KODE ETIKA PROFESI
A.
Pengertian
Profesi
Belum ada kata
sepakat mengenai pengertian profesi karena tidak ada standar pekerjaan/tugas
yang bagaimanakah yang bisa dikatakan sebagai profesi. Ada yang mengatakan
bahwa profesi adalah “jabatan seseorang walau profesi tersebut tidak bersifat
komersial”. Secara tradisional ada 4
profesi yang sudah dikenal yaitu kedokteran, hukum, pendidikan, dan
kependetaan.
Beberapa catatan
tentang profesi, profesional dan etika profesional sebagai pelayan masyarakat
ditinjau dari sudut pandang bidang keilmuan masing-masing penulis.
a.
Reader (jenis profesi
dari sudut pandang sejarawan): Dalam perjalanan sejarah, hanya ada 3 (tiga )
jenis profesi yang liberal yakni dibidang : kerohanian, fisik dan hukum.
Pengertian fisik dalam tulisan Reader mengacu pada profesi kedokteran dan
pelayan kesehatan lainnya
Reader,W.J, Professional men: The Rise of Professional Classses in Nine-teenth Century England. London: Weidenfeld & Nicholson, 1966.
Reader,W.J, Professional men: The Rise of Professional Classses in Nine-teenth Century England. London: Weidenfeld & Nicholson, 1966.
b.
Hakim
Brandeis memberikan pengertian profesi sebagai : pekerjaan
yang awalnya memerlukan pelatihan intelektual, yang menyangkut pengetahuan
sampai tahap tertentu (kesarjanaan), yang berbeda dari sekedar keahlian atau
kecakapan semata. Pekerjaan ini bukan hanya demi diri sendiri tapi
sebagian besar demi kebaikan (pro bono) orang lain (bersifat altruistis),
dan imbalan tidak diterima sebagai ukuran keberhasilan. Ada beda mendasar
antara pengetahuan dan keahlian seorang profesional. Sasaran profesional adalah
kebaikan klien. Kebaikan ada didalam pengetahuan. Kebaikan memiliki kekuatan
dan fungsi untuk mengatur perolehan dan penerapan ilmu, sedang keahlian
merupakan pengetahuan yang diterapkan oleh praktisi untuk melayani suatu
tujuan. Pengertian profesi dari Brandeis lebih ditekankan pada ’motivasi’
sebagai netralitas moral keahlian sebagai ’ciri’ seorang profesional. Brandeis,
Louis, Business-A Proffesion., Boston: Hale, Cushman & Flint,
1933.
c.
Menurut
May, perbedaan mendasar antara seorang profesional dengan
seorang ahli adalah: Seorang profesional yang menyatakan ikrar kepada publik,
mempunyai ikatan moral khusus dengan klien, sedangkan ahli tidak. Dengan kata
lain seorang ahli adalah warga masyarakat biasa (bukan profesional). May,
William F, The Physician’s Covenant: Images of the Healer in Medical
Ethics, Philadelphia: Westminster Press, 1983
d.
Menurut
Lebacqz, pengertian ‘memiliki keahlian khusus’ menimbulkan
kerancuan pada istilah ‘profesi’ ataupun ‘profesional’ contohnya: karena
memiliki keahlian dalam berdagang, maka pedagang merasa diri seorang
profesional. Lebaqz, Karen, Professional Ethics: Power and Paradox,
Nashville Tenessee: Abingdon Press, 1985.
e.
Menurut
Freidson, pengetahuan dan keahlian profesional harus selalu
diterapkan untuk menuju suatu tujuan. Ciri objektif tersebut dipahami oleh
penyandang profesi sebagai ideologi yang harus diwujudkan dalam praktik yang
etis dan bukan ideologi ekonomis untuk mencapai prestise atau untuk
mempertahankan status/hak istimewa tertentu. Secara spesifik Freidson
mengemukakan bahwa, mengistilahkan ‘pengetahuan profesional’ sebagai ‘formal’
sebenarnya berbicara mengenai jumlah (kuantitas) yang tetap tidak bermakna
manakala tidak mempunyai tujuan/sasaran seperti diatas.
Freidson Elliot, Professional Powers: A Study of The Institutionalization of Formal Knowledge, Chicago: University of Chicago Press,1986.
Freidson Elliot, Professional Powers: A Study of The Institutionalization of Formal Knowledge, Chicago: University of Chicago Press,1986.
f.
Moore menyatakan bahwa seorang profesional wajib mengembangkan
profesionalismenya. Pengembangan profesional dapat dicapai melalui kewajiban
belajar (menguasai lebih banyak pengetahuan teknis) dan bukan melalui interaksi
dengan klien. Di dalam bukunya, Moore mengabaikan kemungkinan profesional juga
belajar melalui kliennya
Moore, Wilbert E, The Professions : Roles and Rules, New York: Russel Sage Foundation, 1970.
Moore, Wilbert E, The Professions : Roles and Rules, New York: Russel Sage Foundation, 1970.
g.
Larson menuliskan bahwa, peradaban membawa konsekuensi munculnya
karakteristik yang hanya dapat dipahami oleh kelompok (peer) tertentu. Larson
mencatat bahwa profesi tertentu mengembangkan karakteristik-karakteristik yang
istimewa (distingtif) di Inggris dan Amerika Serikat dan diyakini akan terjadi
di belahan dunia lainnya. Penggunaan terma distingtif dalam
kaitannya dengan pemahaman pihak di luar komunitas profesi bersangkutan. Larson, Magali Sarfatti, The Rise of Professionalism : A
Sociological Analysis. Berkeley : University of California Press, 1977.
h.
Levy mengatakan bahwa, selain untuk kepentingan umum, hukum juga
didisain untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan, sekaligus untuk
memastikan pemenuhan hak individu terhadap masalah kesehatan. Oleh sebab itu
dimungkinkan dibuat hukum khusus kesehatan, untuk mengatur pelaksanaan pelayanan
sesuai dengan situasi yang variatif. Penggunaan hukum khusus harus didahulukan
untuk mengatasi masalah yang spesifik
Levy, Barry S, Twenty –first Century Challenges for Law and Public Health. Indiana Law review, 1999, vol 32. Dr Levy adalah Immediate Past President pada American Public Health Association, dan sebagai Adjunct Professor of Community Health di Tufts University School of Medicine. Levy juga bekerja sebagai konsultan independen untuk Kesehatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan (Occupational and Environmental Health).
Levy, Barry S, Twenty –first Century Challenges for Law and Public Health. Indiana Law review, 1999, vol 32. Dr Levy adalah Immediate Past President pada American Public Health Association, dan sebagai Adjunct Professor of Community Health di Tufts University School of Medicine. Levy juga bekerja sebagai konsultan independen untuk Kesehatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan (Occupational and Environmental Health).
i.
Bayles mengatakan bahwa, etika profesional bersumber dari etika
umum dan hanya merupakan spesifikasi lebih lanjut dari etika umum tersebut.
Bayles, Michael D, Professional Ethics, Belmont, California: Wadworth, 1981.
Bayles, Michael D, Professional Ethics, Belmont, California: Wadworth, 1981.
j.
Camenish yang mengambil dasar filsafat Immanuel Kant mengatakan bahwa
tidak ada yang menonjol dari etika profesional atau dengan kata lain etika
profesi adalah intensifikasi etika biasa. Camenish, Paul, Grounding
Professional Ethics in Pluralistic Society. New York: Haven, 1983.
k.
Drucker menganggap tidak ada yang menonjol pada etika profesional
sehingga anggota profesi tidak perlu mengagungkannya, atau dengan kata lain:
etika profesional identik dengan etika biasa. Drucker, Peter, What is
Business Ethics?, The Public Interest, Spring 1981.
l.
Carter (memandang profesionalisme dari sudut pandang konsumen),
membahas tentang dorongan para profesional akan nafsu, hak istimewa dan
kekayaan sebanyak-banyaknya yang bisa didapatkan dengan melayani masyarakat.
Menjadi anggota suatu ikatan profesi tidak merupakan perkecualian untuk
melakukan kerakusan, nafsu dan lain-lain, bahkan sesuatu yang sering dikatakan
‘demi kebaikan umum’ (pro bono publico) sebenarnya yang dimaksud adalah ‘demi
kepentingan pribadi’
Carter, Richard, The Doctor Business, Garden City New York, Doubleday, 1958.
Carter, Richard, The Doctor Business, Garden City New York, Doubleday, 1958.
m.
T.D Hall & C.M Lindsay (membahas perilaku anggota profesi
dari sudut pandang ekonom) menyatakan bahwa, profesi merupakan bentuk
perdagangan yang terorganisir dengan dalih bekerja untuk kesejahteraan umum.
Hall, TD & Lindsay C.M, Medical School: Producers of What? Seller of
Whom?, Journal of Law and Economic 23, April 1980.
n.
Goede mengatakan bahwa, perilaku para anggota profesi tidak
mencerminkan rasa empati kepada yang perlu dilayani meskipun selalu menonjolkan
ideal pelayanan kepada masyarakat. Goede, William.J, Community within a
Community, The Professions, American Sociological Review 22.
Pemikiran penulis:
Pengertian yang sampai saat ini
dipahami di Indonesia adalah bahwa profesi bukan semata-mata pekerjaan
(okupasi), dan syarat profesional (orang yang melakukan profesi) adalah:
·
Melalui
pendidikan formal setara kesarjanaan (pendidikan di Universitas)
·
Mempunyai nilai-nilai (values) yang
dipertaruhkan
·
Memiliki dan mengamalkan kode etik
profesi
·
Mempunyai tujuan/sasaran tertentu yakni
demi kebaikan klien
Batasan (di Indonesia) tersebut bisa
jadi didasarkan pada pemikiran penulis-penulis diatas, penulis mengakui belum
menemukan referensi tentang ’profesi dan profesional’ dari sudut pandang ahli
berkebangsaan Indonesia .
Bila dicermati, dalam pemikiran yang
tertuang dalam buku-buku diatas, terdapat semacam pesan
moral/keprihatinan/kritik (warning) tentang perilaku para profesional
seperti misal dibawah ini:
1.
Kaum
profesional mempunyai kewajiban prima facie untuk menjaga kepercayaan
klien. Sebagai ’profesional pelayan masyakat’ diharapkan dapat melayani
masyarakat dengan penuh etika serta menghormati motto: Uberrima fides
(kesetiaan diatas segala-galanya). Kewajiban tersebut merupakan konsekuensi
yang harus dihayati, untuk melindungi hak setiap warga masyarakat. Risiko,
merupakan bagian dari konsekuensi profesional yang juga harus memperhatikan hak
pribadinya sebagai anggota masyarakat, seperti misalnya asas jaga rahasia
(merupakan kewajiban profesional) yang nampaknya semakin sulit dilaksanakan.
2.
Profesi
tertentu seperti hukum dan kedokteran, memiliki keterlibatan khusus dengan
klien dan berjanji menggunakan keahliannya demi kebaikan klien. Warga negara
dengan demokrasi liberal Barat lebih menyukai pengaturan profesi dan tidak
tergantung pada pengawasan negara, meskipun hal tersebut tidak bisa serta merta
berlaku bagi profesi yang sama dinegeri yang berbeda.
3.
Profesional
bukanlah seorang dermawan yang mencintai kehidupan umat manusia. Dengan
otoritas yang dimiliki, bisa memanfaatkan karakteristik profesinya untuk
mempertahankan status tertentu,
4.
Dalam
kenyataan, profesi sering terkait dalam satu bentuk perdagangan yang tersamar
dan terorganisir dengan baik. Dengan lebih berorientasi pada keuntungan,
kekayaan dan sikap hedonistik, para profesional dapat memperdaya klien demi
kepentingan diri sendiri atau kelompoknya (pro lucro)
Pengertian Profesionalisme,
Profesional dan Profesi Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan
dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan
keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan -- serta ikrar
(fateri/profiteri) untuk menerima panggilan tersebut -- untuk dengan semangat
pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah
dirundung kesulitan ditengah gelapnya kehidupan (Wignjosoebroto, 1999).
Dengan
demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu yang
diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan
disamping itu pula ada unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) didalam
melaksanakan suatu kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk mem
bedakannya dengan kerja biasa (occupation) yang semata bertujuan untuk mencari
nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi Dua pendekatan untuk mejelaskan
pengertian profesi:
1.
Pendekatan berdasarkan Definisi
Profesi
merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang
memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit
dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan
keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan
dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah
dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan
diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.
2.
Pendekatan Berdasarkan Ciri
Definisi
di atas secara tersirat mensyaratkan pengetahuan formal menunjukkan adanya
hubungan antara profesi dengan dunia pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan
tinggi ini merupakan lembaga yang mengembangkan dan meneruskan pengetahuan
profesional.
Karena
pandangan lain menganggap bahwa hingga sekarang tidak ada definisi yang yang
memuaskan tentang profesi yang diperoleh dari buku maka digunakan pendekatan
lain dengan menggunakan ciri profesi. Secara umum ada 3 ciri yang disetujui
oleh banyak penulis sebagai ciri sebuah profesi. Adapun ciri itu ialah:
-
Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah
profesi. Pelatihan ini dimulai sesudah seseorang memperoleh gelar sarjana.
Sebagai contoh mereka yang telah lulus sarjana baru mengikuti pendidikan
profesi seperti okter, dokter gigi, psikologi, apoteker, farmasi, arsitektut
untuk Indonesia. Di berbagai negara, pengacara diwajibkan menempuh ujian
profesi sebelum memasuki profesi.
-
Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan. Pelatihan
tukang batu, tukang cukur, pengrajin meliputi ketrampilan fisik. Pelatihan
akuntan, engineer, dokter meliputi komponen intelektual dan ketrampilan.
Walaupun pada pelatihan dokter atau dokter gigi mencakup ketrampilan fisik
tetap saja komponen intelektual yang dominan.
Komponen
intelektual merupakan karakteristik profesional yang bertugas utama memberikan
nasehat dan bantuan menyangkut bidang keahliannya yang rata-rata tidak
diketahui atau dipahami orang awam. Jadi memberikan konsultasi bukannya
memberikan barang merupakan ciri profesi.
-
Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting kepada masyarakat.
Dengan kata lain profesi berorientasi memberikan jasa untuk kepentingan umum
daripada kepentingan sendiri. Dokter, pengacara, guru, pustakawan, engineer,
arsitek memberikan jasa yang penting agar masyarakat dapat berfungsi; hal
tersebut tidak dapat dilakukan oleh seorang pakar permainan caturmisalnya. Bertambahnya
jumlah profesi dan profesional pada abad 20 terjadi karena ciri tersebut. Untuk
dapat berfungsi maka masyarakat modern yang secara teknologis kompleks
memerlukan aplikasi yang lebih besar akan pengetahuan khusus daripada
masyarakat sederhana yang hidup pada abad-abad lampau. Produksi dan distribusi
enersi memerlukan aktivitas oleh banyak engineers. Berjalannya pasar uang dan
modal memerlukan tenaga akuntan, analis sekuritas, pengacara, konsultan bisnis
dan keuangan. Singkatnya profesi memberikan jasa penting yang memerlukan
pelatihan intelektual yang ekstensif.
Di samping ketiga syarat itu ciri profesi berikutnya.
Ketiga ciri tambahan tersebut tidak berlaku bagi semua profesi.
Adapun ketiga ciri tambahan tersebut ialah:
- Adanya proses lisensi atau sertifikat. Ciri ini
lazim pada banyak profesi namun tidak selalu perlu untuk status profesional.
Dokter diwajibkan memiliki sertifikat praktek sebelum diizinkan berpraktek.
Namun pemberian lisensi atau sertifikat tidak selalu menjadikan sebuah
pekerjaan menjadi profesi. Untuk mengemudi motor atau mobil semuanya harus
memiliki lisensi, dikenal dengan nama surat izin mengemudi. Namun memiliki SIM
tidak berarti menjadikan pemiliknya seorang pengemudi profesional. Banyak
profesi tidak mengharuskan adanya lisensi resmi. Dosen diperguruan tinggi tidak
diwajibkan memiliki lisensi atau akta namun mereka diwajibkan memiliki syarat
pendidikan, misalnya sedikit-dikitnya bergelar magister atau yang lebih tinggi.
Banyak akuntan bukanlah Certified Public Accountant dan ilmuwan komputer tidak
memiliki lisensi atau sertifikat.
- Adanya organisasi. Hampir semua profesi memiliki
organisasi yang mengklaim mewakili anggotanya. Ada kalanya organisasi tidak
selalu terbuka bagi anggota sebuah profesi dan seringkali ada organisasi
tandingan. Organisasi profesi bertujuan memajukan profesi serta meningkatkan
kesejahteraan anggotanya. Peningkatan kesejahteraan anggotanya akan berarti
organisasi profesi terlibat dalam mengamankan kepentingan ekonomis anggotanya.
Sungguhpun demikian organisasi profesi semacam itu biasanya berbeda dengan
serikat kerja yang sepenuhnya mencurahkan perhatiannya pada kepentingan ekonomi
anggotanya. Maka hadirin tidak akan menjumpai organisasi pekerja tekstil atau
bengkel yang berdemo menuntut disain mobil yang lebih aman atau konstruksi
pabrik yang terdisain dengan baik.
- Otonomi dalam pekerjaannya. Profesi memiliki
otonomi atas penyediaan jasanya. Di berbagai profesi, seseorang harus memiliki
sertifikat yang sah sebelum mulai bekerja. Mencoba bekerja tanpa profesional
atau menjadi profesional bagi diri sendiri dapat menyebabkan ketidakberhasilan.
Bila pembaca mencoba menjadi dokter untuk diri sendiri maka hal tersebut tidak
sepenuhnya akan berhasil karena tidak dapat menggunakan dan mengakses
obat-obatan dan teknologi yang paling berguna. Banyak obat hanya dapat
diperoleh melalui resep dokter. sepuluh ciri lain suatu profesi
(Nana 1997) :
1.
Memiliki fungsi dan signifikasi sosial
2.
Memiliki keahlian/keterampilan tertentu
3.
Keahlian/keterampilan diperoleh dengan
menggunakan teori dan metode ilmiah
4.
Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas
5.
Diperoleh dengan pendidikan dalam masa
tertentu yang cukup lama
6.
Aplikasi dan sosialisasi nilai- nilai
profesional
7.
Memiliki kode etik
8.
Kebebasan untuk memberikan judgement
dalam memecahkan masalah dalam lingkup kerjanya
9.
Memiliki tanggung jawab profesional dan
otonomi
10.
Ada pengakuan dari masyarakat dan
imbalan atas layanan profesinya. Tiga Watak Profesional
Lebih lanjut Wignjosoebroto [1999] menjabarkan
profesionalisme dalam tiga watak kerja yang merupakan persyaratan dari setiap
kegiatan pemberian "jasa profesi" (dan bukan okupasi) ialah :
i. bahwa
kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi
tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu
mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil;
-
bahwa kerja seorang profesional itu
harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai
melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat;
-
bahwa kerja seorang profesional --
diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral -- harus menundukkan diri pada
sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati
bersama didalam sebuah organisasi profesi. Ketiga watak kerja tersebut mencoba
menempatkan kaum profesional (kelompok sosial berkeahlian) untuk tetap
mempertahankan idealisme yang menyatakan bahwa keahlian profesi yang dikuasai
bukanlah komoditas yang hendak diperjual-belikan sekedar untuk memperoleh
nafkah, melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan demi kesejahteraan umat
manusia.
Kalau didalam pengamalan profesi
yang diberikan ternyata ada semacam imbalan (honorarium) yang diterimakan, maka
hal itu semata hanya sekedar "tanda kehormatan" (honour) demi
tegaknya kehormatan profesi, yang jelas akan berbeda nilainya dengan pemberian
upah yang hanya pantas diterimakan bagi para pekerja upahan saja.
Siapakah atau kelompok sosial
berkeahlian yang manakah yang bisa diklasifikasikan sebagai kaum profesional
yang seharusnya memiliki kesadaran akan nilai-nilai kehormatan profesi dan
statusnya yang sangat elitis itu? Apakah dalam hal ini profesi keinsinyuran
bisa juga diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok ini? Jawaban terhadap
kedua pertanyaan ini bisa mudah-sederhana, tetapi juga bisa sulit untuk
dijawab. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan berbagai macam persoalan, praktek
nyata, maupun penyimpangan yang banyak kita jumpai didalam aplikasi pengamalan
profesi di lapangan yang jauh dari idealisme pengabdian dan tegak nya
kehormatan diri (profesi). Pada awal pertumbuhan "paham"
profesionalisme, para dokter dan guru -- khususnya mereka yang banyak bergelut
dalam ruang lingkup kegiatan yang lazim dikerjakan oleh kaum padri maupun juru
dakhwah agama -- dengan jelas serta tanpa ragu memproklamirkan diri masuk
kedalam golongan kaum profesional. Kaum profesional (dokter, guru dan kemudian
diikuti dengan banyak profesi lainnya) terus berupaya menjejaskan nilai-nilai
kebajikan yang mereka junjung tinggi dan direalisasikan melalui keahlian serta
kepakaran yang dikembangkan dengan berdasarkan wawasan keunggulan.
Sementara itu pula, kaum profesional secara sadar mencoba
menghimpun dirinya dalam sebuah organisasi profesi (yang cenderung dirancang
secara eksklusif) yang memiliki visi dan misi untuk menjaga tegaknya kehormatan
profesi, mengontrol praktek-praktek pengamalan dan pengembangan kualitas
keahlian/ kepakaran, serta menjaga dipatuhinya kode etik profesi yang telah
disepakati bersama. Etika Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang
filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak
mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus
bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma.
Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum,
norma moral, noprma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari
hukum dan perundang-undangan,norma agama berasal dari agama sedangkan norma
moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari kehidupan
sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika. Etika dan etiket Etika
berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggeris
dikenal sebagai ethics dan etiquette.
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa
sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi
perbuatan yang tidak profesional.
Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik
merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan
perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari
masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional
merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan
yang rugi adalah dia sendiri.
Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena
akibat perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau sudah tidak
sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang euthanasia (mati atas
kehendak sendiri), dahulu belum tercantum dalam kode etik kedokteran kini sudah
dicantumkan.
Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga
masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Misalnya kode etik dokter,
guru, pustakawan, pengacara, elanggaran kde etik tidak diadili oleh pengadilan
karena melanggar kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum. Sebagai contoh
untuk Ikatan Dokter Indonesia terdapat Kode Etik Kedokteran. Bila seorang
dokter dianggap melanggar kode etik tersebut, maka dia akan diperiksa oleh
Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia, bukannya oleh pengadilan.
B.
Profesionalisme
Biasanya
dipahami sebagai suatu kualitas yang wajib dipunyai oleh setiap eksekutif yang
baik. Ciri-ciri profesionalisme:
1.
Punya ketrampilan yang tinggi dalam
suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan dengan bidang tadi
2.
Punya ilmu dan pengalaman serta
kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi
cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar
kepekaan
3.
Punya sikap berorientasi ke depan
sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang
di hadapannya
4.
Punya sikap mandiri berdasarkan
keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat
orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan
pribadinya
CIRI KHAS PROFESI
Menurut Artikel
dalam International Encyclopedia of education, ada 10 ciri khas suatu profesi,
yaitu:
1.
Suatu bidang pekerjaan yang terorganisir
dari jenis intelektual yang terus berkembang dan diperluas
2. Suatu teknik intelektual
3.
Penerapan praktis dari teknik
intelektual pada urusan praktis
4.
Suatu periode panjang untuk pelatihan
dan sertifikasi
5.
Beberapa standar dan pernyataan tentang
etika yang dapat diselenggarakan
6.
Kemampuan untuk kepemimpinan pada
profesi sendiri
7.
Asosiasi dari anggota profesi yang
menjadi suatu kelompok yang erat dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar
anggotanya
8.
Pengakuan sebagai profesi
9.
Perhatian yang profesional terhadap
penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi
10. Hubungan
yang erat dengan profesi lain
C.
Tujuan
Kode Etika Profesi
Prinsip-prinsip
umum yang dirumuskan dalam suatu profesi akan berbeda satu dengan yang lainnya.
Hal ini disebabkan perbedaan adat, kebiasaan, kebudayaan, dan peranan tenaga
ahli profesi yang didefinisikan dalam suatu negari tidak sama.
Adapun yang
menjadi tujuan pokok dari rumusan etika yang dituangkan dalam kode etik (Code
of conduct) profesi adalah:
1.
Standar-standar etika menjelaskan dan
menetapkan tanggung jawab terhadap klien, institusi, dan masyarakat pada
umumnya
2.
Standar-standar etika membantu tenaga
ahli profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka
menghadapi dilema-dilema etika dalam pekerjaan
3.
Standar-standar etika membiarkan profesi
menjaga reputasi atau nama dan fungsi-fungsi profesi dalam masyarakat melawan
kelakuan-kelakuan yang jahat dari anggota-anggota tertentu
4.
Standar-standar etika mencerminkan /
membayangkan pengharapan moral-moral dari komunitas, dengan demikian
standar-standar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati kitab UU
etika (kode etik) profesi dalam pelayanannya
5.
Standar-standar etika merupakan dasar
untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi
6.
Perlu diketahui bahwa kode etik profesi
adalah tidak sama dengan hukum (atau undang-undang). Seorang ahli profesi yang
melanggar kode etik profesi akan menerima sangsi atau denda dari induk
organisasi profesinya
Sifat kode etik
profesional
Kode etik adalah pernyataan cita-cita dan peraturan
pelaksanaan pekerjaan (yang membedakannya dari murni pribadi) yang merupakan
panduan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok. Kode etik yang
hidup dapat dikatakan sebagai ciri utama keberadaan sebuah profesi. Sifat dan
orientasi kode etik hendaknya singkat; sederhana, jelas dan konsisten; masuk
akal, dapat diterima, praktis dan dapat dilaksanakan; komprehensif dan lengkap;
dan positif dalam formulasinya. Orientasi kode etik hendaknya ditujukan kepada
rekan, profesi, badan, nasabah/pemakai, negara dan masyarakat. Kode etik
diciptakan untuk manfaat masyarakat dan bersifat di atas sifat ketamakan
penghasilan, kekuasaan dan status. Etika yang berhubungan dengan nasabah
hendaknya jelas menyatakan kesetiaan pada badan yang mempekerjakan profesional.
Kode etik digawai sebagai bimbingan praktisi. Namun
demikian hendaknya diungkapkan sedemikian rupa sehingga publik dapat memahami
isi kode etik tersebut. Dengan demikian masyarakat memahami fungsi
kemasyarakatan dari profesi tersebut. Juga sifat utama profesi perlu disusun
terlebih dahulu sebelum membuat kode etik. Kode etik hendaknya cocok untuk
kerja keras.
PRINSIP-PRINSIP ETIKA
PROFESI
1.
Tanggung jawab
-
Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
-
Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat
pada
umumnya.
2.
Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa
yang
menjadi haknya.
3.
Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri
kebebasan
dalam menjalankan profesinya.
SYARAT-SYARAT
SUATU PROFESI :
- Melibatkan kegiatan intelektual.
- Menggeluti suatu batang tubuh ilmu
yang khusus.
- Memerlukan persiapan profesional
yang alam dan bukan sekedar latihan.
- Memerlukan latihan dalam jabatan
yang berkesinambungan.
-
Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
-
Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
- Mempunyai organisasi profesional
yang kuat dan terjalin erat.
- Menentukan baku standarnya sendiri,
dalam hal ini adalah kode etik.