MAKALAH LEMAH BELAJAR, Penyebab Lemah Belajar

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Learning disability atau disingkat LD, artinya lemah belajar, sudah menjadi istilah umum bagj orangtua. Bagaimanapun juga, sudah berabad-abad ada anak yang bermasalah di sekolah.

Guru sekolah, psikolog, neurolog, atau orang tua yang prihatin, masing-masing punya pandangan yang berbeda tentang anak yang sama. Masing-masing akan meljhat anak itu dari perspektif pengalaman atau kepandaiannya sendiri. Banyak orang tua yang tahu betul hal ini, karena meminta pendapat dan saran dari banvak orang yang berkaitan dengan diagnosis.

Meskipun definisi dan kriterianya terus diperdebatkan, istilah itu sekarang diapakai untuk menggambarkan suatu kondisi cacat yang mengganggu kemampuan untuk mengingat-ingat, memproses, atau menghasilkan informasi yang diinginkan.

B. Tujuan
Untuk memenuhi salah satu tugas mata UAS mata kuliah “Belajar dan Pembelajaran TK”. Juga untuk menambah pengetahuan tentang cara mengatasi anak yang lemah belajar di Taman Kanak-kanak.


BAB II
PEMBAHASA
N


A. Lemah Belajar
Lemah belajar khas berarti gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang meliputi pemahaman atau penggunaan bahasa, lisan atau tertulis, yang dengan sendirinya muncul sebagai kemampuan tidak sempurna untuk mendengarkan, berpikir, bicara, membaca, menulis, mengeja atau membuat perhitungan matematikal. Istilah tersebut meliputi kondisi seperti kelemahan perseptual, kerusakan otak, disfungsi otak minimal, disleksia dan aphasia pertumbuhan. Istilah itu tidak meliputi anak-anak yang problemnya terutama diakibatkan oleh kelemahan motorik, pendengaran atau penglihatan, atau retardasi mental, gangguan emosional atau akibat keadaan ekonomi, budaya atau lingkungan yang tidak menguntungkan.

Seorang anak yang nilainya jelek dalam suatu situasi pendidikan yang terbatas atau buruk, misalnya, belum tentu lemah belajar; anak itu justru punya "lingkungan yang tidak menguntungkan". Hal yang sama bisa dikatakan tentang seorang anak yang hidup dalam kondisi di bawah standar yang kurang gizi dan tidak mendapat dukungan pendidikan.
Suatu kelompok heterogen dari gangguan yang diwujudkan oleh kelemahan mencolok dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan matematikal, penalaran, menulis, membaca, bicara, mendengarkan, atau keterampilan bergaul. Gangguan ini adalah hakiki bagi individu itu dan diduga merupakan akibat disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun lemah belajar bisa terjadi berbarengan dengan kondisi cacat lainnya (misalnya, kelemahan saraf sensor, retardasi mental, gangguan emosional dan sosial), dengan pengaruh sosial-lingkungan (misalnya, perbedaan kultural, instruksi yang tidak memadai atau tidak cukup, faktor-faktor psikogenik), dan terutama gangguan karena merasa kurang diperhatikan, yang semuanya bisa menimbulkan masalah belajar, namun lemah belajar bukan akibat langsung dari kondisi atau pengaruh tersebut.

B. Penyebab Lemah Belajar
Cukup sulit untuk menentukan kombinasi faktor apa saja yang menyebabkan lemah belajar. Agaknya orangtua tidak biasa menerima tanggung jawab atas setiap kegagalan anak mereka, dan tentu saja atas problem mereka di sekolah. ("Pasti akuberbuat kesalahan.") Pada waktu yang sama, orangtua berusaha mencari alasan buat anak-anak. ("Mungkin ia terlalu lama nonton TV.") Kita cenderung mencari seseorang atau sesuatu untuk dijadikan kambing hitam dan tidak terlalu cemas jika bisa mengenali sumber kesulitan, bahkan jika itu diri kita sendiri. Namun dalam kebanyakan kasus, perbedaan belajar seorang anak kecil bukan kesalahan siapa-siapa, dan kita tidak bisa menunjuk satu penyebab yang tepat. Mungkin sumber kesulitannya banyak sekali. Biasanya ada banyak faktor kausal, biologis dan psikologis, dengan munculnya segebung simtom. Kadang-kadang kita hanya harus mengobati apa yang kita lihat, justru tanpa mengetahui penyebabnya. Ini sukar diterima oleh orangtua dan para guru, tapi berat kalau dianggap sepenuhnya ilmiah manakala berkait dengan perilaku manusia. Meskipun teknologi lebih baru yang sedang digarap memberi hasil yang kelihatannya memberi harapan, jawabannya belum semua dapat diperoleh. Tidak ada bakteri dan imunisasi untuk mencegah LD dan ADHD, dan problem itu tidak bisa dihilangkan semudah membuang usus buntu yang meradang.
Para profesional bertahun-tahun mencoba mengidentifikasi penyebab khusus dari perbedaan belajar. Riset mutakhir memusatkan perhatian pada perbedaan anatomi dalam otak, faktor genetik dan cacat biokimia. Semua ini tampaknya akan menghasilkan penemuan yang memberi harapan. Namun untuk sekarang ini, banyaknya faktor penyebab lemah belajar agaknya berinteraksi dan berinterelasi dalam anak hidup dan masih bernapas dan tidak bisa dikenali secara khusus. Bagaimanapun juga, saya akan menyebutkan beberapa dugaan penyebab, secara mandiri atau dalam kombinasi, yang ikut menyebabkan perbedaan belajar.
1. Inteligensia
Kontribusi inteligensia yang paling besar adalah memungkinkan dalamnya pemahaman atau tingkat kemungkinan seseorang belajar jadi terbatas. Ini tidak memprediksi betapa baik atau betapa banyak yang mau atau yang tidak mau dipelajari seorang anak. Di antara faktor lainnya, motivasi, kualitas pengajaran, dan cita-cita keluarga memainkan peranan yang menentukan. Cara orangtua dan guru memandang seorang anak juga berdampak pada kemampuannya.

2. Kelemahan Saraf Sensor
Kelemahan saraf sensor mengacu pada sistem kerja mata dan telinga anak itu atau pada hubungan sistem saraf pusat dari / ke organ-organ tersebut.
Anak kecil memerlukan stimulasi pendengaran dan penglihatan untuk menyiapkan mereka belajar di sekolah. Seorang anak dapat mengingat sepatah kata pada satu halaman dengan membayangkannya dalam pikirannya.sementara yang lain harus mendengar bunyi secara mental untuk membentuk suatu hubungan yang punya arti.

3. Tingkat Aktivitas dan Jangka Perhatian
Seorang anak harus memperhatikan pelajaran agar bias mempelajari materi pelajaran itu. Simtom kurang mampu memperhatikan yang banyak didiskusikan, tidak mampu memperhatikan, impulsif dan pikiran mudah terpecah, jelas membuat ini tidak mungkin.
Dalam beberapa situasi, hiperaktivitas mungkin mencerminkan penilaian dari pengamat yang justru lebih daripada perilaku anak itu.

4. Faktor Genetik
Sejarah keluarga penyandang lemah belajar dan/atau ADHD, termasuk problem kakek-nenek, bibi, paman dan sepupu, kadang-kadang menjadi petunjuk untuk problem seorang anak kecil di sekolah. Beberapa peneliti menyalahkan kelemahan belajar pada gen tertentu, tapi teori ini belum penting untuk dicatat.

5. Trauma Prenatal, Melahirkan dan Pascanatal
Hubungan antara kerusakan organ dan belajar sama sekali belum jelas. Mengapa ada anak cacat fisik yang secara akademik pandai, sementara yang lain berjuang di sekolah? Sekarang tengah dilakukan studi multidisipliner dalam upaya mencari jawabannya.

6. Tidak Matang atau Terlambat Matang
Perbedaan belajar ketika masih kecil paling sering menyebabkan seorang anak tidak matang. Seringnya inilah yang mungkin terjadi. Seorang anak kecil boleh jadi hanya lebih lambat berkembang dalam beberapa bidang dibandingkan teman sebayanya. Bagaimanapun juga, bukan jumlah lilin di atas kue ulang tahun seorang anak yang menentukan kesiapannya belajar, tapi justru tingkat perkembangan dan tingkat kematangannya. Jika seorang anak fisiknya kecil, terlambat kehilangan gigi susunya, dan mungkin mulai jalan dan bicara agak lebih tua dibandingkan teman sebayanya, kita boleh berharap, belajarnya juga terlambat. Tapi persoalannya jadi menumpuk jika ia masuk sekolah sebelum ia siap untuk belajar.

7. Faktor Emosional
Arti penting faktor emosional dalam belajar diperdebatkan selama bertahun-tahun. Dalam kondisi bagaimana maka persoalan emosional menyebabkan kelemahan belajar? Kita semua tahu banyak anak bermasalah yang bermotivasi tinggi untuk belajar dan berhasil di sekolah. Mungkin salah satu alasan paling penting untuk orang-orang lain yang gagal di sekolah terletak pada kata kunci takut, takut untuk mencoba dan gagal, takut bersaing dengan seorang kakak atau adik yang istimewa, atau bahkan takut .menjadi besar. Seorang anak yang gelisah karena banyak sekali yang dipikirkannya tidak mampu berkonsentrasi menggarap pekerjaan sekolah.

8. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang negatif meliputi pengabaian, penyiksaan, kurang giz dan deprivasi budaya. Anak-anak yang secara kronis diperlakukan kurang semestinya atau kurang dihargai keberadaannya tidak bisa mendapat nilai baik di sekolah. Kalau anak kecil di daerah kota diberi sarapan hangat setiap pagi, nilai mereka di sekolah meningkat. Beberapa peneliti menunjukkan, inteligensia yang diukur dengan tes IQ, juga begitu. Sayangnya, prob­lem tidak kerasan di rumah dan pemeliharaan yang kurang memadai tampak jelas dalam banyak ruang kelas sekarang ini.

9. Faktor Pendidikan
Pengajaran yang tidak cukup atau tidak memadai juga merupakan pertimbangan dalamproblem belajar beberapa anak, meskipun ini jelas satu gagasan yang tidak populer bagi guru. Anak kecil agaknya sering belajar secara osmosis, berangsur-angsur paham, tanpa memandang kurikulum dan metode pengajaran. Namun bagi beberapa anak, kualitas dan konsistensi pengajaran itu amat penting. Disamping gaya mengajar, bahan pelajaran yang mengakomodasi perbedaan kultural masih kurang dalam banyak sekolah, dan ada anak yang harus berusaha keras memahami suatu kurikulum yang tidak banyak hubungannya dengan kehidupan mereka.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Permasalahan anak TK yang telah ditemukan oleh guru melalui pengamatan sehari-hari, perlu dicatat secara cermat dan kontinue. Catatan-catatan ini sangat penting bagi kegiatan lebih lanjut, yaitu kegiatan membantu anak, agar bebas dari permasalahannya. Dapat dipastikan bahwa guru tudak mungkin bekerja sendiri mengatasi permasalahan anak, apalagi permasalahan yang dialami oleh anak TK yang masih sangat tinggi keterkaitannya pada orang tuanya, untuk itu guru perlu mengetahui cara menyampaikan permasalahan anak dengan tepat sesuai dengan saran dari pihak-pihak terkait. Penyampaian permasalahan terhadap anak tentu tidak sama penyampaiannya kepada orang tua. Demikian pula penyampaian permasalahan kepada pihak-pihak lain, akan lain pula sesuai dengan kebutuhan. Jadi jelas kiranya bahwa seorang guru TK perlu mengetahui dan terampil menggunakan berbagai alat komunikasi yang digunakan untk mengkomunikasikan permasalahan anak. Dalam hal permasalahan anak TK, guru tidak mungkin mengandalkan kegiatan penanganan masalah dari pihak anak saja, mengingat kemampuan berfikir dan berkomunikasinya masih sangat terbatas, oleh karena itu guru TK hendaknya sadar akan hal ini, dan mau membina kerja sama dengan orang lain yang dapat mempermudah penanganan masalah.
B.    Saran
Anak taman kanak-kanak biasanya memang masih ada yang belum sempurna artikulasinya. Jadi sebaiknya seorang guru dapat melatih anak mengucapkan kata-kata yang belum sempurna tersebut supaya pada proses belajar mengajar tidak terjadi hambatan komunikasi antara guru dengan anak dan antara anak dengan teman-temannya.
·         Bagi Guru
Guru TK adalah guru kelas, yang berarti semua urusan kelas diselesaikan oleh guru. Guru TK bertugas menyelenggarakan proses belajar mengajar. Ia juga harus menyelesaikan tugas administrasi. Masih ada tugas lain di luar kedua formal tadi, yaitu menata dan menjaga kebersihan kelas. Kalau dalam proses belajar mengajar terdapat masalah yang menyangkut anak, orang yang pertama yang mengetahui gejalanya adalah guru. Jadi jelaslah bagi kita bahwa guru merupakan pihak yang paling awal dalam mengetahui permasalahan anak.
·         Bagi Orang Tua
Orang tua harus mau melakukan sesuatu yang telah disarankan oleh guru dalam rangka memperlancar penanganan masalah yang dialami anaknya. Ada kegiatan-kegiatan tertentu yang harus dikerjakan di rumah, sehingga keterlibatan orang tua dan anggota keluarga lainnya diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

-          Dahar, R. Wilis, 1989, Teori-Teori Belajar, Erlangga, Jakarta.
-          Djali, M. As’ad, 1986, Teknik-teknik Bimbingan dan Penyuluhan, Bina Ilmu, Surabaya.
-          Gunarsa, Y, Singgih, 1990, Psikologi Anak Bermasalah, PT. BPK Gunung Mulya, Yogyakarta.
-          Simanjuntak, B dan Pasaribu I.L, 1984, Pengantar Psikologi Perkembangan, Penerbit Tarsito, Bandung.
-          Suleiman, A. Hamzah, 1985, Media Audio Visual, Gramedia, Jakarta.
-          Soepartinah, 1985, Anak dan Perkembangannya, Gramedia, Jakarta.
-          Makmur, A. Syamsudin, 1983, Psikologi Kependidikan, Pustaka Martiana Bandung.   

DMC