SISTEM KETATANEGARAAN PASCA REFORMASI

SISTEM KETATANEGARAANPASCA REFORMASI



A.   SUMBER HUKUM TERTINGGI

1.     Pancasila dan UUD 1945 merupakan Dokumen Pemersatu. Sebagai warga masyarakat kita berbeda-beda, tetapi sebagai warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
2.     UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang harus tercermin dalam segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan kenegaraan, dan harus ditegakkan sebagaimana mestinya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.
3.     Sekilas Sejarah Konstitusi Indonesia
a.     UUD 1945
b.     Konstitusi RIS 1949
c.      UUDS NKRI 1950
d.     UUD 1945 Dekrit 5 Juli 1959, Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) = Rule of Man
e.      Orde Baru (Demokrasi Pancasila) = Rule of Man
4.     Perubahan UUD 1945
a.     Perubahan substanial dan penyempurnaan 300%
b.     Dari Supremasi Institusi ke Supremasi Konstitusi, Rule of the Law & Constitution
c.      Dari Sistem Pembagian Kekuasaan ke Checks and Balances
d.     Penguatan Sistem Presidentil
e.      Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Kebhinekaan
f.       Penguatan Peradilan dan Pelembagaan Peradilan Konstitusi

B.   PEMBUATAN DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN

1.     Pembuatan Kebijakan (Policy Making)
2.     Pelaksanaan Kebijakan (Policy Executing)
3.     Peradilan atas Pembuatan Kebijakan (Judicial Review)
a. Peradilan atas Konstitutionalitas UU di MK
b. Peradilan atas Legalitas Peraturan di bawah UU di MA.
4.     Peradilan atas Pelaksanaan Kebijakan (Peradilan):
a. Peradilan Umum:
- Peradilan Pidana
- Peradilan Perdata
c. Peradilan Agama
d. Peradilan Tata Usaha Negara
e. Peradilan Militer

C.   BENTUK NORMA HUKUM PENUANGAN KEBIJAKAN

1.     Pengaturan (regelingen, regulations)
a.  UUD 1945
b.  UU/PERPU/TAP-MPR/S
·        UU disusun dan ditetapkan oleh DPR dg persetujuan bersama Presiden (dapat menjadi objek judicial review oleh MK atau legislative review oleh DPR)
·        Perpu disusun dan ditetapkan oleh Presiden  dengan meminta persetujuan DPR belakang, yaitu pada masa persidangan berikutnya (hanya dapat menjadi objek legislative review, dan tidak dapat dijadikan objek judicial review).
·        TAP-MPR/S tersisa dan masih berlaku setara dengan UU sehingga dapat diubah dengan UU melalui legislative review, sedangkan melalui judicial review masih dapat diperdebatkan).
c.      Peraturan Pelaksana UU yang bersifat structural-hirarkis yang keberadaannya didasarkan atas prinsip delegasi atau sub-delegasi (legislative delegation of rule-making power), seperti:
·        PP
·        Perpres
·        Perda Provinsi
·        Perda Kabupaten/Kota
d.     Peraturan Pelaksana UU yang bersifat fungsional-nonhrarkis yang keberadaannya didasarkan atas prinsip delegasi atau sub-delegasi (legislative delegation of rule-making power), seperti:
·        PERMA
·        PMK
·        Peraturan KPU
·        PBI
·        Peraturan KPU
·        Perdasus dan Qanun
·        Peraturan Menteri tertentu
·        Peraturan Direktur Jenderal tertentu.
2.     Penetapan (beschikkings, administrative decisions)
a.  Keputusan Presiden
b.  Keputusan Menteri
c.  Keputusan Direktur Jenderal
d.  Keputusan Kepala LPND
e.  Dan lain sebagainya.
3.     Putusan Pengadilan (vonnis)
a.  Putusan Pra-Peradilan
b.  Putusan Pengadilan Tingkat Satu
c.  Putusan Pengadilan Tingkat Dua
d.  Putusan Pengadilan Tingkat Tiga
e.  Putusan Peninjauan Kembali (PK).
4.     Aturan Kebijakan (Beleidsregels, Policy Rules)
a.  Instruksi Presiden (Inpres)
b.  Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)
c.  Petunjuk Teknis (Juknis)
d.  Buku Pedoman
e.  Manual
f.   Kerangka Acuan
g.  Dan lain sebagainya.
5.     Rule of Ethics:
a.  Code of Ethics dan Code of Conduct
b.  Institusi Penegak Kode Etik & Perilaku, seperti:
- Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan,
- Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum,
- Badan Kehormatan DPR, dan Badan Kehormatan DPD,
- Majelis Kehormatan Mahkamah Agung,
- Majelis Kehormatan Peradi, dsb.

D.   KELEMBAGAAN DAN HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA

1.     Bagan Organisasi Utama (lihat buku Risalah MPR-MK)
2.     Cabang Kekuasaan Eksekutif
a.     Presiden dan Wakil Presiden (satu kesatuan institusi, single executive)
b.     Wakil Presiden (i) membantu, (ii) mendampingi, (iii) mewakili untuk sementara, (iv) mewakili secara tetap, dan (v) kegiatan mandiri.
c.      Menteri Kabinet
·        prinsip pembagian pekerjaan secara habis
·        Puncak kepemimpinan adminisi pemerintsahan di bawah Presiden dan Wapres.
d.     Semua lembaga independen dan cabang-cabang kekuasaan yang bersifat campuran serta lembaga-lembaga pemerintahan non-departemen harus dikoordinasikan oleh menteri yang berfungsi sebagai tameng dan payung politik dalam berhubungan dengan Presiden, DPR/DPD, dan lembaga peradilan.
3.     Cabang Kekuasaan Legislatif (Legislature)
a.     Dari supremasi institusi (MPR) ke supremasi konstitusi.
b.     Pergeseran kekuasaan legislative dari Presiden ke DPR
c.      Problem perpu sebagai kewenangan legislasi oleh Presiden
d.     Konsep legislasi dalam arti luas: trikameralisme, satu institusi dengan tiga forum (kamar):
·        MPR (lembaga membuat undang-undang dasar)
·        DPR (lembaga penyalur aspirasi rakyat dalam rangka penyusunan kebijakan dan program serta pengawasan pelaksanaannya)
·        DPD (mitra DPR dalam rangka penyaluran aspirasi konstituen dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan)
e.      Problem penggabungan pimpinan dan secretariat bersama
f.       DPRD sebagai lembaga legislative atau bukan.
·        Pimpinan dan anggota DPRD pejabat Negara atau bukan
4.     Cabang Kekuasaan Kehakiman (Judiciary)
a.     Hakikat pengadilan sebagai cabang kekuasaan yang tersendiri dalam rangka tegaknya rule of law sebagai pengimbang demokrasi yang engagungkan kebebasan untuk kesejahteraan.
b.     MK (the guardian of the constitution)
c.      MA (the guardian of the state’s law)
d.     BPK (state’s auditor) (bercorak semi-judikatif dalam menunjang fungsi legislative)
5.     Lembaga-Lembaga Independen
a.     KY
b.     KPU
c.      Tentara Nasional Indonesia
d.     Kepolisian
e.      Kejaksaan
f.       Bank Sentral
g.     KPK
h.     Komisi-Komisi yang diatur UU (Komnasham, Komisi Ombudsman, Komisi Penyiaran Indonesa, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan lain-lain sebagainya). Sekarang berjumlah tidak kurang dari 50 buah. Usul kepada anggota DPR untuk menghentikan kreatifitas membuat lembaga2 baru.
6.     Hubungan antara Eksekutif dan Legislatif
a.     Penyusunan kebijakan dalam bentuk undang-undang
b.     Penyusunan anggaran
c.      Pengawasan/kontrol politik atas pelaksanaan kebijakan:
·        Dalam bentuk peraturan-peraturan pelaksanaan (executive acts).
·        Dalam bentuk tindakan-tindakan pelaksanaan (executive actions).
d.     Pengawasan/kontrol politik atas pelaksanaan anggaran.
7.     MK dan Hubungan antara Lembaga
a.     Pengawal konstitusi
b.     Pengawal demokrasi
c.      ‘arbitrase’ konstitusional
d.     Pelindung hak konstitusional warga Negara
e.      Penafsir akhir atas UUD (Final interpreter of the constitution)
8.     Independensi Peradilan dan Penegakan Hukum
a.     Kekuasaan kehakinan: independensi structural dan fungsional
b.     Pejabat dan lembaga penegak hukum:
·        Hakim (pengadilan)
·        Penuntut (kejaksaan dan KPK)
·        Penyidik (Polisi dan PPNS)
·        Pembela (Advokat)
·        Lembaga Pemasyarakatan (LP)

E.    TATA-KELOLA YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)

1.     Indonesia sebagai Negara Pengurus (Welfare State)
2.     Sepuluh Prinsip Good Governance
a. Tegaknya rule of law
b. Efisiensi dan Efektifitas
c. Terbukanya Partisipasi Masyarakat
d. Transparansi
e. Akuntabilitas
f. Responsive
g. Kesetaraan (Equality)
h. Beorientasi ke depan
i. Berjalannya fungsi pengawasan
j. Profesionalisme
k. Efisiensi dan Effektifitas.
3.     Tertib administrasi keuangan sebagai pangkal tolak
4.     Penerapan Teknilogi Informasi secara bersengaja
5.     Efisiensi dan pemangkasan jadwal pelayanan

F.    REKOMENDASI

1.     Perlunya bagi setiap pejabat public selalu menjadikan UUD 1945 sebagai pegangan dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Bila perlu UUD 1945 selalu ada di saku atau di tas kerja masing-masing.
2.     UUD 1945 pasca Perubahan ke-IV, masih banyak kekurangan dan kelemahan, tetapi sebelum ketentuan dimaksud disempurnakan, apa yang ada sekarang tulah yang berlaku dan diberlakukan dalam praktik.
3.     UU yang terkait kepentingan politik praktis parpol diprioritaskan:
a.     UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD
b.     UU Pemilu, UU Pilpres dan UU Pemda yang memuat ketentuan pemilukada supaya diintegrasikan dan dilengkapi dalam satu UU, misalnya, menjadi UU tentang Pemilihan Pejabat Publik.
4.     Sesuai dengan tuntutan zaman, semua Lembaga Negara perlu mengadakan evaluasi untuk memperbaiki governance masing-masing dengan pelayanan yang semakin efektif dan efisien dan dengan memanfaatkan jasa teknologi modern.
pan] �*g S �� Ȃ� font-family:"Times New Roman","serif"; mso-ansi-language:SV'>

            Sebelumnya perlu kita ketahui terlebih dahulu penyebab terjadinya inflasi. Pada umunya inflasi terjadi sebagai akibat adanya ketidak-seimbangan antara permintaan dan penawaran komoditi. Permintaan komoditi terus meningkat, sedangkan penawarannya tetap atau malah berkurang. Permintaan komiditi masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Sementara itu penawaran komoditi dipengaruhi oleh produksi yang diselenggarakan oleh masyarakat. Dalam keadaan inflasi penawaran komoditi harus terus ditingkatkan agar harga komoditi tidak menaik. Untuk meningktkan penawaran komoditi diperlukan perluas-an produksi. Koperasi merupakan salah satu badan usaha yang sangat potensial untuk melakukan perluasan produksi, karena jumlah koperasi yang sangat banyak dan variasi komoditinya pun sangat banyak. Apbila koperasi dikelola secara benar dan profesional, dengan memperhatikan prinsip-prinsip koperasi (keadilan, kemandirian, pendidikan, dan kerja sama), maka tidak mustahil bahwa koperasi akan dapat mempercepat perluasan produksi. Dengan perluas produksi yang dibantu oleh koperasi ini diharapkan penawaran komo-diti akan terus meningkat, dan pada akhirnya akan dapat mengendalikan kenaikan harga komoditi (inflasi).


Koperasi dan ketergantungan terhadap luar negeri
            Dalam kasus ini, nampaknya koperasi tidak mampu berbuat lebih banyak. Ketergantungan ekonomi terhadap luar negeri cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor politik luar negeri pemerintah kita. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkait dengan luar negeri, khususnya yang menyangkut utang luar negeri cenderung dipengaruhi oleh faktor kekurang-mampuan pemerintah dalam mengelola politik luar negeri.  Oleh karena itu  terhadap permasalahan ini, koperasi cenderung tidak mungkin diikutsertakan untuk memecahkan permasalahan  tersebut. Namun demikian terhadap keempat permasalahan perekonomian nasional seperti dipaparkan di atas, koperasi masih bisa diharapkan untuk berperan-serta mengatasinya.

E. Kesimpulan
            Sebagai suatu sistem ekonomi, koperasi memiliki karakteristik sosialis dan liberalis, dimana karakter sosialis cenderung lebih dominan. Karakter koperasi ini nampaknya tidak berbeda dengan karakter budaya bangsa Indonesia, karena koperasi pada dasarnya memang merupakan kristalisasi dari budaya sosial-ekonomi bangsa Indonesia. Dengan karakternya tersebut, koperasi memiliki keunggulan untuk menjadi solusi permasalahan perekonomian bangsa Indonesia. Oleh karena itu, apabila sistem ekonomi koperasi diterapkan secara konsekuen dan berkelanjutan, insyaAllah permasalahan ekonomi yang sampai saat ini masih membelenggu bangsa Indonesia, secara perlahan-lahan akan dapat teratasi.     
            Demikian sekelumit paparan tulisan yang mencoba mengaitkan koperasi dengan permasalahan ekonomi di Indonesia. Mudah-mudah tulisan ini dapat menjadikan wacana bagi kita semua untuk mengingat dan menengok kembali koperasi sebagai suatu kekuatan ekonomi yang berada di negeri ini. Kekuatan ekonomi yang diharapkan mampu memecahkan permasalahan ekonomi bangsa Indonesia.

----------sgs----------




DAFTAR REFERENSI

Dawam Raharjo, 1997, Koperasi Indonesia Menghadapi Abad ke-21, Jakarta, DEKOPIN.

Hudiyanto, 2002, Sistem Koperasi (ideologi &  pengelolaan),Yogyakarta, UII Press.

Kartasapoetra, dkk., (2001), Koperasi Indonesia, Jakarta, PT. Rineka Cipta.

Mudrajad Kuncoro, 2006, Ekonomika Pembangunan (Teori, Masalah, dan Kebijakan), Yogyakarta, UPP STIM YKPN.

Samuelson, P.A. dan W.D.Nordhaus, 2001, Ilmu Makro Ekonomi, Jakarta, PT. Media Global Edukasi.

Sugiharsono, 2001, Koperasi Indonesia, Jakarta, Direktorat PSMP DEPDIKNAS.

Undang-Undang RI No. 25 th 1992 Tentang Perkoperasian.


           


           
           


e-heigh �0o m �� Ȃ� ns: auto; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: auto; word-spacing: 0px; -webkit-text-stroke-width: 0px; text-align: center;"> 


A.   Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa :
1.    Pada masa Orde Lama Kekuasaan penuh di tangan Presiden (Presidensil)
2.    Pada masa Orde Baru Kedaulatan Rakyat sangatlah terkekang, terpenjara atau tereksploitasi karena sistem negara pada saat Orde Baru adalah Negara Otoriter Birokrasi (N. O. B).
3.    Pada masa Reformasi kedaulatan rakyat dan peran demokrasi terbuka lebar untuk masyarakat tetapi ada hal-hal yang substansial tidak berubah. Artinya sistem negara belum berubah, aparaturnya saja yang berubah. (Sistem negara yang dimaksud adalah sosial, ekonomi, dan politik).
4.    “Kebebasan” pada masa reformasi sering disalah-artikan sehingga menimbulkan konflik yang tidak berujung.
5.    Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan. Pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
6.    Negara dan Demokrasi bisa berjalan kalau negara dan masyarakat sipil harus sama-sama kuat, jika negara dan masyarakat tidak sama-sama kuat maka itu disebut dengan demokrasi beku.

B.   Saran
“kebudayaan politik”  yang lahir dari “politik kebudayaan”, atau dalam arti tertentu katakanlah “kebudayaan kekuasaan” dan yang pada gilirannya hingga ke tingkat  paling subtil tapi substansial melahirkan “kekuasaan kebudayaan”. Baik dalam pengertian kekuasaan sebagai kebudayaan maupun kebudayan sebagai kekuasaan.
Untuk itu, tentu kita harus terus berharap akan ada perubahan. Melihat realitas politik yang ada, tidak ada lain selain berharap kepada kekuatan-kekuatan yang dulu penyangga Orde Baru tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan di masa lalu. Semoga orde yang akan datang adalah orde baru dalam pengertian yang sebenarnya, orde yang akan membawa pembaharuan.


DMC