidikan-ki-hadjar-
dewantararelevansinya-sebagai-teori-pendidikandan-implikasinya-terhadap-praktek-pendidikan-umumdalam-konteks-pendidikan-nasional;-oleh:-tatang-syaripudin.